Tulisan kolom AM ini dimuat pada edisi ke-2 Koran Beritahuta, 9 Agustus 2021
BELAKANGAN ini saya termasuk orang yang sangat bingung dengan kinerja petugas medis RSUD Panyabungan terkait penanganan covid-19. Aneh-aneh cerita yang berkembang, intinya membuat masyarakat bingung. Ini bisa jadi lantaran pola penanganan yang mereka lakukan beda dengan sejumla daerah lainnya.
Saya mulai cerita pertama, sekitar 10 hari lalu seorang warga Pidoli Dolok, Panyabungan dibawa istrinya hendak dirawat di RSUD Panyabungan. Sepekan terakhir si suami sakit, pemicunya tekanan darah naik. Karena sulit makan, dan sering muntah membuat badannya lemas.
Tiba di rumah sakit, petugas medis periksa pasien apakah ada covid-19. Saya lupa, dengan cara apa. Yang jelas, kata si istri, belum diketahui hasil laboratorium, petugas medis memvonis pasien positif covid.
Lalu, si istri disuruh teken pernyataan prokes penanganan covid terhadap suaminya. Antara lain, isolasi di rumah sakit, tak boleh dibesuk, dan jika pasien meninggal proses penanganannya diserahkan terhadap rumah sakit. Si istri keberatan, karena ia tak yakin suaminya positif covid-19.
Belum 15 menis diinfus, karena tak bersedia tanda tangan pernyataan, petugas medis mencabut infus pasien. Rumah sakit minta supaya carikan beca agar pasien dibawa pulang.
Begitu mereka hendak pulang, administrasi rumah sakit memberi tagihan Rp800 ribu. Si istri mau nangis. Bukan tak ada uang, tapi infus langsung dicabut, padahal itu sudah masuk nota. Jika dikira-kira, belum satu centimeter isinya menetes.
Belakangan setelah dirawat di rumah—bukan Isoman alias isolasi mandiri, i rawat songon namarun biaso, si suami sembuh. Sudah lebih dua pekan, alhamdulillah tak ada penularan.
Kedua, mertua saya tiga pekan lalu dirawat di RSUD Panyabungan. Belakangan divonis positif covid. Lalu, diisolasi di rumah sakit, tapi uniknya boleh dibesuk keluarga meskipun pakai prokes. Dua hari sebelum meninggal, pasien minta pulang. Sehingga dirawatlah seperti biasa di rumah, tak ada prokes-prokesan.
Pada Kamis malam lalu, usai magrib mertua meninggal. Jenazah diperlakukan seperti biasa, seolah tak ada covid-19 dalam tubuhnya. Dimandikan, disalatkan di masjid, di makamkan, dan dikuburkan. Sekali lagi, tak pakai prokes, hanya da satu dua pelayat yang pakai masker.
Lawakna (lucunya-red) ketika usai proses pemakaman, ternyata sudah ada mobil ambulans rumah sakit menunggu dekat pintu masuk areal pemakaman Panyabungan III. Dua petugas berpakaian APD—menyerupai robot– keluar dari ambulans.
Kedua petugas dengan percaya diri berjalan ke arah makam, lalu menyemprot, baru kemudian mereka foto-foto. Untuk apa ya, Cuma tanya?
Masih dalam pekan lalu. Seorang ibu warga Kayujati, Panyabungan divonis covid-19, dan diisolasi di rumah sakit. Pendek cerita si ibu meninggal. Pihak rumah sakit bersikeras supaya jenazah mereka mandikan dan dikafani. Mereka juga minta supaya almarhumah dimasukkan peti. Baru jenazah bisa dibawa pulang.
Pihak keluarga tak setuju dimasukkan peti, tapi soal dimandikan dan dikafani akhirnya mereka tak keberatan. Usai dimandikan dan dikafani, jenazah dibawa pulang. Dengan syarat, kafan tidak boleh dibuka.
Keluarga dan para pelayat pun tidak ada yang bisa lihat wajah almarhumah, mereka juga khawatir, seba tahu almarhumah sebelumnya divonis rumah sakit covid-19. Ini juga, sudah dua pekan, alhamdulillah tidak terdengar ada yang terkena penularan.
Di Banjar Telkom, Kayujati pun begitu. Sebelum meninggal di rumah, pihak rumah sakit memvonis pasien covid. Cuma mereka tak mau dirawat di rumah sakit, Isoman saja.
Namanya di rumah, tetap saja ia kontak dengan orang lain, terutama keluarga.
Setelah meninggal, masyarakat pun enggan melayat, sepi. Kalaupun datang ke rumah duka, mereka hanya duduk atau berdiri dari kejauhan. Kasihan keluarganya, seolah terbuang. Alhamdulillah, sudah lebih satu bulan, tak ada terdengar pihak keluarga, tetangga atau masyarakat positif covid di lingkungan Banjar Telkom. Mudah-mudahan, jangan sampai ada.
Masih banyak koleksi cerita saya. Ada warga Pidoli juga, meninggal di rumah sakit, sempat bersitegang. Akhirnya jenazah bisa dibawa pulang dan dimakamkan seperti biasa.
Kenapa cerita tersebut menarik, sebab saya lihat sangat beda penangan pasien covid di daerah lain dengan ala RSUD Panyabungan..
Pertanyannya benarkan diagnosa yang dilakukan petugas RSUD Panyabungan. Kedua, apakah ada lokasi pemakaman jenazah covid di Madina, kalau ada dimana.
Seorang kawan bertanya, percaya enggak ada virus corona. Saya jawab: percaya. Bahkan percaya bingits. Tapi bisa jadi tak sebesar yang mereka besar-besarkan. Entah apa tujuannya, wallahu’aqlam bissawab.(*)