BERITAHUta.com—Rencana bimbingan teknis (bimtek) bagi kalangan Tim Penggerak PKK (TP-PKK) pemerintahan desa di Mandailing Natal (Madina), Sumut menjadi sorotan. Kegiatan ini dinilai hanya sekadar menghamburkan penggunaan dana desa (DD).
Miswaruddin Daulay, pemerhati hukum dan sosial di Madina, mengatakan bimtek bagi para istri kepala desa ini sangat kontroversial di tengah wabah covid-19 yang belum usai. “Kegiatan ini tidak efektif, tidak tepat sasaran, pemborosan anggaran serta terindikasi melanggar hukum,” katanya, Rabu (17/3-2021).
Dirilis dari artikel yang diunggahnya di salah satu grup WhatsApp, dia menyebutkan berdasarkan pengalaman beberapa kali dilakukan bimtek bagi kepala desa pasca bergulirnya DD, hampir semua dilakukan di luar daerah.
“Apakah Pemkab Madina pernah melakukan evaluasi terhadap seluruh pelaksanaan bimtek tersebut. Sudah berapa anggaran dihabiskan untuk kegiatan bimtek. Apa hasil yang telah didapat,” tegas Miswaruddin.
Sebagai contoh, katanya, berdasarkan pantauan di lapangan sebagian besar pemerintah desa belum mampu mengerjakan rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes), rencana kerja pemerintahan desa (RKPDes), anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes), surat pertanggung jawabab (SPJ), rancangan anggaran biaya dan gambar proyek fisik, laporan pelaksanaan anggaran, dan administrasi lainnya.
“Semuanya masih harus dikerjakan pihak luar pemerintah desa dengan biaya yang sangat tinggi. Diduga kegiatan ini melibatkan perangkat kecamatan dan pendamping lokal desa,” kata tokoh pemuda Madina ini.
Dengan kondisi kualitas pengelolaan administrasi pemerintahan desa seperti ini, kata dia, dimanakah urgensi kegiatan bimtek ini. Lalu, apa kriteria skala prioritas sehingga bimtek TP-PKK harus segera dilaksanakan, bahkan terkesan sangat buru-buru.
Kegiatan bimtek ini ditaksir menghabiskan anggaran cukup besar. Menurut informasi yang beredar, setiap istri kepala desa diwajibkan membayar Rp5 juta. Jika dikalikan dengan jumlah desa di Madina sebanyak 377 desa, maka total anggarannya sekitar Rp1,88 miliar.
Biaya Rp5 juta antara lain diperuntukkan untuk sewa gedung, sewa kamar, konsumsi, honorarium dan akomodasi narasumber dan tentu saja keuntungan lembaga penyelenggara bimtek swasta.
Jika kegiatan bimtek ini dianggap perlu, menurut Miswaruddin kenapa tidak dilaksanakan di Madina. Supaya efisien, bisa saja dengan cara menggabungkan desa tiap empat kecamatan sehingga terselenggara enam putaran bimtek di kecamatan sesuai kesepakatan atau lokasi lebih strategis.
Ini dimaksudkan untuk menghemat biaya, sebab sejumlah pos biaya bisa dipangkas. Misalnya, sewa gedung dapat ditiadakan karena memakai aula kecamatan. Menghapus sewa kamar karena peserta bisa pulang setiap hari ke rumah masing-masing.
Selain itu, tidak perlu ada keuntungan penyelenggara karena pemerintah desa dikoordinir camat langsung dengan mendatangkan narasumber dari kementerian terkait.
Dengan penyelenggaraan seperti ini dipastikan jauh lebih hemat. Bahkan, hemat sampai 70 prosen dari anggaran ditetapkan panitia. “Dana penghematan memungkinkan dipergunakan untuk keperluan lain seperti modal usaha bergulir atau membangun sarana infrastruktur desa, “ jelas Miswaruddin.
Dia menambahkan, karena kegiatan ini dilaksanakan di luar Madina, tentu bagi para peserta masih harus mengeluarkan biaya transportasi dan akomodasi yang jumlahnya jutaan juga. (*)
Peliput: Tim
Editor: Akhir Matondang