BERBAGI
foto: pecinta aswaja madina

HARI ini, sepekan sudah setelah kejadian 30-an pondok santri Pesantren Musthafawiyah Purba Baru hanyut akibat Sungai Aek Singolot meluap. Beruntung tak ada korban jiwa dalam peristiwa ini, namun seorang santri terpaksa dirawat di rumah sakit akibat mengalami luka-luka.

Peristiwa ini sungguh tak terduga. Dalam 50 tahun terakhir, baru pada, Rabu (20/12/2023) malam, lalu Aek Singolot yang mengalir membelah Desa Purba Baru, Kecamatan Lembah Sorik Marapi (LSM), Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumut meluap sampai ke daratan.

Pada awal 2023, tepatnya: Rabu (25/1/2023), sekitar pukul 18.30, Musyadil Kamil (20), seorang santri kelas tujuh asal Riau, meninggal lantaran hanyut terbawa arus Aek Singolot yang sedang deras akibat curah hujan saat itu tergolong tinggi.  Ia terpeleset ke DAS (daerah aliran sungai) saat hendak mengambil wudu. Innalillahi wainnailaihi rojiun.

Apakah dua peristiwa ini pertanda keselamatan para pelajar yang berdasarkan data web site Musthafawiyah pada tahun pelajaran 2020-2021 berjumlah 13.877—sekarang dikabarkan 14 ribuan– santri/santriwati sedang dalam bahaya

Kita berharap tidak. Namun secara jujur, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian pihak Musthafawiyah agar para santri yang datang dari berbagai daerah di tanah air bisa nyaman menuntut ilmu di pesantren ini, sementara para keluarga mereka di asal masing-masing juga bisa tenang.

Dengan kondisi sekarang, tak menutup kemungkinan orang tua santri agak was-was atas keselamatan putra-putri mereka di pesantren yang pada, 12 November 2023, lalu genap berusia 111 tahun.

Apalagi bagi wali santri yang anak mereka tinggal di pondok-pondok berukuran 3×3 meter. Gubuk-gubuk ini sebagian besar berdiri di lahan sepanjang tepi DAS Aek Singolot dan sisi kiri dan kanan jalinsum.

Bisa dibayangkan, jika luapan Aek Singolot pada, Rabu malam, lalu terjadi pada tengah malam atau dini hari, ketika anak-anak usia SLTP dan SLTA itu sedang tidur pulas di pondok masing-masing. Naudzubillah Min Dzalik.

Tulisan berjudul: Bahaya Mengintai Santri Pesantren Musthafawiyah Purba Baru?, ini tidak dalam rangka menakut-nakuti siapapun, terutama orang tua/wali santri, melainkan berharap bisa sebagai  bahan masukan untuk dievaluasi agar kedepan tak terjadi lagi hal-hal tidak kita inginkan.

Bukan hanya soal kekhawatiran Aek Singolot meluap atau terjadi banjir bandang, tetapi bagaimana para santri bisa mendapatkan MCK (mandi, cuci, kakus) yang memadai sehingga mereka tak hanya mengandalkan DAS itu dalam keperluan rutinitas sehari-hari. Kita tak ingin ada lagi santri bernasib seperti Musyadil.

BERITA TERKAIT  Kilas Balik Editorial Koran Beritahuta Edisi 13 Maret 2023: Opini WTP, Setitik Harapan

Soal lain, terkait jalinsum di sekitar pondok salafiyah yang didirikan Syeikh Musthafa bin Husein bin Umar Nasution Al-Mandaily, tersebut bisa disebut termasuk rawan terjadi kecelakaan lalu lintas.

Pernahkah kita membayangkan jika ada pengemudi kendaraan–mobil atau sepeda motor–ugal-ugalan saat santri sedang ramai di berjalan kaki di kiri-kanan badan jalan.

Pernahkah kita khawatir sewaktu-waktu ada pengemudi tak sabar melihat sekelompok santri yang sedang berjalan seolah menghalangi laju kendaraannya. Lalu, dengan emosi serta tak terkontrol dia injak gas.

Lebih fatal lagi,  bagaimana jika ada mobil pribadi atau jenis kendaraan lain mengalami rem bolong  di sepanjang jalinsum sekitar Musthafawiyah. Ini bukan hal tak mungkin, sebab kondisi jalan di sana dari arah Kotanopan menuju Panyabungan agak menurun.

Kerawanan lain, hampir setiap malam ada kelompok santri berkeliaran di Kota Panyabungan sampai sekitar pukul 22.00, bahkan bisa lebih. Informasinya, selain hendak jalan-jalan, mereka ke ibu kota kabupaten ini dalam rangka main game, futsal, atau membeli keperluan sehari-hari.

