OLEH : AKHIRUDDIN MATONDANG
BAK tersentak, para siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dikagetkan kabar program bimbingan belajar (bimbel) online, selanjutnya dalam tulisan ini disebut: BO. Kegiatan ini digelar komunitas masyarakat peduli pendidikan Mandailing Natal (Madina). Mereka menyebut diri: Madina Up.
BO merupakan buah pikiran Prof. Dr. Ir. H.M. Turmuzi Lubis, MS., guru besar Universitas Sumatera utara (USU). Ia dibantu sang istri, Dr. Hj. Fatimah Batubara, dan sejumlah relawan. Termasuk anak muda berprestasi, Afrizal Yusuf Rangkuti.
Bagi Turmuzi keinginan mengabdi bagi dunia pendidikan Madina sudah lama tertanam. Dalam beberapa kesempatan ia sering menyatakan prihatin terhadap kualitas pendidikan di kabupaten ini. Data terakhir, Madina berada di urutan ketiga dari bawah. Kalah jauh dibanding kabupaten/kota lain di Sumut.
Beberapa kali putra Desa Hutarimbaru, Panyabungan Selatan, Madina itu coba berdiskusi bersama sejumlah pihak yang juga peduli terhadap peningkatan kualitas alumni SLTA di Madina, namun selalu terbentur dana. Selama ini konsep yang dirancang fokus pada program bimbel tatap muka.
Jika metode tatap muka diusung, perlu biaya besar. Selain itu, para tentor yang umumnya tinggal di Medan, belum tentu bisa setiap saat datang ke Madina.
Metode bimbel tatap muka, misalnya, pernah digelar sekelompok alumni SMA Negeri 1 Panyabungan sekitar 30-an tahun lalu. Saat itu, saya salah satu pesertanya. Sejumlah mahasiswa PTN (Perguruan Tinggi Negeri) di Medan datang menyelenggarakan bimbel bagi kelas tiga.
Meskipun dampak bagi siswa ada, namun tidak signifikan. Selain waktu bimbel terbatas, para siswa kelas tiga juga kurang konsentrasi karena ia harus juga fokus persiapan Ebtanas–sekarang UN. Waktu pelaksanaannya pun terlalu dekat dengan jadwal ujian kelulusan sekolah.
Metode pemerataan materi pelajaran terhadap semua siswa juga dinilai kurang efektif sebab kemampuan mereka berbeda-beda, ditambah tak semua murid berangan-angan ikut Sipenmaru–sekarang SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Itulah antara lain yang menjadi alasan Turmuzi coba membuat konsep BO. Meskipun mulai dilaksanakan jelang UN, tapi sasarannya bukan kelas XII, tapi kelas X dan XI.
Dengan mengusung BO, tentu saja biaya yang diperlukan lebih kecil. Karena para tentor tidak mesti datang dari Medan, sebab proses bimbingan dan pembahasan soal-soal dilakukan melalui online. Kalaupun mereka datang ke Madina, hanya pada waktu tertentu, misalnya, saat try out.
BO yang digagas Turmuzi fokus untuk kesiapan siswa berpotensi masuk PTN favorit di Pulau Jawa, seperti UI, ITB, Unpad, UGM, ITS, dan IPB. Pada saat dilakukan tes seleksi calon pesertanya, tampak mereka serius dan semangat.
Sayang, kuota dibatasi mengingat berbagai keterbatasan. Sejak awal Madina Up tidak menginginkan kuantitas, tapi mengedepankan kualitas. Dari 1000-an siswa kelas X dan XI jurusan IPA yang ikut tes, dijaring 80 murid. Penentuan kelulusan sesuai ranking hasil tes.
Lalu, apa sih BO ini. Memang BO masih terasa asing bagi kita. Untuk mensosialisasikan program ini, Turmuzi sengaja mengundang empat kepala sekolah di Madina, komite sekolah, dan para guru terkait program ini.
