BERITAHUta.com—Angke usurduon kamusta on tu adopanta inda on nagiot pajuljul-juljulkon bisuk, tai ale sisolkot, binaen sumarita ni roa do pamanat-manat partinadingon di pomparanta na parpudi sundut i. I ma da naso ni sungka-sungka doma songon I, songon na manaek opong.
Kalimat itu bagian dari aline keempat lidung panaruon atau kata pengantar dari Mhd. Bakhsan Parinduri (Jasinaloan) selaku penulis Kamus Mandailing-Indonesia
Suatu ungkapan tulus, bahwa kehadiran kamus ini sebagai bentuk perhatian terhadap pemahaman generasi mendatang terhadap bahasa Mandailing. “Diupayakan sebisanya seperti memanjat pohon buraho,” tulis Bakhsan.
Kamus Mandailing-Indonesia yang diterbitkan CV. Prima Utama (2019), terdiri dari 1243 halaman atau setebal sekitar 5,5 cm. Sampul depan dan belakang dicetak full colour (fc) menggunakan kertas art carton, sedangkan bagian isi menggunakan kertas HVS 70 gram.
“Mandailing adalah salah satu etnik tertua di Sumatera. Situs peninggalan zaman mengalithikum, peninggalan candi abad ke-VIII Masehi, termaktub dalam lawatan ekspansi Majapahit pada abad ke-14 merupakan lintasan sejarah yang tidak mungkin terputus,” tulis Dr. Amarullah Nasution, SE., MBA., gelar Baginda Tumbak Srimuda, dalam kata sambutan kamus ini.
Mandailing, lanjut ketua Ikanas Sumut, itu memiliki tanah tumpah darah yang jelas. Sangat kaya adat, seni, budaya, dan bahasa. Memiliki aksara yang merupakan induk aksara Simalungun, Toba, Pakpak, dan Karo. Hal tersebut hendaknya menjadi suatu kebanggaan orang Mandailing.
Sejak dulu masyarakat Mandailing dikenal suka merantau. Misalnya, di Tanah Deli dan Malaysia sudah ada enam generasi yang berdomisili tetap, melebur dan beradaptasi dengan masyarakat setempat.
Hal serupa terjadi di Kotapinang, Negeri Lama, Labuhan Bilik dan Asahan. Sebagian besar merupakan perantau asal Mandailing, bahkan di beberapa tempat ada yang menjadi raja-raja.
Jika dianalisa asal-usul marga Nasution seperti di Kotapinang, Negeri Lama, dan Labuhan Bilik—yang berada di wilayah Melayu– pada suatu ketika marga itu pun tidak boleh disebut. Hal ini bisa menyebabkan semua aspek berkenaan asal-usul dan jati diri Mandailing makin kabur.
“Dalam kaitan mempertahankan warisan leluhur Mandailing, sudah sepatutnya Mhd. Bakhsan Parinduri dapat apresiasi. Apalagi dalam satu dasawarsa terakhir dia telah mengifrahkan lima buku untuk kampung halaman, Mandailing,” tulis Amarullah.
Pada sampul belakang kamus ini, narasinya antara lain: Berbagai aspek budaya yang menjadi jati diri etnik Mandailing makin terancam, tidak terpelihara, dan kian kurang diminati generasi penjaga tradisi.
Beberapa tradisi lisan seperti markusip, marturi, maruling-kulingan, buras lopo, menjadi kalah saing dengan lopo internet yang menawarkan sajian ompung google, youtube, fb, game online, dan sebagainya.
Dalam tautan komunikasi, kosa kata bahasa Mandailing pun makin hari kian miskin. Dari tujuh ragam bahasa Mandailing—andung, bulung-bulung, bura, datu, parkapur, poda, dan somal—interaksi komunikasi sekarang ini, dominan menggunakan ragam somal (sehari-hari). Sedangkan keenam ragam lain mendekati kepunahan.
Kamus ini mendekati lengkap. Hampir semua kata Mandailing yang dulu dan sekarang acap kita dengar atau ucapkan, ada di dalamnya. Sebagai contoh: baul-baul (karung kecil yang dibuat dari anyaman pandan dan baion); babbab (gimbal, pukuli, bal bal); horsang (orsang, gersang); hukkek (tersedak air ketika minum, makanan sewaktu makan); dan ogar (ditawar untuk berkelahi, mop, iogar=dimop).
Tentang Penulis
Mhd. Bakhsan Parinduri dilahirkan di Tombang Bustak “Kuala Lumpur”, Kecamatan Kotanopan, Mandailing Natal, pada 10 November 1964. Ia lulusan SD Tombang Bustak, SMP Negeri 2 Kotanopan, SMA Negeri 1 Kotanopan (1985).
Setelah lulus SLTA di kampung halaman, Bakhsan melanjutkan pendidikan di Fakultas Ilmu Budaya USU (1991) dan FKIP Unimed (2000).
Karya-karya Bakhsan antara lain: Kamus Bahasa Mandailing menerjemahkan karya Williem Iskandar dalam buku “Mengenal Lebih Jauh, Williem Iskandar dan Si Bulus-bulus Si Rumbuk-Rumbuk” oleh Z. Pangaduan Lubis.
Selanjutnya, novel Mandailing “Mangirurut” (2013), “Buras Lopo Mandailing” (2013), “Panduan Markobar” (2014), dan “Simomosan” (2016),
Sejak 1990, Bakhsan aktif menjadi pemain gondang dan gordang sambilan, paronang-onang, dan paralok-alok di Kota Medan. Ia juga memiliki grup gordang sambilan “Raptama”.
Penulis kamus ini sekarang menjabat ketua Bidang Adat dan Seni Budaya Himpunan Keluarga Mandailing (Hikma) Sumut. Ia pernah menjadi pengajar di sejumlah tempat, di antaranya: SMA Al Azhar Medan, SMA Amir Hamzah, USU, UINSU, SMA Prime One School, Bimbel Bimafika, Dakwah USU, Alfitrah, dan Azkia.
Sementara itu, bagi yang berminat memiliki kamus Mandailing-Indonesia karya Mhd. Bakhsan Parinduri ini sekarang sudah bisa dibeli di Gallery Narisya Batik Motif Mandailing, Jl. Williem Iskandar No.99 (depan Masjid Raya) Panyabungan, Madina, Sumut. Telp: 0813-7929-7444.
(akhiruddin matondang)