DUA akademisi bergelar profesor memberikan sumbang saran, masukan, dan juga ada pesan membangun dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) ke-24 Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumut pada, 9 Maret 2023.
Apapun yang diungkapkan kedua akademisi asal Madina ini, sejak awal mereka mewanti-wanti atau berpesan, tidak ada niat apa pun. Tidak ada kebencian terhadap siapa pun, juga sama sekali tidak ada nuansa politis, kecuali hanya suatu ekspresi kecintaan terhadap tano hasorangan, Bumi Gordang Sambilan.
Dua akademisi yang berhasil diwawancarai jurnalis Beritahuta Akhiruddin Matondang di tengah padatnya kegiatan mereka, belum lama ini, adalah Prof. Ir. H. Zulkarnain Lubis, MS, Ph. dan Prof. Dr. H. Eddy Suratman, S.E., M.A.
Prof. Zulkarnain merupakan seorang mantan rektor UMA (Universitas Medan Area) dan guru besar di sejumlah perguruan tinggi (PT), sedangkan Prof. Eddy Suratman Dekan Fakultan Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Tanjungpura, Kalimantan Barat (Kalbar).
Kepakaran kedua akademisi pada bidang ekonomi kemasyarakatan sudah tidak diragukan. Bukan lagi skala daerah, tetapi nasional.
Eddy Suratman menyebutkan sulit baginya memberikan penilaian secara obyektif mengenai kondisi Madina saat ini. Hanya saja sekadar gambaran, dibandingkan lima tahun kebelakang, kondisi daerah ini tak jauh mengalami perubahan.
Hal itu sesuatu yang wajar, sebab hampir semua daerah di Indonesia, bahkan negara-negara di dunia mengalami dampak pandemi covid-19 pada tahun 2020.
Lalu, tahun 2021 dan 2022 mulai pulih. Ekonomi Madina tumbuh 3,2 persen. Tahun 2022: 4,34 persen. Tetapi pertumbuhan 2022 masih jauh dibandingkan sebelum pandemi, yakni: 5,79 persen (2018).
Perlu kita perhatikan, kata alumni SMA Negeri 1 Panyabungan yang juga pengamat ekonomi Kalbar, ini sebelum covid, yakni: 2018/2019, pertumbuhan ekonomi Madina lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekonomi Sumut yang mencapai: 5,18 persen.
Pada saat itu, pertumbuhan ekonomi Madina mencapai 5,79 persen. Pada 2019, Madina juga lebih tinggi dari Sumut. Namun setelah covid, pertumbuhan ekonomi daerah ini sedikit lebih rendah dibandingkan Sumut.
Ini artinya, secara keseluruhan proses pemulihan ekonomi Madina lebih lamban dibandingkan Sumut. Kondisi ini relatif dialami semua daerah kabupaten di Indonesia, itu tadi: dampak covid yang sangat luar biasa.
“Kalau saya lihat mengapa bisa pertumbuhan ekonomi Madina lamban, ini lantaran kita masih terperangkap mengandalkan sumber daya alam (SDA) atau sektor primer,” kata Eddy Suratman, yang juga menjabat ketua tim EKPD (Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah ) Universitas Tanjungpura.
Menurutnya, sekitar 46,76 persen perekonomian Madina ditopang pertanian, kehutanan dan perikanan. Lima tahun lalu, angkanya baru 43,57 persen.
Artinya dalam lima tahun terakhir bidang perikanan, kehutanan, pertanian dalam perekonomian Madina meningkatkan sekitar 3 persen.
“Ini yang mau saya sampaikan, ciri daerah maju biasanya kontribusi sektor pertanian terus mengalami penurunan karena diambil alih sektor industri dan perdagangan,” katanya.
Di Madina, ujar Eddy Suratman, ternyata insdustri cenderung mengalami penurunan atau agak jalan di tempat, dari 11,30 menjadi 11,44 persen.
Malah, sektor perdagangan dan jasa turun dari 14,23 persen menjadi sekitar 13-an persen. Dari angka ini dapat ditarik kesimpulan, Madina kaya SDA–pertanian, kehutanan,dan perikanan– tapi hanya menjual itu dalam bentuk bahan mentah.
Alhasil, nilai tambah tidak dinikmati masyarakat Madina. Mestinya ada industri rumah tangga, ada UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) yang bergerak untuk menjual hasil pertanian menjadi harga lebih menarik.
Untuk menaikkan nilai tambah tentu membutuhkan industri dan Madina sepertinya tidak melakukan proses itu, setidaknya dalam tiga tahun terakhir hanya menjual hasil pertanian, perikanan dan kehutanan dalam bentuk mentah.
