BERITAHUta.com–Tegas, dan tidak basa-basi. Anggota DPRD Sumatera Utara (Sumut) H. Fahrizal Efendi Nasution, SH., mengingatkan kepolisian bahwa perdamaian tidaklah dapat menggugurkan pidana pada kasus tragedi tewasnya lima warga Sibanggor Julu akibat terhirup gas beracun dari aktivitas PT SMGP.
“Saya juga orang hukum pidana. Perdamaian tidak menggugurkan proses penyidikan,” kata Fahrizal Efendi gelar Sutan Kumala Bongsu Lenggang Alam Nasution saat rapat dengar pendapat (RDP) komisi gabungan A,B, dan D DPRD Sumut dengan pihak Polda pada, Rabu (10/3-2021).
Menurutnya, proses hukum kasus PT SMGP (Sorik Marapi Geothermal Power) tetap harus jalan. Kalau ada kelalaian atau unsur kesengajaan yang menyebabkan timbulnya korban meninggal dunia, majelis hakim yang menguji pembuktian pidana dalam persidangan.
Seperti ramai dibicarakan, lima warga Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi (PSM), Madina, Sumut meninggal dunia serta 50-an lainnya sempat dirawat di rumah sakit akibat terpapar gas beracun H2S (Hidrogen Sulfida) dari PT SMGP pada, Senin (25/1-2021).
Meskipun sudah 46 hari pasca kejadian, hingga saat ini polisi sangat gamang memproses kasusnya. Berbagai dugaan pun berseliweran di tengah masyarakat. Umumnya mereka menduga polisi ada “main” dalam menangani kasus tersebut.
Bahkan ada yang menduga polisi sengaja menawarkan perdamaian antara pihak keluarga korban dan PT SMGP supaya bisa dijadikan dasar mengeluarkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan).
Masyarakat menduga, skenario inilah yang dilakukan pada saat dua santri Musthafawiyah Purba Baru tewas di kolam milik PT SMGP di Desa Sibanggor Jae, PSM, Madina, pada tahun 2018 lalu. “Buktinya sampai sekarang kasus itu juga tak ada penjelasan polisi siapa tersangkanya,” kata sumber yang tak mau ditulis namanya.
Padahal, kata Fahrizal, perdamaian tidak lantas menggugurkan proses hukum. “Direktur teknis PT SMGP harus tanggung jawab. Tidak bisa si tukang buka pipa disalahkan. Ingat, mereka sengaja membuka sumur Wellpad SM-T02, bukan kebocoran. Jadi ada kesengajaan,” ujarnya.
Menurut Fahrizal, sumur gas dibuka atas perintah atasan. Penjelasan hukum pidana sangat tegas, siapa memerintah dia bertanggung jawab. Sama seperti dokter dan perawat. Perawat tidak bisa diminta pertanggung jawaban secara hukum jika pasien yang ditangani meninggal dunia, tetapi beban tanggung jawab ada pada dokter.
Semestinya polisi tidak begitu sulit menetapkan tersangka dari PT SMGP terkait kasus gas beracun. “Kalaupun ada perdamaian, biarlah hakim menilai apakah dapat meringankan hukuman atau tidak. Itu sah-sah saja dalam proses hukum di republik ini,” katanya.
Karena itu wakil rakyat dari Partai Hanura ini mengaku heran begitu lambat progres penanganan yang dilakukan Polda Sumut dalam menetapkan tersangka. “Padahal mereka secara tim sudah turun ke lokasi PT SMGP,” sebutnya.
Supaya tidak memunculkan praduga-praduga, mantan wakil ketua DPRD Madina 2009-2014 ini meminta polisi cepat menetapkan tersangka. “Kami harapkan dalam waktu relatif singkat sudah ada tersangka. Sehingga menjadi jawaban atas rasa keadilan masyarakat. Tidak harus demonstrasi lagi kami ke Polda meminta penetapan tersangka,” tambahnya.
Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sumut AKBP Patar Silalahi mengatakan unit Subdit Tipiter (Tindak Pidana Tertentu) masih mendalami kasus tragedi tewasnya lima warga Desa Sibanggor Julu.
“Terkait proses kelalaian ditangani Reskrimum, karena ada yang meninggal dunia. Sedangkan yang sifatnya teknis dalam kegiatan di perusahaan didalami Subdit Tipiter. Itu mengarah pada penanggung jawab,” jelasnya.
Jika Polda sudah dapat klarifikasi dari Kementerian ESDM terkait masalah teknis, baru ditentukan langkah. Sebab, pihak inspektorat pusat selalu melakukan audit secara rutin.
Jika temuan-temuan atau rekomendasi inspektorat Kementerian ESDM tidak dilaksanakan di daerah, berarti sudah masuk kategori kelalaian. Kemungkinan yang menyuruh membuka gas beracun tersebut tidak mematuhi rekomendasi dari inspektorat. (*)
Peliput: Tim
Editor: Akhir Matondang