OLEH: AKHIRUDDIN MATONDANG
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Mandailing Natal (Madina) selesai sudah menggelar rapat pleno rekapitulasi suara calon anggota DPRD Madina hasil Pemilu 2019.
Jika tak ada aral melintang, ke-40 caleg terpilih tersebut tinggal menunggu surat keputusan (SK) dari gubernur Sumut dan jadwal pelantikan yang menurut rencana dilakukan sekitar bulan Oktober 2019.
Siapa pun mereka, laki-laki atau perempuan. Muda atau tua, dan entah darimana asalnya, ke-40 caleg terpilih itulah yang bakal duduk di gedung dewan sebagai refresentasi masyarakat Madina.
Pesta demokrasi, khususnya pemilihan anggota DPRD Madina sementara kita anggap selesai. Jika ada yang puas dan tak puas, itulah konsekuensi dari sebuah pertarungan. Setiap kompetisi, tentu pasti ada kalah dan menang.
Namun sebagai masyarakat tentu tak ada salahnya kita telaah kembali proses demokrasi yang sudah berjalan sebelum masyarakat masuk TPS (tempat pemungutan suara) menyampaikan hak pilihnya.
Sangat banyak cerita-cerita menarik pra-pencoblosan berseliweran di tengah masyarakat. Topik paling banyak dibicarakan adalah soal dugaan politik uang yang dilakukan hampir semua caleg.
Usai proses penghitungan suara di tingkat TPS saya bertemu dengan sejumlah caleg. Ada caleg gagal, ada juga caleg yang berhasil meraih suara signifikan dan berpeluang meraih kursi dewan.
Dari perbincangan dengan mereka, dapat dipetik kesimpulan bahwa proses demokrasi pemilihan anggota DPRD Madina, masih menyisakan persoalan yang seolah makin parah dari pemilu-pemilu sebelumnya.
Upaya sejumlah pihak agar para caleg menjauhi atau paling tidak meminimalisir praktek money politik (politik uang) ternyata tak berbuah hasil. Proses demokrasi di negara ini, khususnya Madina, sudah dicederai oleh mereka yang haus kekuasaan dan jabatan.
Dalam suatu kesempatan saya bertanya terhadap seorang caleg gagal, apakah di antara nama-nama caleg terpilih ada yang sama sekali tidak melakukan politik uang, “Saya jamin tidak,” jawab dia.
Lalu pada lain waktu, saya tanya kepada seorang caleg terpilih dengan pertanyaan serupa. Apa jawab dia, “Kalau kita tidak main uang, siapa yang milih. Sebab ada yang memulai tabur uang, jika kita tidak ikuti, siapa pula yang mau milih kita?”
Jika jawaban si kalah dan si menang benar, sungguh sangat menyedihkan. Kuat dugaan tak seorang pun dari kelompok terpilih bebas politik uang. Hanya saja, ada yang jumlahnya besar, ada juga (mungkin) kecil.
Seorang caleg yang baru kali pertama ikut “bertarung” di pemilu legislatif, disebut-sebut ada yang menghabiskan Rp2,5 miliar lebih untuk mendapatkan suara yang membuatnya unggul dibanding suara caleg lain se-partainya. Konon, ia “siram” sampai Rp300 ribu per mata pilih.
Saya juga dapat cerita, pada jelang hari H pemilihan seorang caleg terpilih lain memberi uang Rp30 juta melalui TS (tim sukses) untuk dapat suara di suatu desa di Kecamatan Panyabungan. Setelah dihitung, di desa itu hanya dapat 13 suara. Jika dihitung secara matematika, jadinya harga satu suara sekitar Rp2,3 juta.
Masih caleg yang sama, di desa kampungnya dia diduga membagikan Rp150 ribu per orang terhadap sekitar 3000 DPT (daftar pemilih tetap), namun ia hanya dapat sekitar 900 suara.
Lagi, masih caleg yang sama. Informasi dari warga, di suatu desa ia membagikan Rp150 ribu per orang untuk sekitar 150 DPT, setelah perhitungan dia cuma dapat 47 suara.
Beruntunglah dari salah satu kecamatan yang masuk dapilnya, dia dapat suara agak “gemuk”. Itu pun selain menabur uang, juga diduga dibantu camat setempat.
Itu hanya sekadar gambaran begitu buruk proses demokrasi yang telah kita jalani. Bawaslu dan Panwaslu seolah tak ada fungsi, mandul. Wajar jika banyak pihak menuding kedua lembaga yang diharapkan menjadi wasit dalam penegakan hukum penyelenggaran pemilu tak menjalankan tugas sebagaimana mestinya.
Saya yakin mereka bukan tidak tahu. Tetapi entah kenapa lembaga itu nyaris tak terdengar gregetnya, sehingga terkesan diam membisu di tengah dugaan praktek politik uang yang begitu menggema. Ini masalah besar yang perlu dibahas secara mendalam.
