PISANG bolgang (rebus) dan bubur kacang ijo. Inilah sarapan anak-anak seusia saya, kala itu usai salat subuh di Masjid Langgar, Kelurahan Panyabungan III, Panyabungan, Madina. Musojid Langgar—begitu kami menyebutnya dulu—kini berubah menjadi Masjid Al-Munawarah. Tempat berdirinya, masih berada di lokasi serupa.
Jika tak salah jelang tahun 1980-an. Bukan hanya anak-anak sebaya saya, semua kalangan ramai salat subuh di Langgar itu. Setiap pukul 03.00, sudah ada yang menyiapkan menu sarapan. Bara api kayu bakar di tungku menembus gelapnya pagi di depan Langgar, yang kebetulan berupa lapangan tanah. Disinilah tempat anak-anak dan remaja main bola, juga tempat kegiatan acara tingkat kelurahan–dulu masih desa. Seperti: 17-an, Isr’aj Miraj, Maulud Nabi, dan lainnya.
Pisang sitabar direbus dalam dandang besar yang biasa dipakai untuk memasak indan orja. Ketika anak-anak, remaja, naposo bulung, nauli bulung dan para kalangan orang tua datang hendak salat subuh, makanan sudah tersedia di dalam masjid, tepatnya dekat pintu Langgar. Beberapa ceret aluminium ikut ‘mejeng’, ada teh dan kopi. Kalau mau manis, tinggal sendok sendiri gulanya.
Usai salat, lalu makan menu sarapan yang disiapkan pengurus masjid. Setelah itu, biasanya kami ikut naik truk cold disel milik almarhum Ucok, warga Panyabungan II. Mobil ini mengangkut dagangan ke pekan-pekan, misalnya: Sabtu: Kotanopan, Rabu: Simangambat, dan Senin: Mompang.
Saya masih ingat, pada bagian belakang ada tulisan Keta Muli Lae. Truk itu mengambil barang milik pedagang kain di Banjarsibaguri—sebutan lain Panyabungan III. Saat itu banyak pedagang kain besar dari kampung tempat saya lahir tersebut.
Kami naik truk mengambil barang dagangan yang mau dibawa ke pekan, meskipun sampai simpang Banjarsibaguri, di Pasar Lama. Kain sarung salat kami sandang di pundak atau diikatkan di perut. Sungguh senang, maklum bisa naik truk dan sudah sarapan ala kadarnya.
Pisang bolgang dan bubur kacang ijo itulah yang membuat anak-anak sebaya saya rela bangun pagi, lalu salat subuh berjamaah di Langgar. Kalau soal naik truk Keta Muli Lae, itu hanya sekadar bunga-bunganya saja. Hiburannya lah. Dibandingkan era sekarang, naik truk dianggap sudah tak enjoy lagi. Semua sudah pegang gadget.
Tetapi pisang bolgang, bubur kacang ijo, atau ditambah menu lain sesuai kekinian masih relevan diterapkan agar anak-anak mau bangun pagi supaya salat subuh berjamaah di masjid.
Cerita di atas teringat lagi dibenak saya setelah membaca suatu pemberitaan mengenai program salat subuh bagi anak-anak dan masyarakat yang digulirkan Nur Ainun, penjabat (Pj) Kepala Desa Aek Mual, Kecamatan Siabu, Madina.
Bahkan Nur Ainun berharap bukan hanya saat subuh saja, pada waktu salat lainnya pun ia ingin jamaah masjid di desanya selalu ramai.
Tentu saja harapan Nur Ainun sejalan dengan program bupati Madina H.M. Jafar Sukhairi Nasution. Jika tak menyalahi ketentuan, bisa juga dibuat suatu daya tarik seperti pada era kami dulu. Sajikan pisang bolgang, lontong sayur, satai padang, dan entah apalah, sesuaikan selera anak-anak. Jika perlu, segelas susu supaya anak-anak desa makin sehat dan cerdas.
Daripada dana desa dipakai studi banding, saya kira metode mengajak anak-anak dan warga ke masjid jauh lebih bermanfaat. Bukan sekadar membiasakan salat subuh di masjid, tapi secara tak langsung melarang terbiasa tidur larut malam. Jika ditambah minum susu setiap pagi, tentu lebih sempurna.
Tak sekadar salat, tapi sekaligus ajang silaturrahmi di antara warga. Bagi generasi muda, jika sudah terbiasa, insyaa Allah masjid desa bakal selalu ramai, anak-anak pun makin sehat..`. (*)
ReplyForward |