BERBAGI
Ilustrasi

Mungkin Tuhan mulai bosan//Melihat tingkah kita//Yang selalu salah dan bangga//dengan dosa-dosa

Atau alam mulai enggan/Bersahabat dengan kita//Coba kita bertanya pada//Rumput yang bergoyang

(Lirik lagu :  Berita Kepada Kawan  oleh Ebiet G. Ade)

DALAM dua bulan terakhir musibah banjir dan longsor beberapa kali menyelimuti Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara. Daerah ini bak luluh-lantak dihantam derasnya air bah serta reruntuhan longsor di sejumlah lokasi.

Korban jiwa pun tidak terelakkan. Kerugian material tak terhingga, rumah hanyut, rumah hancur, tempat pendidikan rusak bahkan hanyut, dan sebagainya.

Banyak lahan pertanian gagal panen akibat musibah ini. Jalur transportasi putus dan perlu dana untuk memperbaikinya.  “Ada apa dengan Madina,” kata Gubernur Sumut Edy Rahmayadi.

“Kenapa dulu tidak pernah banjir seperti sekarang, padahal intensitas hujannya lebih tinggi dari yang terjadi sekarang. Hujan itu  rahmat, tapi kenapa justru jadi masalah bagi kita. Ini ada apa?” tanya gubernur ketika silaturrahmi dengan tokoh masyarakat serta tokoh agama di Aula Hotel Rindang, Panyabungan, belum lama ini.

Sejurus kemudian, Edy Rahmayadi mengajak para pejabat dan seluruh masyarakat di daerah ini introspeksi diri. Memohon ampun dan doa kepala Allah SWT. agar pemerintah mampu mengatasi dampak bencana alam serta terhindar dari bencana lebih besar.

Bupati Madina Dahlan Hasan Nasution menyambut baik pernyataan gubernur. Pemkab membuat surat edaran agar masyarakat menggelar zikir bersama, salat taubat dan istighosah hingga ke tingkat desa.

Musibah yang datang secara beruntun ini sungguh menyesakkan hati.  Bencana demi bencana menelikung, hampir merata di sudut utara, selatan, barat, timur, bahkan di pusat kota kabupaten ini pun ikut “menikmati” banjir bandang dari Aek Mata.

Apakah banjir bandang dan longsor yang terjadi belakangan ini bagian dari peristiwa-peristiwa sebelumnya. Jika kita kilas balik dalam enam bulan terakhir, begitu banyak musibah yang menimpa daerah ini.

Sebut saja kebakaran Pasar Baru Panyabungan pada hari kedua Idul Fitri lalu. Sebelumnya kebakaran di Pasar Simpang Gambir dan Pasar Sinunukan. Banjir bandang dan longsor skala kecil silih barganti menerjang beberapa kecamatan.

Tak lama kemudian muncul kejadian langka, bukan saja di Indonesia, tapi di dunia. Seorang ibu melahirkan bayi mata satu di RSUD Panyabungan. Sebelumnya sudah beberapa kali di Hutabargot dan sekitarnya bayi lahir dalam keadaan tidak normal.

Gubernur menyebutkan “ada apa” bukan tanpa alasan. Musibah demi musibah yang terjadi terasa aneh, karena curah hujan yang turun sebenarnya tidak terlalu berlebihan.

Sebagai manusia berakal,  tentu musibah yang terjadi perlu dikaji secara komprehensif. Secara kaffah, baik dari sudut pandang agama dan ilmu pengetahuan, sehingga bisa diketahui penyebab terjadinya bencana. Apakah akibat kerusakan lingkungan, atau karena peringatan terhadap kita semua akibat kelalaian pada perintah-Nya.

Setiap yang terjadi di muka bumi pasti ada sebab dan akibat.  Dari sudut pandang agama,  apakah Allah SWT. sedang murka sehingga kita perlu diberi peringatan. Jika musibah dipahami sebagai peringatan, maka tidak ada pilihan lagi bagi semua pihak supaya bertaubat.