“Menjual bahan mentah ini sangat riskan, sebab hasil pertanian sering kali jatuh pada saat panen. Ini juga terkonfirmasi dari data kemiskinan,” kata salah seorang panelis Debat Capres-Cawapres Pilpres 2019.
Madina kaya SDA, tapi kita belum mampu meningkatkan nilai tambah. Karena itu kedepan, tema besarnya adalah sebenarnya hilirisasi. Yaitu, komoditas yang diekspor atau dijual tidak lagi berupa bahan baku, tetapi dalam bentuk produk turunan atau barang jadi
Tambang, kalau potensial, jangan hanya keluar dari Madina setengah jadi. Lalu, ikan-ikan hanya dijual mentah keluar kabupaten, tapi adakah nilai tambah yang bisa kita tingkatkan. Misalnya, sawit kenapa hanya CPO (crude palm oil), pabriknya dimana.
Tidak ada yang tak mengakui, Madina punya semua. SDA lengkap, Kita punya laut. Lahan subur, kita punya semua. Kemungkinan yang perlu diperhatikan fokus. Fokus kita apa sih sebetulnya dalam mempercepat kemajuan atau mengurangi ketertinggalan pembangunan Madina.
Sementara itu, Prof. Zulkarnain mengatakan, jika kita jujur, sejak mekar dari Kabupaten Tapanuli Selatan, perkembangan Madina tidak terlalu signifikan. Biasa-biasa saja. Sehingga dapat dikatakan secara umum stabil, dalam arti maju, tidak. Mundur pun, tidak.
Selama 24 tahun, Madina tidak memiliki prestasi menonjol, sebaliknya secara umum juga tidak anjlok. Ini disebabkan selama ini Madina dibangun belum berbasis masalah. Suatu masalah bisa diselesaikan jika ada data, sebagai awal merencanakan program.
Bidang SDA, Madina belum dapat memanfaatkannya secara optimal sebagai penopang ekonomi masyarakat dan menunjang program pembangunan. Padahal potensi ini sebenarnya memiliki keuntungan komperatif dan kompetitif dibandingkan daerah lain.
“Jika kita mampu mengelola potensi SDA dengan baik, hasilnya pun bisa berdampak positif bagi kehidupan masyarakat,” kata guru besar di sejumlah perguruan tinggi (PT) tersebut.
Dari data, kata dia, kita tahu pembangunan apa sebetulnya paling potensial dikembangkan untuk membantu ekonomi masyarakat. Jika menurut data bidang pariwisata atau pertanian, misalnya, cocok maka itulah dilakukan.
Jika mau bidang industri, industri apa saja yang dapat membawa multiplier effect terhadap masyarakat. Mampu menjawab selera pasar sehingga punya potensi berkembang disebabkan memiliki nilai jual yang kompetitif.
Menurut pengamatan Zulkarnain, program kerja seperti itu belum sepenuhnya dilakukan di Madina. Belum seutuhnya suatu kebijakan dijalankan berdasarkan database. “Itulah perlunya data base. Setiap kebijakan beracuan pada data. Terkadang karena pertimbangan politis atau kepentingan lain, bisa saja program yang disusun tidak menyentuh kepentingan masyarakat,” katanya.
Bisa juga kebijakan seorang kepala daerah karena pertimbangan reaktif terhadap suatu masalah. Misalnya, ada sesuatu sedang ramai, lalu ikut-ikut memainkannya. “Sporadis, bukan berkelanjutan. Ini sangat tidak sistematis.”
Mestinya, kata Zulkarnain, suatu program disusun secara sistematis, bekelanjuan, terukur dan terarah berdasarakan database. Makanya, sebenarnya perlu orang-orang memiliki kemampuan menganalisa di sekitar bupati agar bisa mengembangkan daerah ini lebih baik. Tidak mesti pintar-pintar, juga tak harus bergelar akademik doktor atau profesor.
Bukan itu. Tetapi dia mampu menganalisis yang betul-betul bisa berpikir secara rasional. Mengutip kata orang sunda: kumaha engke… atau engke kumaha. Bagaimana nanti atau nanti bagaimana.
Sekilas kata-kata itu serupa. Tapi ternyata mempunyai makna yang sangat berbeda. Kumaha engke mengandung makna sesuatu tindakan kurang terencana. Tidak memikirkan risiko di kemudian hari, yang penting jalankan saja, soal risiko dan bagaimana nanti.
Engke kumaha, artinya sebelum melakukan sesuatu memikirkan bagaimana resikonya pada masa mendatang. “Kumaha engke, itu enggak benar. Engke kumaha, dia sudah memprediksi apa yang bakal terjadi kedepan.” (*)
Editor: Akhir Matondang