ACARA debat publik, baik pilkada, pilgub maupun pilpres pada dasarnya bukan sekadar adu gagasan dan adu ide dalam membangun dan mensejahterakan masyarakat sesuai tingkatannya, tapi bisa juga sebagai tempat mengumbar janji-janji politik yang bakal dijalankan setelah terpilih.
Itulah sebabnya tak salah kita selaku masyarakat Mandailing Natal (Madina), Sumut sedang menanti janji-janji apalagi yang bakal diumbar para kontestan Pilkada Madina 2024, yang terdiri dua paslon (pasangan calon), yakni: Harun Mustafa Nasution-M. Ichwan Hussein Nasution (On Ma) dan Saipullah Nasution-Atika Azmi Utammi (Sahata). Masing-masing paslon tersebut bernomor urut 1 dan nomor urut 2.
Selama masa sosialisasi dan kampanye yang kini tengah berlangsung masyarakat mungkin sudah sering mendengar sejumlah janji yang terucap dari kedua paslon, misalnya, jika mereka terpilih siap memajukan UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah).
Dalam tulisan ini saya tidak hendak membahas janji-janji yang telah terucap, tetapi mau menantang kedua paslon menyampaikan komitmen beberapa poin penting yang selama ini seolah membelenggu pihak-pihak tertentu.
Jika di antara paslon berani mengutarakan janji ini di forum resmi yang diadakan KPU (Komisi Pemilihan Umum), tidak menutup kemungkinan berpotensi mendulang pundi-pundi suara melalui acara debat publik. Apalagi tim pemenangan dan para pendukung meng-endorse cuplikan pernyataan janji tersebut secara terus-menerus melalui media sosial dan alat kampanye lainnya hingga tiba masa hari tenang.
Apa saja janji yang saya yakini ditunggu pihak-pihak tertentu itu pada saat pelaksanaan Debat Publik Pilkada Madina 2024 yang berlangsung, Kamis (14/11/2024) di Hotel Sapadia, Padang Lawas Utara, Sumut.
PERTAMA: paslon ditantang berani membuat komitmen tidak bakal ada lagi kegiatan bimtek (bimbingan teknis) melalui dana desa (DD) dan alokasi dana desa (ADD).
Diakui atau tidak kegiatan ini sungguh sangat memberatkan para kepala desa (kades). Sudahlah dianggap tak memberi manfaat signifikasn dalam menunjang aktivitas sebagai kades, pada saat hendak bimtek—biasanya dilaksanakan di Medan—sebagian di antara mereka terpaksa meminjam uang. Jumlahnya berkisar Rp10-15 juta per orang. Terkadang utusan desa tak hanya kades, tetapi mengikutkan perangkat lainnya.
Entah bimtek, atau apapun namanya seolah momok menakutkan bagi para kades. Terkadang tak cuma setahun sekali karena pelaksanaanya tak hanya pihak pemkab, tetapi ada lembaga lain yang juga ingin menari-nari dari DD.
Lalu bagaimana jika ada suatu keharusan kades mesti mengikuti bimtek, misalnya, bagi kades yang baru dilantik atau kades perlu diberi pemahaman tentang suatu program. Tentu saja silakan saja, tetapi sebaiknya bimtek itu diselenggarakan di Madina saja. Biaya jauh lebih murah dan menambah perputaran ekonomi di daerah ini, asalkan tempatnya tidak dimonopoli satu pihak saja.
KEDUA, adakah paslon yang berani menyampaikan janji atau komitmen jika terpilih tidak bakal ada lagi program titipan melalui DD. Ini sangat penting, sebab DD banyak terkuras pada hal-hal yang terkadang tak bersentuhan dengan kepentingan warga desa. Apalagi jumlah titipan pihak-pihak tertentu sampai belasan poin.
Sama dengan agenda bimtek, sebagian program titipan tersebut melibatkan lembaga lain di luar pemkab. Itulah sebabnya tak seorang pun yang terang-terangan di antara kades berani menolak, sebab khawatir ada pihak-pihak tertentu mencari-cari kesalahan mereka.
Suhandi, wakil ketua Tim Pemenangan Paslon Harun-Ichwan, pernah menyampaikan lewat media online tentang perlunya otonomi desa dan transformasi birokrasi, yakni desa berhak mengurus pemerintahan dan kepentingan masyarakat sendiri.
Kedepan semua yang diamanahkan undang tentang otonomi desa harus dijalankan, sehingga program yang dijalankan harus sesuai musyawarah desa (Musdes).
Suhandi menyebutkan dasar perencanaan pembangunan sesuai RKPDes (Rencana Kerja Pemerintahan Desa) tahun berjalan. “Komitmen paslon Harun-Ichwan adalah menepis program-program titipan,” katanya.
Apa yang disebutkan Suhandi sudahlah betul. Persoalannya ada dua, program titipan sudah ada sebelum pengesahan RKPDes karena pemilik titipan pasti koordinasi dengan Dinas PMD (Pemerintahan Desa) Madina.
Selain itu, jika RKPDes sudah disahkan ternyata ada susulan program titipan, tak seorang pun mampu menghalangi. Alhasil, RKPDes hasil Musdes terpaksa direvisi.
KETIGA: Berani enggak di antara paslon menjamin tidak ada lagi bimtek tak urgen bagi para kepala sekolah dan guru. Baru-baru ini ada bimtek para kepsek (kepala sekolah) di Madina yang dilaksanakan di tiga hotel di Kota Medan.
Informasinya, jika muridnya sampai 60 orang, cukup kepsek saja. Murid sampai 100 orang, kepsek membawa satu orang guru, dan murid di atas 100 orang kepsek membawa dua guru. Satu orang dibebankan Rp3,5 juta. Ketentuan ini berlaku bagi sekolah tingkat SD dan SMP penerima BOS (Biaya Operasional Siswa).
Saya memantau langsung suasana bimtek tersebut di dua hotel dari tiga tempat penyelenggaraan. Dijadwalkan tiga hari, Senin sampai Rabu. Tetapi pada kenyataanya hanya hari Selasa yang secara full ada kegiatan bimtek, selebihnya registrasi, penutupan dan lainnya. Hampir semua kepsek dan peserta sepakat menyebutkan, “Naso adong do labona, tai biama ningiba (tidak ada untungnya, tapi kami mau bilang apa –red).”
KEEMPAT, beranikah di antara paslon yang sedang bermanis-manis mengambil hati masyarakat berjanji jika nanti terpilih mereka tidak bakal berbisnis lagi melalui Dinas Pendidikan Madina dengan cara menjual buku ke sekolah-sekolah yang dibayar kepsek setelah dana BOS cair.
Empat poin itu saja. Jika ada yang berani berjanji pada forum resmi bertajuk debat publik, tidak menutup kemungkinan bakal mampu mendulang suara dari pihak terkait. Selama ini mereka sebenarnya menggeruti, mengeluh, dan merasa tersiksa, tetapi apa daya lidah tak kuasa berucap.
Menurut saya, tantangan ini lebih pas disampaikan terhadap pasangan nomor urut 1. Apalagi diutarakan secara berapi-api dengan narasi yang menggema pada saat closing statemen. Wauuu, begitu menggoda. Ini sangat menarik, sebab Harun-Ichwan belum merasakan nikmatnya DD dan dana BOS, beda dengan yang berstatus petahana sudah pintar menghitung. (***)
AKHIRUDDIN MATONDANG, pemimpin redaksi dan penanggung jawab beritahuta.com