Sekadar mencari jawaban “ada apa” tersebut, coba kita lihat terhadap berbagai persoalan di Madina yang selama ini terkesan diabaikan atau dibiarkan. Ini tentu sebagai bahan renungan, agar taubat yang dilakukan lebih terarah atau tidak sekadar taubat “makan cabai”, tapi taubat yang benar-benar lahir dari lubuk hati paling dalam sehingga kalau ada kesalahan atau kehilafan yang dilakukan, baik sadar atau tidak sadar, tidak diulangi lagi.

Ulasan di bawah ini hendaknya bisa menjadi bahan introspeksi bagi semua pihak, termasuk jajaran Pemkab Madina.

Pertama, kehadiran tambang emas liar di sejumlah lokasi. Aktivitas ini pada satu sisi, terbukti mampu melahirkan orang kaya baru, sementara di sisi lain mampu memporakporanda ekonomi keluarga. Banyak di antara mereka yang coba adu keberuntungan di sini jatuh miskin, keluarga berantakan, bahkan sampai perkawinan berakhir dengan perceraian.

Tidak terbantahkan sejak kehadiran tambang emas liar di Hutabargot dan sekitarnya, praktik prostitusi di Madina menjadi marak.  Mudahnya mendapatkan uang dari penjualan emas hasil tambang menjadi salah satu pemicu bisnis ini merajalela.

Kelompok “hidung belang” sebenarnya bukan orang Madina, tapi para pekerja tambang yang datang dari sejumlah daerah. Hanya sebagian kecil di antara mereka membawa keluarga ke Madina, selebihnya jadi “bujangan” di daerah ini.  Berbulan-bulan, bahkan ada yang sampai bertahun-tahun di antara mereka tidak bertemu anak dan istri di daerah asalnya.

Ketika “hepeng” tak masalah, tentu mereka berusaha “beli” sekadar memenuhi kebutuhan syahwat. Maka praktik prostitusi pun dijadikan sebagai pelarian.

Masih soal tambang emas liar. Penggunaan merkuri yang tak terpisahkan dari proses kegiatan ini telah mengancam kesehatan masyarakat Madina. Entah sudah berapa juta liter bahan kimia tersebut masuk ke dalam bumi Madina.

Dampak penggunaan merkuri secara liar baru tampak terhadap manusia setelah sekitar 10 tahun. Apakah sejumlah bayi lahir tak normal yang terjadi di Madina bagian daripada dampak merkuri mengingat kegiatan tambang liar sudah lebih 10 tahun, wallahu aqlam bissawab.

Akademisi Dr. Muhammad Sehol mengatakan, jika penumpukan merkuri mengalami proses perubahan menjadi alkil merkuri yang lebih berbahaya melalui proses rantai makanan, maka akan menjadi ancaman bagi kehidupan makhluk hidup terutama manusia.

BERITA TERKAIT  Meritokrasi di Pemkab Madina, Baru Sebatas Bibir (Bagian: 1)

Menurut lulusan S-3 Ilmu Kimia Universitas Gajah Mada Yogyakarta, itu untuk mencegah peristiwa tersebut tidak terjadi semua pihak harus melakukan upaya langkah-langkah penertiban terhadap penambangan liar dan membuat regulasi sesuai ketentuan yang berlaku.

Sejumlah kepala daerah di Indonesia sudah membuat larangan keras terhadap aktivitas tambang emas liar. Antara lain, Bupati Sumbawa Barat Dr. Ir. W. Musyafirin MM., yang secara tegas menertibkan penambangan emas tanpa izin (PETI) karena kerusakan akibat kegiatan ini sudah cukup parah, termasuk tingkat pencemaran lingkungan akibat penggunaan merkuri.

Pemkab Sumbawa Barat juga terus melakukan sosialisasi supaya masyarakat paham tentang bahaya kerusakan lingkungan dan dampak penggunaan merkuri.

Di luar soal penggunaan merkuri, persoalan lain adalah banyak korban meninggal akibat aktivitas ini. Tidak jelas sudah berapa jumlah korban tewas disebabkan terkubur di lokasi tambang liar Hutabargot dan sekitarnya.