Tidak jarang mereka secara bergerombol berjalanan kaki dari Panyabungan sampai Purba Baru jika tidak dapat mobil tumpangan. Padahal lumayan jauh, berjarak sekitar 15 km.

Beberapa santri  Musthafawiyah juga kerap nongkrong di jembatan Aek Godang, Panyabungan—dekat Masjid Nur Ala Nur–Panyabungan hingga larut malam. Bahkan, mereka juga belakangan kerap duduk-duduk di tepi jalinsum, selatan lokasi pesantren. Tepatnya di sekitar bundaran jembatan merah.

Sedangkan bagi santri yang tidak tinggal di pondok, banyak di antara mereka saat hendak pergi atau pulang ke rumah memilih angkutan umum yang suka ugal-ugalan. Sudah hal biasa kita melihat para santri menggantung di pintu angkot atau duduk di atas mobil.

Saat ini mungkin persoalan ini tidak kita anggap sesuatu yang membahayakan, namun jika kelak sudah terjadi hal tak diingankan, baru kita sadar atas kelalaian dalam membaca kondisi saat ini. Penyelesalan selalu datang terlambat.

Sebagai penutup tulisan ini, sekadar saran, sudah saatnya letak pondok-pondok santri dijauhkan dari DAS Aek Singolot dan tebing di sekitarnya. Sebab tak ada jaminan, besok, lusa atau entah kapan Aek Singolot tidak bebas dari banjir bandang apalagi pada masa-masa curah hujan tinggi seperti sekarang.

BERITA TERKAIT  Mengenang Perjalanan Bersama Pak Amru...

Sudah saatnya juga pihak Musthafawiyah mencari solusi agar lalu lintas di jalinsum sekitar pesantren selalu lancar, termasuk jika ada ‘pengajian Rabu’.

Keselamatan dan kenyamanan santri dalam menuntut ilmu di tempat ini menjadi hal utama. Tentu ini harus dikaji melibatkan pihak-pihak terkait. Misalnya, memindahkan jalinsum dari sekitar pesantren atau membuat pagar di kiri kanan jalan sehingga para pelajar tidak berjalan kaki di atas aspal.

Artinya perlu ada trotoar yang lebar di sisi kiri dan kanan jalan. Jika perlu dibuat pagar di kedua sisi jalinsum, dilengkapi jembatan penyeberangan. Setidaknya, menyiapkan zebra cross, yakni jalur bagi pejalan kaki agar bisa melintas di jalan raya.

Saya kira dengan kapasitas Mudir Musthafawiyah H. Mustafa Bakri Nasution, Harun Mustafa Nasution yang saat ini menjabat wakil ketua DPRD Sumut, dan pihak-pihak lain hal tersebut bukanlah sesuatu yang sulit.

Musthafawiyah perlu meningkatkan pengawasan sehingga santri tidak berkeliaran pada malam hari. Kalau memang ada aturan santri hanya boleh di luar pondok mereka sampai pukul 23.00, tentu saja sudah saatnya dilakukan razia. Sungguh berbahaya jika tengah malam mereka sampai berjalan kaki dari Panyabungan ke Purba Baru.

Kita tak ingin anak-anak yang sedang menuntut ilmu agama itu mengalami hal buruk. Pun kita tak harapkan ada di antara mengalami sesuatu yang membayakan keselamatan mereka.

Kalau memang betul santri  mau main futsal di Panyabungan, tentu sudah saatnya Musthafawiyah memikirkan membangun sarana olahraga di sekitar pesantren. Bukankah usia santri-santri itu lagi senang-senangnya olahraga. Selain menjaga kesehatan, juga dalam menggali bakat-bakat terpendam dalam diri mereka.

Demi kesehatan dan keindahan, sudah sewajarnya setiap petang para santri memungut sampah yang bertebaran di tepi jalinsum dan sekitar pondok-pondok mereka. Mens sana in corpore sano, dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat.

Terakhir, bagaimana perasaan para orangtua santri Musthafawiyah yang domisili dimana-mana terhadap anak mereka, juga pernah saya rasakan lantaran ketiga anak saya pernah tinggal enam tahun di pesantren. Pasti ada rasa khawatir, meskipun sebenarnya mereka tinggal di lingkungan asrama yang dijaga ketat, tidak bebas berkeliaran.

Semoga bermanfaat…

Akhiruddin Matondang

BERBAGI