BERBAGI
Asma Tanjung (foto: ist)

LABBAIK ALLAHUMMA LABBAIKKalimat talbiyah ini kini terus bergeming di hati Asma Tanjung. Ia seakan tak sabar menginjakkan kaki di Tanah Suci, suatu impian yang sudah diniatkan sejak 45 tahun silam.

Labbaik Allahumma labbaik. Aku memenuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu.”

Suatu penantian panjang. Asma Tanjung binti Muhammad Khatib Sulaiman adalah salah seorang dari 221 ribuan jemaah haji asal Indonesia yang bakal berangkat tahun 2025. Atau, termasuk di antara 550 jemaah calon jemaah haji asal Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumut untuk tahun 1446 Hijriah ini.

Penjual sate yang dilahirkan di Kelurahan Panyabungan III, Kecamatan Panyabungan, Madina 78 tahun lalu tergabung dalam kloter (kelompok terbang) 5, yang menurut rencana berangkat dari Masjid Agung Nur Ala Nur menuju Asrama Haji, Medan pada, 5 Mei 2025.

Jemaah asal Madina terbagi dalam dua kloter, yakni kloter 5 dan 22. Sedangkan kloter 22 berangkat dari Masjid Nur Ala Nur Panyabungan pada, 26 Mei 2025.

Asma Tanjung kini tengah disibukkan persiapan keberangkatan memenuhi panggilan-Nya. Sesuatu yang pada puluhan tahun lalu tak mungkin, bahkan terbayangkan saja tidak, sekarang mendekati kenyataan.

Dia sadar, meski niat ke Tanah Suci sudah terpatri di dalam hati hamba Allah, jika Dia tak meridhoi, tentu niat itu tidak akan terwujud. Apalagi biaya berangkat haji tidaklah sedikit bagi masyarakat kecil, sementara usaha satu-satunya untuk mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarga hanya mengandalkan hasil jual sate di Pasar Panyabungan.

Usaha kecil-kecilan pakai gerobak, layaknya pedagang sate Padang yang kerap membuka lapak di pinggir jalan.

Adalah wajar ketika terkadang Asma Tanjung seakan pesimis niatnya bakal terkabul. Muncul seperti putus asa lantaran penghasilan tidaklah menentu.

BERITA TERKAIT  Pemkab Madina Perbaiki 2 Tanggul Jebol di Siabu Pakai Dana TT Tahun 2023

Namun keyakinan pada niat baik, mampu mengalahkan rasa pesimis. Bahkan belakangan berbagai halangan yang membuat jumlah tabungan haji tak bertambah, dijadikan suatu cobaan. Dia terus berusaha, menyisihkan setiap hari dari hasil berdagang.

Asma Tanjung terus mengumpulkan uang sedikit demi sedikit supaya bisa mendapatkan dana setoran awal, yakni Rp25 juta. Setoran ini sekaligus syarat memperoleh kuota atau seat.

Menurut Asma Tanjung, dia bersama suaminya, Nasir, kali pertama terketuk hendak melaksanakan haji  sekitar tahun 1980. Pada saat itu berawal dari percakapan biasa-biasa saja, tak terlalu serius. Maklum, untuk menutupi kebutuhan keluarga saja dengan lima anak terkadang sulit.

Tetapi di balik itu, ada kuasa-Nya. Dan, inilah mungkin yang disebut: ucapan menjadi doa.

Kala itu, sembari menyiapkan dagangan, menusuk potongan-potongan daging ayam kampung—belum ada ayam merah atau ayam broiler—mereka setengah bergurau menyampaikan keinginan naik haji. Karena serasa tak mungkin, terucap juga caranya. Yakni setiap hari uang hasil berjualan disisihkan, lalu ditabung. “Apa mungkin,” demikian kira-kira ucapan Asma Tanjung.

Memang angan-angan itu rasanya terlalu berlebihan bagi seorang penjual sate. Apalagi ketika itu mereka yang bisa naik haji umumnya hanya orang-orang tertentu, seperti orang berada, pedagang kain, pedagang emas, pemilik toko atau punya tanah luas.

Bagi Asma Tanjung dan Nasir, jika Allah berkehendak, tak ada yang tak mungkin. Dengan: basmalah, keduanya sepakat menanam niat untuk berusaha lebih gigih supaya bisa berangkat haji.

Tahap pertama, menghemat pengeluaran sehari-hari. Lalu, uang hasil berhemat itu pun dimasukkan tabungan atau celengan. Sedikit demi sedikit receh dikumpulkan agar cukup sebagai setoran awal mendapatkan seat, yakni Rp25 juta per orang.

foto: ist

Niat mendaftar haji ini sempat goyah. Timbul rasa pesimis di hati Asma Tanjung lantaran suaminya, Nasir, meninggal tahun 2009. Tentu saja dia harus menjadi tulang punggung bagi lima anaknya, yakni: Noviardi Tanjung (ASN), Marwan (jual sate), Desnita (guru PPPK), Elini (wiraswasta di Jakarta), dan Dehaironi (ASN guru).

BERITA TERKAIT  Disdukcapil Sosialisasi Cara Daftar Identitas Kependudukan Digital

Pasca “kepergian” suami, semangat Asma Tanjung hendak menunaikan haji akhirnya tak luntur. Tetap gigih berusaha. Selain untuk menyekolahkan anak, juga mengumpulkan biaya setoran awal ke bank yang ditunjuk pemerintah.

Pada akhir 2012 atau 13 tahun lalu, Asma Tanjung pun resmi terdaftar sebagai calon jemaah haji. Kala itu dia sempat menangis lantaran niat berangkat barsama suami terhalang di tengah jalan.

Asma Tanjung sekarang tinggal di Jalan Bermula, Sipolu-polu, Panyabungan. Ia sudah berjualan sate di kota ini sejak 1970. Saat itu Panyabungan secara administrasi merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumut.

Dengan berjualan sate, Asma Tanjung termasuk saksi  sejarah perubahan Kota Panyabungan pada orde lama, orde baru, orde reformasi dan era milenial.

Dulu, pada masa 1970-1980-an, dia berjualan sate di depan Pasar Panyabungan—sekarang Madina Square atau kerap disebut Pasar Lama.

Seiring waktu berjalan, tempat berjualan pun pindah ke Pasar Baru, Sipolu-polu. Sekarang, Asma Tanjung hanya sesekali tampak mendampingi sang anak sebagai penerus berjualan sate di sisi kiri jembatan Sipolu-polu dari arah utara-selatan.

“Saya sudah tua. Saya bisa menyekolahkan anak dan in syaa Allah naik haji, sudah suatu nikmat tak terhingga dari Allah Swt bagi keluarga kami.,” ujarnya pada, Jumat (2/5/2025).

Duyufurrahman. Selamat jalan tamu Allah untuk memenuhi panggilan beribadah di Baitullah.

(akhiruddin matondang)

 

 

 

 

 

BERBAGI