Umumnya mereka yang menjadi korban adalah para pendatang dari luar Madina. Setiap ada kejadian para pelaku PETI terkesan tutup mulut agar tidak tercium pihak kepolisian. Satu dua kali peristiwa adanya penambang tertimbun tanah sempat menyebar di masyarakat, tapi tidak ada tindakan tegas pihak aparat terkait.

Sangat kejam. Hanya ingin meraup kekayaan atau mencari sesuap nasi, mereka sampai tega membiarkan rekan-rekan mereka terkubur hidup-hidup. Kematian di sana sudah seperti hal biasa. Seolah mati syahid, tidak ada upaya pencarian agar jika korban sudah meninggal bisa dilaksanakan proses sesuai syariat Islam.

Kedua, Negeri Beradat Taat Beribadat. Saya tidak mengerti apakah kelahiran ini jargon sudah terlebih dulu dikaji atau dimusyawarahkan melibatkan pihak-pihak terkait, atau muncul secara tiba-tiba.

Jargon ini bukan tidak baik,  malah sangat bagus jika bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.  Jika tidak, maka jargon tersebut hanya lips servis,  sekadar manis diucapkan sulit bahkan belum tentu bisa diterapkan.

Mestinya di “Negeri Beradat Taat Beradat” tidak ada lagi maksiat, peredaran minuman keras, “kebon” ganja, pemakai serta pengedar narkoba, dan sebagainya yang bertentangan dengan hukum negara serta Islam.

Masjid-masjid ramai. Sehabis magrib anak-anak belajar mengaji, tidak keluyuran. Ada aturan yang lahir sebagai penjabaran jargon tersebut.  Misalnya, penyesuaian anggaran pengembangan syiar agama dan adat.

Lalu, apakah cara berniaga para pedagang yang di pasar-pasar sudah sesuai syariat Islam. Saya kira masih jauh. Pada praktiknya, para pedagang di pasar tradisional, misalnya, tak jarang terdengar kalimat yang belum tentu kebenarannya. Contoh, telur ayam ras ukuran kecil, dikatakan telur ayam kampung.

Pedagang sering mengaku menjual dagangan sesuai modal. “Sa modal nai de boto inang arga nai.” Kalimat itu sering kita dengar di pasar atau, “Inda ra boto sai argana, namanampuk (matang di batang) do on.” Apa semua itu benar, juga wallahu aqlam bissawab.

Ketiga,  apakah kerja eksekutif dan legislatif  sudah benar-benar untuk kepentingan rakyat,  atau hanya menjadikan amanah yang dibebankan di pundak mereka sebagai alat meraih keuntungan pribadi. Mengesampingkan kepentingan masyarakat. Hanya mereka yang bisa jawab.

Ada pejabat yang kerap dikritik elemen masyarakat karena kinerjanya diduga tidak jelas, ternyata tetap bertahan dari kepala daerah yang satu ke yang lainnya. “Ada apa?” Apakah karena kemampuannya di bidang yang sedang dijabat,ada prestasi atau karena ada “sesuatu”. Apalagi dia kerap dituding menjalankan proyek fiktif, toh tetap kebal tidak terjamah hukum.

Banyak pihak mempertanyakan kinerja para pejabat Pemkab Madina.  Sebagai contoh, proyek pekerjaan fisik asal-asalan. Jalan di mana-mana tak ada yang bagus. Kita yakini ini antara lain disebabkan lemahnya perencanaan, pelaksanaan, serta pengawasan.

Para wakil rakyat yang diharapkan menjadi salah satu pihak yang melakukan pengawasan, ternyata tidak berjalan sesuai harapan. Tidak berlebihan jika fungsi pengawasan yang mereka jalankan berada pada titik penilaian terendah.

Proses penyusunan anggaran pun terkesan hanya formalitas tanpa memperhatikan efisiensi, tepat guna,tepat waktu pelaksanaan,dan penggunaannya dapat dipertanggung jawabkan. Alhasil, anggaran daerah tidak dapat secara maksimal dirasakan masyarakat.

