BERBAGI
Foto hanya ilustrasi (istimewa)

BADAN Kepegawaian Daerah (BKD) di daerah manapun, termasuk Madina, merupakan garda terdepan dalam penegakan penataan kepegawaian. Jika mekanisme dijalankan, regenerasi jenjang karier bakal berjalan baik. Tidak berdasarkan like or dislike, yang bisa menyebabkan struktur penempatan pejabat amburadul.

Sebagai contoh, jika golongan rendah atau jenjang karier belum cukup lalu dipaksakan menjabat Plt eselon dua, bisa saja pejabat setingkat sekretaris, kabid, atau staf di OPD itu lebih tinggi golongannya daripada pejabat Plt.

Karena di kantor tersebut tidak menutup kemungkinan ada pegawai berpangkat III-D senior, IV-A senior, atau malah IV-B, sementara Plt kepala OPD hanya III-D.

Oleh sebab itu Pemkab Madina perlu menata birokrasi secara efektif. Tidak lompat-lompat pagar mengenyampingkan pola jenjang karier. Kalau prakmatis, kecil kemungkinan seorang pejabat memikirkan kinerja bagi kemajuan daerah.

BACA JUGA: Meritokrasi di Pemkab Madina, Baru Sebatas Bibir (Bagian: 1)

Bisa saja mereka berpikir untuk apa prestasi, toh itu bukan pertimbangan dapat jabatan. Lebih ekstrim, pejabat diangkat berdasarkan apa, uang? Semoga saja tidak.

Namun  jika itu terjadi, hampir dapat dipastikan dia tak bakal fokus pada peningkatan kinerja. Tapi bagaimana cara mengumpulkan duit sebanyak mungkin. Apakah itu sedang terjadi pada masa sekarang, sekali lagi, semoga saja tidak.

Pada zaman dulu, jenjang pengkaderan jelas. Meskipun seorang aparatur banyak uang, belum tentu dapat jabatan jika tidak kompeten dan perjalanan jenjang karier belum memenuhi standar.

Seorang kepala OPD idealnya sudah tiga sampai empat kali menduduki jabatan kepala seksi (kasi), baru diangkat sebagai kepala bidang (kabid).

Belakangan ini, kondisi pengkaderan terkesan kian parah. Ada seorang ASN, baru menjabat kasi di salah satu kelurahan di Kecamatan Panyabungan, lalu belum lama ini dilantik sebagai kabid di salah satu dinas karena istrinya kawan akrab salah seorang petinggi di Pemkab Madina.

Meskipun ada kepentingan pimpinan, misalnya,  mestinya tetap disandingkan dengan kondisi ril seorang aparatur. Artinya, kepatutan dan kepantasan tetap bahan pertimbangan.

Jika seandainya kepala daerah punya kader, keluarga, hubungan perkawanan, bagian dari tim pemenangan dan lainnya yang minta “naik” meskipun “kurang umur”, sebaiknya sabar dululah. Jangan merengek-rengek agar tidak merusak tatanan dan norma birokrasi.

BERITA TERKAIT  Polisi, Sampai Kapan Orang SMGP Kebal Hukum?

Sebenarnya ini tugas Baperjakat. Mereka punya kewajiban memberi masukan terhadap kepala daerah, selaku pemegang hak prerogatif. Itu pun jika Baperjakat difungsikan dalam pengangkatan dan pemberhentian pejabat.

Seperti kasus rangkap jabatan, semestinya BKD atau Baperjakat memberikan masukan kepada kepala daerah agar seminimal mungkin tidak ada rangkap jabatan. Kalaupun terpaksa, itu  pun hanya dalam jangka pendek. Antara lain lantaran ada tugas khusus dari bupati/wakil bupati. Penunjukkan sosok Plt tetap mempertimbangkan kepatutan, efektivitas kerja dan norma birokrasi.

Jujur sajalah, seorang pejabat pegang satu OPD saja, belum tentu mampu, kalau tolok ukurnya kinerja, apalagi dua. Karena itu, siapapun pejabatnya, apapun golongannya dan untuk jabatan eselon berapa  pun, jangan berharap dia berkinerja baik pada dua OPD yang dipimpin. Minimal salah satunya jadi korban.

Memang jika kondisi yang saat ini dilaporkan ke KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara), belum ada masalah sebab ada aturan jabatan Plt bisa sampai dua bulan, dan dapat diperpanjang jika dianggap perlu.

Pengalaman mencatat ada pejabat Plt sampai dua-tiga tahun. Ini  memang bisa saja tak terhindari  karena kondisi daerah. Misalnya, pegawai kurang, tidak ada yang memenuhi syarat atau ada tugas khusus kepala daerah kepada si Plt.

