PANYABUNGAN, BERITAHUta.com—Bupati Mandailing Natal (Madina), Sumut H.M. Jafar Sukhairi Nasution menegaskan pemerintah daerah dan unsur Forkopimda tidak ingin hak warga Singkuang 1, Kecamatan Muara Batang Gadis (MBG), Madina mendapatkan kebun plasma disandera oleh kepentingan kelompok manapun.
Karena itu, pemkab bersama unsur Forkopimda (Forum Komunikasi Pimpinan Daerah) bakal terus mengawal realisasi janji PT Rendi Permata Raya (RPR) dalam mewujudkan kebun plasma tersebut. “Ini akan kami kawal,” katanya saat jumpa pers di Auala Kantor Bupati Madina, Rabu (29-3-2023).
Didampingi Kapolres AKBP H.M. Reza Chairul, Dandim Letkol Inf Amrizal Nasution, Kajari Novan Hadian, Sekdakab Alamulhaq Daulay, dan sejumlah pimpinan OPD, Jafar Sukhairi menyebutkan camat dan kepala desa sudah diarahkan melakukan pendataan warga.
PT RPR, kata dia, sudah menyampaikan komitmen dalam membangun kebun plasma terhadap masyarakat Singkuang 1. “Kami tidak ingin ada upaya-upaya segelintir orang seolah memperkeruh upaya yang sedang dilakukan pemkab,” katanya.
Siapa pun itu, kata bupati, judulnya ingin membela kepentingan masyarakat, namun tanpa kita sadari menjadi hak normatif warga terhalang,” katanya.
Menurutnya, kondisi itulah saat ini yang dihadapi pemerintah dalam menyelesaikan tuntutan warga Singkuang 1. Karena itu, pemkab sedang mendata jumlah kepala keluarga (KK) yang ingin mendapatkan kebun plasma dari PT RPR.
Pemerintah daerah dan Forkopimda tidak ingin hak warga Singkuang 1 disandera oleh kepentingan kelompok manapun. Sebab perjalanan proses mewujudkan plasma sudah berlangsung panjang. “Negosiasi sudah lama. Ini sudah SP 1 (Surat Peringatan), dan SP 2,” jelas bupati.
Alhamdulillah, sebutnya, hal itu baru terwujud pada era kepemimpinan sekarang. Perlu dipahami semua pihak, bahwa HGU (Hak Guna Usaha) milik PT RPR tidak terbit pada masa saat ini. “Tetapi saya tidak mau menyalahkan pendahulu, siapa pun. Sekarang kita bicara kedepan.”
Itulah sebabnya, lanjut ketua DPW PKB Sumut, ia agak sedih karena perjuangan panjang yang dilakukan pemerintah daerah, ketua koperasi, para camat, dan kepala desa seakan tidak dianggap. Padahal pemkab sudah mampu meyakinkan perusahaan untuk membebaskan lahan, membangun dan tanpa melalui akad kredit dengan perbankan.
“PT Rendi langsung yang membiayai, namun kita tidak apresiasi. Persoalan di dalam atau di luar HGU, itu bukan gawe pemerintah kabupaten. Itu proses hukum. Silakan melakukan gugatan secara hukum jika merasa tidak puas,” ujarnya.
Kalau nanti pengadilan menyatakan harus di dalam HGU, lanjut bupati, ya kita hargai. Jangan berasumsi-asumsi sehingga menggiring opini bahwa ada yang terzolimi.
Dia berharap wartawan memberikan informasi berimbang. “Aneh rasanya, pemerintah kabupaten dibranding seolah-olah punya kesalahan fatal. Ini masalah hak dan dimiliki kedua belah pihak,” tegasnya.
Jika kedua pihak tidak ada titik temu, tentu ada kekuatan hukum untuk menyelesaikan. Hanya saja harapannya tidak ada elemen mana pun terkesan memperkeruh situasi. Pemkab tidak bisa memaksa lokasi kebun plasma harus di dalam HGU, kecuali melalui putusan pengadilan.
Sebaliknya, tidak bisa juga PT RPR tak mewujudkan kebun plasma. Mereka harus realisasikan. “Sebenarnya kedua pihak sudah oke. Bisa jadi plasma di luar Singkuang 1 karena tidak ada lagi lahan. Jadi apa masalahnya. Hanya berpindah tempat, tidak mengurangi luas, tidak mengurangi nilai, dan tidak mengurangi segala-galanya,” ujar bupati.
Esensinya adalah pemkab sedang berjuang agar warga mendapatkan hak, tanpa diperkeruh oleh pihak manapun. Karena itu, bupati berharap masyarakat harus mengargai perjuangan pemkab dan warga yang sampai detiknya ini masih berproses.
“Masalahnya dimana. Kita susun draf MoU (Memorandum of Understanding), salah semua. Apapun yang dilakukan pemerintah, salah semua. Karena dalam hatinya, pemerintah harus disalahkan. Saya pikir mereka lupa, ini pemerintah. Tidak bisa semau-maunya menentukan kebijakan,” jelas Jafar Sukhairi.
Lebih lanjut dia mengatakan, “Bapak, ibu selama ini kemana mukanya. Kemana suaranya, kok baru ini (muncul). Pemkab sudah membuat ada titik terang, ada komitmen, dan ada draf MoU, kok aneh, masih tetap disalahkan.” (*)
Editor: Akhir Matondang