Anggaran habis untuk perjalanan dinas, menjamu tamu dari Jakarta,dan  kegiatan-kegiatan yang tidak bersentuhan dengan kepentingan masyarakat.

Sebagai tempat berputarnya roda ekonomi masyarakat, hampir semua  pasar di Madina tumpah di jalan. Artinya tidak ada penanganan yang baik. Mestinya para pedagang ditata agar hubungan antara pembeli dan pedagang terasa nyaman. Lalu lintas pun tak semrawut.

Di depan mata kita, Pasar Baru Panyabungan sudah hampir enam bulan tak ada kejelasan. Baik soal penampungan sementara, maupun permanen. Tidakkah jeritan pedagang yang menggantungkan usaha dari berdagang menyentuh hati para pejabat. Jika pemerintah tak mampu, kenapa tak ditawarkan terhadap pihak swasta.

Pemangku kekuasaan mestinya menerima kritik masyarakat sebagai bahan koreksi sebelum terjerumus ke jurang lebih dalam. Tidak melulu mengharap pujian. Mereka yang selalu memberi pujian tak menutup kemungkinan hanya mengharap “kue”, tanpa memperhatikan kebaikan daerah serta masyarakat.

Seorang pemimpin mesti jeli, mana penjilat dan mana yang memberi kebaikan. Bupati Lampung Selatan Zainuddin Hasan yang tadinya lurus,  agamanya “kuat”, ternyata bisa lupa diri oleh ulah para penjilat yang hanya melulu mencari untung.  Alhasil,  sang bupati dan para krononinya ikut terkena OTT (operasi tangkap tangan) KPK.

BERITA TERKAIT  Perjalanan Panjang Mencari Keadilan atas Dugaan Suap Seleksi PPPK Madina

Jika ada elemen yang berani mengkritik, biasanya para kroni pejabat melempar pertanyaan, “Emang apa yang sudah kau perbuat untuk Madina. ”

Dalam konteks kebaikan,  seseorang yang berani mengkritisi dan memberi solusi sudah bagian daripada berbuat untuk daerah.  Tidak mesti memberi materi, paling tidak buah pikiran itu jauh lebih baik daripada hanya jadi penonton. Jauh lebih berharga daripada memuja-muji yang belum tentu pada tempatnya.

Dari faktor alam. Bagaimana penebangan liar (iliegal logging) yang diduga masih marak. Fakta ini antara lain dilihat dari banyaknya kayu-kayu besar turun dari arah bukit dibawa banjir bandang.

Sebenarnya sekitar 16 tahun lalu, Prof. Ir. H. Zulkarnain Lubis, M.S.,Ph.D., sudah mewanti-wanti terjadinya banjir besar di Madina.

Dalam artikelnya yang dimuat H.U. Waspada pada 25 Pebruari 2002, berjudul “Mandailing Natal Menunggu Banjir?” dia menyebutkan dalam waktu yang tak terlalu lama banjir besar akan menenggelamkan kota-kota yang ada di Madina.

Putra Madina yang sekarang jadi guru besar dan wakil rektor di salah satu perguruan tinggi swasta (PTS), itu beralasan, jika musim kemarau tiba, sungai-sungai yang ada di daerah ini menjadi sangat kecil dan mengering.Tetapi kalau musim hujan, sungai menjadi sangat besar dan mengerikan. Bisa menghanyutkan apa pun yang dilaluinya.

Sebagai contoh, bisa dilihat pada perilaku sungai yang melintas di Kota Panyabungan, yaitu Aek Pohon di Pidoli. Pada musim kemarau tak lebih seperti  selokan untuk cuci kendaraan pun sudah sangat sulit. Sementara pada musim hujan, airnya cukup besar.

Hal sama terjadi pada Aek Mata, Aek Rantopuran, Aek Batang Gadis dan lainnya.Bahkan kondisi serupa juga terjadi di Aek Batang Natal serta Aek Sisoma.