Persoalannya di Pemkab Madina banyak ASN kompeten serta memenuhi syarat, tapi mereka tak diberdayakan sehingga terpaksa menganggur.

Sebaiknya untuk menentukan pejabat yang bakal menjadi pimpinan OPD, terlebih dahulu ada alternatif beberapa figur, misalnya, lima orang kandidat.

Lalu Baperjakat memberi penilaian terhadap masing-masing figur tersebut. Si A, si B dan seterusnya. Lalu, kepala daerah yang tentukan dengan tetap berpegang pada: meritokrasi.

Usai lelang jabatan yang berdasarkan informasi dilaksakan Nopember 2022, diharapkan semua jabatan eselon tiga dan dua sudah definitif. Jika ada perubahan pimpinan OPD—penilaian berbasis kinerja—berarti ada segenggam harapan perubahan. Sasaran penting adalah pencapaian visi dan misi pasangan SUKA.

Kalau jujur, masyarakat saat ini menilai kinerja kepemimpinan SUKA sama sekali belum terlihat. Sebagai contoh, pemindahan Pasar Lama Panyabungan ke lokasi eks Bioskop Tapanuli yang sudah menjadi agenda pasangan ini sejak dilantik, sampai hari ini belum menjadi kenyataan.

Kondisi seperti ini sebenarnya bisa dibaca masyarakat. Sementara, kepala daerah melihat hal ini suatu cermin kinerja OPD tidak maksimal dalam pencapaian target yang diinginkan.

BERITA TERKAIT  Bahaya Mengintai Santri Pesantren Musthafawiyah Purba Baru?

Lanjut mengenai Alamulhaq Daulay. Sebelumnya ia menjabat Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan, pada, Rabu (19/10-2022) lalu, ia dimutasi sebagai Staf Ahli Bidang  Kemasyarakatan dan Sumber Daya Manusia.

Berselang beberapa jam setelah menempati tempat baru, Alamulhaq dapat tugas tambahan sebagai pelaksana harian (Plh) Sekretaris Daerah Kabupaten (Sekdakab) menggantikan Gozali Pulungan yang dimutasi sebagai Staf Ahli Bidang Keuangan dan Pembangunan.

Kebijakan bupati mengangkat Alamulhaq sebagai Sekdakab juga banyak menimbulkan tanda tanya. Jika untuk Plh, yang menurut SK hanya sampai 26 Oktober 2022, bisa dimaklumi.

Namun rumor yang berkembang, Alamulhaq bakal ditetapkan sebagai Penjabat (Pj) sebelum  batas masa tugas Plh berakhir. Diperkirakan jabatan itu dipegangnya sampai lelang jabatan Sekdakab pada Nopember ini. Tidak menutup kemungkinan, ia juga yang bakal definitif pasca lelang.

Lagi-lagi tanpa meragukan kemampuan SDM-nya, rasanya sulit bagi Alamulhaq melaksanakan tugas berat sebagai Pj Sekdakab. Itu lantaran kondisi kesehatannya kurang mendukung.

Ketika Alamulhaq menjabat Plt kepala Dinas Pendidikan beberapa bulan, tampak ia keteter. Kerap terdengar mengeluh terhadap beban tugas dihadapi. Untunglah, entah dengan alasan apa, bupati cepat menariknya dari OPD itu dan menggantinya kepada pejabat lain.

Menurut informasi, selama menjabat Asisten 1  (Pemerintahan dan Kesejahteraan) Alamulhaq sama sekali tidak pernah ikut apel harian di lingkungan sekretariat Pemkab Madina, baik pagi atau sore. Kalau apel gabungan, kata sumber yang layak dpercaya, ia tak pernah absen.

Apakah ketidakhadirannya—jika  informasi itu benar—lantaran faktor kesehatan, kita tidak tahu. Yang jelas, tugas seorang Sekdakab sangat berat. Jika diibaratkan sepeda motor, posisinya bak shockbreaker, mampu membuat nyaman ke atas tanpa merusak yang di bawah.

Posisi Sekdakab dalam suatu pemerintahan bisa juga diibaratkan dapur pacu sebuah mesin. Ia harus mampu membuat jajaran ASN memacu kinerja dengan nyaman sehingga mempermudah pencapaian target pemerintahan dan pembangunan yang bakal dilaksanakan.

Proses penempatan pimpinan OPD tak terpisahkan dengan penilaian Sakip/Lakip, sebab  terkait kinerja aparatur.. Ngimpi meraih WTP jika penempatan dan pengangkatan pejabat tidak berbasis meritokrasi…(BERSAMBUNG)

Akhiruddin Matondang (Pemimpin Redaksi/Penanggungjawab Beritahuta)

BERBAGI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here