Latar belakang BO, di antaranya: sedikitnya lulusan SLTA Madina masuk PTN melalui SBMPTN, kurangnya distribusi lulusan SLTA Madina pada PTN favorit di Pulau Jawa, serta minimnya generasi Madina berkarir PNS dan BUMN di tingkat pusat.
Tak hanya itu, pengurangan kuota masuk PTN melalui SNMPTN atau jalur undangan juga menjadi alasan perlunya BO. Mulai tahun 2019, jumlah kuota jalur undangan tinggal 20 prosen, dari sebelumnya 40 prosen. Pembagian kuota masuk PTN tahun 2019, yaitu: jalur SNMPTN (20 prosen), SBMPTN (40 prosen), dan Mandiri (40 prosen).
Entah was-was dengan kondisi itu, ketika mulai menyampaikan sambutan saat sosialisasi, tampak kedua bola mata Turmuzi berlinang. “Saya sedih. Saya prihatin dengan kualitas pendidikan kita dibanding daerah lain di Sumut,” katanya.
Turmuzi pun menjelaskan mengenai program BO. Yaitu, metode pembelajaran siswa menghadapi SBMPTN sejak kelas X dan XI. Ini berbeda dengan lazimnya, bimbel persiapan SBMPTN lebih banyak dilakukan bagi kelas XII atau setelah lulus SLTA.
Program ini tidak bermaksud mengesampingkan atau terkesan tak percaya terhadap guru. Tidak. Justru harus ada sinergi, seirama dan sejalan sehingga saling mengisi. Kurikulum sekolah fokus pada persiapan UN, sementara BO fokus pada kesiapan menghadapi SBMPTN.
Pun air mata Turmuzi tak terbendung ketika bertemu 80 siswa yang lulus tes seleksi pada Kamis (24/1). “Saya bangga bertemu bibit-bibit unggul Madina. Kalian juga harus bangga berada di sini,” katanya, tak kuasa menahan haru.
Ke-80 siswa begitu bersemangat setelah dapat penjelasan dan motivasi dari sang profesor. “Aku bisa…aku bisa…dan aku bisa,” kalimat itu berkali-kali menggema di Aula SMA Negeri 1 Panyabungan.
Dalam kesempatan itu, Afriansyah coba memberi satu contoh soal SBMPTN. Tadinya soal ini hanya sekadar simulasi bagaimana “Zenius” menjawab suatu soal melalui online.
“Atau ada yang bisa mengerjakan soal ini,” tanya Afrinsyah dihadapan para siswa. Seolah dikomando, tiga di antara 80 siswa berpotensi serempak tunjuk tangan. “Coba kamu,” katanya ke salah seorang siswa.
Lysni Alijah Batubara, siswa kelas X MAN 1 Panyabungan, maju ke depan. Ia pun mengerjakan soal itu secara lugas, sembari memberi penjelasan seolah ia seorang guru.
“Adek betul. Ini salah satu cermin kalau kita sebenarnya bisa. Tinggal mengelola potensi yang ada dalam diri adek-adek,” kata Afriansyah.
Turmizi dan Fatimah Batubara tak bisa menyembunyikan rasa gembira atas kemampuan Alijah. Secara spontan keduanya mendekati siswi itu, dan memberikan uang Rp50.000,- sebagai reward. Mereka pun sempat foto bersama sebagai motivasi bagi peserta BO lainnya.
Program BO dimaksudkan memaksimalkan potensi dimiliki siswa. Sebagus apapun potensi seorang siswa, jika tidak dikelola, tak akan berkembang. Karena itu,peserta terus diberi pembelajaran dan pembahasan soal-soal secara bertahap mulai dari titik nol. Kemampuan mereka yang dianggap setara membuat program ini diyakini berjalan lebih mudah. Apalagi ada sistem degradasi, bagi yang tak berkembang.
Materi ujian seleksi siswa berpotensi dikemas secara apik agar sasaran diinginkan tercapai. Yaitu, tes potensi skolastik (TPS) untuk mengukur kemampuan kognitif. Yaitu, kemampuan penalaran dan pemahaman umum yang dianggap penting bagi keberhasilan di sekolah formal, khususunnya pendidikan tinggi.