Masih menurut Zulkarnain, hal itu sangat berkaitan erat dengan penebangan hutan secara besar-besaran yang sampai saat ini (saat artikel dibuat), kabarnya terus berlangsung di sana.

Jika Aek Batang Natal dan Aek Sisoma melimpah,maka Muarasoma juga akan tenggelam dan sejumlah daerah di Natal akan terkena dampak kiriman banjir.

Apakah kekhawatiran sang profesor itu yang sudah terjadi dua pekan lalu, atau masih ada yang akan terjadi lebih besar lagi, sekali lagi:wallahu aqlam bissawab.

Selain masalah penebangan liar, bisa juga akibat perusakan kawasan resapan air karena marak pengembangan tanaman perkebunan, seperti sawit, karet, kopi, dan lain-lain.

Tak bisa dipungkiri penambangan emas liar di Hutabargot dan sekitarnya juga bagian daripada perusakan lingkungan hidup. Saat ini lokasi penambangan sudah rusak parah, perut gunung sudah kosong akibat batu serta tanahnya terus-terusan diambil.

Saat ini, banyak DAS (daerah aliran sungai) rusak parah akibat adanya aktivitas penambangan liar berupa pasir, batu, sirtu (pasir dan batu), dan penambangan emas. Sebagai contoh, DAS Aek Pohon di dekat jembatan Pidoli, Lintas Timur, Panyabungan saat ini sudah “acak-acakan”. lebar DAS di timur jembatan Aek Pohon, itu sampai  200-an meter.

Hal serupa juga terjadi di sejumlah titik di sepanjang Aek Batang Natal, Aek Mata, dan lainnya. Para penambang liar terkesan mendapat pembiaran dari pihak Pemkab Madina, terutama yang menangani masalah lingkungan hidup.

Perlu juga ada kajian apakah banjir dan longsor ini ada kaitan dengan aktivitas pengeboran panas bumi di seputar Gunung Sorik Marapi. Karena sejumlah sungai besar di kabupaten ini, berawal dari gunung tersebut. Apakah rongga gunung itu sudah rusak, sehingga tak lagi mampu menyerap debit air hujan secara baik seperti selama ini?

Dari sejumlah persoalan yang disebutkan hendaknya jadi bahan kajian serta introspeksi diri bagi kita semua, tak terkecuali jajaran pemkab. Misalnya, persoalan tambang emas liar, kenapa selama ini terkesan ada pembiaran.

Demikian juga pengambilan pasir, batu, dan sirtu di DAS tak ada regulasi yang membatasi gerak para pelaku. Mereka seolah bebas merusak aliran sungai. Padahal ketika hal itu menyebabkan bencana, semua ikut menanggung dampaknya.

Soal penanganan wanita malam atau PSK (pekerja seks komersial), pihak terkait sudah sering melakukan razia, tapi tetap saja tidak membuat efek jera para “pemainnya”. Hal ini menandakan penangan yang dilakukan belum tepat.

Narkoba juga merajalela. Kenapa dari zaman “old” hal ini tidak bisa diberantas habis. Apakah para “petani” itu sengaja dipelihara, atau memang ada hal-hal tertentu yang membuat mereka sulit diajak  ke jalan yang benar.

Dan, luluh-lantak itu sudah dihadapan kita. Lalu, ada apa dengan Madina? Hanya kita yang bisa jawab sesuai pemahaman masing-masing.

Pada akhir  tulisan ini, saya kutif potongan puisi postingan Dewi Budiati Teruna di facebook. Sebelum Madina dilanda banjir, dia sempat berteriak keras menyampaikan pesan: alam Madina yang semakin hari ringkih…saya berteriak bahwa gunung-gunung itu menyampaikan kegelisahannya, gunung-gunung itu bagai deru angin yang menangisi setiap lerengnya yang tercabik cabik keserakahan…Gunung-gunung itu terus meratapi menatapi dalam gelap….”Jangan hanya diam kaum” jangan biarkan negerimu luluh-lantak oleh keserakahan…

Semoga musibah ini yang terakhir di Madina…..

(akhiruddin matondang)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BERBAGI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here