Di Madina masalah politik uang sudah begitu parah. Tak lagi rahasia umum. Tidak lagi seperti kentut, ada baunya tapi wujudnya tidak tampak. Bahkan, ada seorang caleg justru si ayah yang sibuk mencari “mangsa” agar anaknya dapat terpilih dengan nominal Rp150 ribu per suara.
Dengan potret pemilu yang beraroma money politik itu apakah masyarakat masih bisa berharap banyak dari mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. Terlepas para caleg terpilih memiliki SDM (sumber daya manusia) yang baik atau tidak, hampir dapat dipastikan mereka tak akan optimal menjalankan tupoksinya.
Sebab untuk duduk di dewan mereka sudah menghamburkan modal besar. Jika kita pakai hukum ekonomi, sebelum dapat untung, tentu bagaimana caranya agar modal terlebih dahulu kembali .
Lalu, berapa gaji anggota DPRD Madina beserta tunjangan-tunjangan yang didapat per bulan. Apa mungkin jika hanya mengandalkan gaji dan pendapatan sah sesuai ketentuan, lalu uang “modal” bisa kembali dalam lima tahun masa jabatan. Saya kira sesuatu yang tak mungkin.
Jadi wajar jika selama ini kinerja anggota DPRD Madina tidak sejalan dengan harapan masyarakat, baik bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Salah satu sumber tambahan pendapatan “haram” yang bisa diperoleh legislatif dalam mengeruk APBD adalah “main mata” dengan eksekutif, sehingga ketiga tupoksi itu dibuat tak berjalan sebagaimana mestinya.
Karena itu, jika pada pemilu mendatang kita ingin praktek money politik (paling tidak) diminimalisir, tidak cukup hanya memberi pencerahan terhadap masyarakat, juga tak bisa dengan menyampaikan himbauan kepada para caleg.
Solusinya yang bisa dilakukan adalah melakukan pengawasan terhadap kinerja dewan dalam melaksanakan tupoksnya dalam lima tahun kedepan. Kita harus memastikan tidak seorang pun anggota DPRD Madina atau yang punya pertalian dengan anggota dewan “main” proyek APBD/APBN.
Memang tidak ada peraturan melarang anggota dewan menjabat direksi dan komisaris suatu perseroan. Wakil rakyat juga tak dilarang duduk sebagai pemegang saham perseroan. Tapi harus diingat pekerjaan apapun yang dilakukan anggota legislatif, tidak boleh berhubungan dengan wewenang dan tugasnya sebagai anggota DPRD/DPR.
Dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD, dijelaskan anggota dewan dilarang merangkap jabatan sebagai (salah satunya) pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPR/DPRD serta hak sebagai anggota DPR/DPRD.
Apakah anggota dewan periode 2014-2019 ikut bermain proyek atau “main mata” dengan eksekutif untuk tujuan-tujuan tertentu, tentu hanya mereka yang tahu. Yang jelas, harapan masyarakat agar mereka memperjuangkan hak rakyat demi pembangunan daerah belum terlihat secara maksimal.
Ketua Tim Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi KPK RI Hery Nuruddin dalam suatu kesempatan mengatakan, anggota dewan yang terlibat dalam proyek merupakan penyalahgunaan wewenang. “Ancamannya pidana 20 tahun penjara,” katanya.
Semua elemen masyarakat hendaknya harus turut mengawasi kinerja dewan, terutama dalam hal bidang anggaran dan pengawasan. Badan Kehormatan Dewan harus menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Sehingga setiap ada informasi atau laporan masyarakat tentang dugaan pelanggaran yang dilakukan dewan, harus cepat diproses secara transparan.
Jika kita sepakat hendak meminimalisir praktik politik uang pada pemilu legislatif lima tahun mendatang, salah satu solusinya adalah dengan tidak membiarkan anggota dewan berkolaborasi dengan eksekutif dalam bidang anggaran, pengawasan, dan legislasi. Dewan harus diawasi agar mereka menjalankan tugas sebaik-baiknya dengan penuh rasa tanggung jawab.
Jika perlu masyarakat membuat suatu sikap atau petisi yang isinya mengharamkan anggota dewan dan koleganya ‘bermain” proyek APBD dan APBN.
Jika tidak ada upaya seperti ini, jangan harap sampai kapan pun kita tak akan mendapatkan wakil rakyat yang betul-betul mampu membawa perubahan daerah ini menuju lebih baik. Hanya mereka yang berkantong “tebal” punya kesempatan terpilih, meskipun sebenarnya secara kasat mata masyaraka,sebenarnya ia tak punya kapasitas duduk sebagai wakil rakyat.
Jangan lagi kita biarkan dewan melacurkan jabatannya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Ketika mereka merasa jabatan di dewan tak lagi memberi harapan secara materi, maka mereka pun berpikir dua kali saat hendak menabur duit pada pemilu mendatang.
Sebaliknya, ketika masyarakat tutup mata dan seolah tidak mau tahu tentang kinerja dewan, maka praktek politik uang pada pemilu nanti bisa jadi bakal lebih parah… (*)
Penulis: jurnalis/pemred beritahuta.com