Lalu, tes kompetensi akademik (TKA) untuk mengukur pengetahuan dan pemahaman keilmuan yang didapat di sekolah. Ini diperlukan bagi seseorang agar dapat berhasil dalam menempuh pendidikan tinggi.
TKA juga mengukur kemampuan kognitif yang terkait langsung dengan konten mata pelajaran di sekolah. Penekanan tes adalah pada higher order thinking skills (HOTS).
Siswa berpotensi hendaknya menjadikan BO sebagai wahana bermain sekaligus menimba ilmu menghadapi SBMPTN. Jadikan sesuatu yang menyenangkan seperti rekreasi. Jadikan sesuatu yang menggembirakan jika mampu menyelesaikan soal-soal.
Ke-80 siswa adalah siswa-siswi terpilih yang harus siap mengembangkan serta mengelola potensi diri. Harus punya semangat dan tidak mudah putus asa menghadapi tantangan masa depan. “Jangan mudah putus asa. Apapun tantangan hadapi. Jauhi sifat parbuncut kalau ingin sukses,” ujar Turmuzi.
Demikian juga saat mengerjakan soal-soal lewat online, siswa harus percaya diri. Jika tidak mampu, sebaiknya tanya ke kawan. Jika kawan tidak bisa, baru minta penjelasan tentor. Lalu, jika ada kawan dari luar kelompok BO bertanya, ilmunya juga harus dibagi. Tidak boleh pelit agar semua bisa.
Peserta BO bisa berinteraksi dengan tentor melalui jaringan google room. Jika peserta betul-betul memanfaatkan BO, ujar Afrizal yang alumni jurusan Teknik Informasi USU, impian siswa masuk ITB, UI, UGM, ITS, Unpad,atau IPB, bukan sesuatu yang sulit.
Apalagi waktu pelaksanaan BO masih panjang. “Target program ini mulai SBMPTN tahun 2020,” sebut salah seorang perwakilan Indonesia di ajang Asia Pasific ICT Alliance Award (APICTA Awards) 2018 di Guangzhou Cina.
Informasi program BO pun cepat menyebar. Seorang pembaca Beritahuta.com di Negeri Kincir Angin mengirim pesan melalui WhatsApp, ini isinya: Assalamu’alaikum. Perkenalkan saya Ahmad Yani Lubis. Bekerja sebagai auditor di suatu instansi (menyebutkan nama lembaga). Saat ini sedang menempuh pendidikan master di Wageningen University Belanda. Au asli Kotanopan, bagas ni orangtuangku i Hutarimbaru. SD dohot SMP di Kotanopan do au, SMU di SMU Plus Sipirok. Kuliahku di UGM. Deges uida na ibaen ni abang profesor on na bimbingan online di SMA, khususnya Madina. Au kebetulan lagi get mulak kampung minggu depan mar 3 ari. Porlu do kira-kira mangalehen support tu anggi2 anso tarmotivasi bisa tembus kuliah UI, ITB, UGM dohot IPB bang. Wass
Ungkapan di atas merupakan bentuk rasa peduli dari seorang perantau terhadap dunia pendidikan Madina. Kami berkeyakinan masih banyak “Ahmad Yani Lubis” lain yang ingin berbuat bagi Tano Hasorangan, namun belum tercapai disebabkan berbagai hal.
Apa yang dilakukan Turmuzi baru sebagian kecil dari upaya mengembalikan kejayaan dunia pendidikan Madina. Saat ini BO baru “mendulang” dari empat SLTA, namun dengan dukungan banyak pihak, terutama pemprov, pemkab, perantau serta masyarakat Madina tak menutup kemungkinan program ini meluas.
Mencari siswa berpotensi tak ubahnya seperti “mendulang emas dari kubangan lumpur”. Siapa pun dia, kaya atau miskin, jika mereka berpotensi harus dikemas supaya kelak mereka menjadi generasi berhasil.
Supaya mereka bernilai di mata masyarakat, dan yang terpenting bisa ikut ambil bagian dalam membangun bangsa, khususnya Madina.(***)