“TIDAK tahu dari mana dasarnya nilai SKTT saya yang hanya 15. Jangan buat cacat pendidikan di Mandailing Natal (Madina),” kata seorang guru lelaki menyampaikan curahan hati (curhat) saat berlangsung rapat dengar pendapat (RDP) di gedung DPRD Madina, Sumut.
Pada RDP Komisi I dan IV DPRD Madina yang berlangsung, Kamis (28/12/2023), dia menyebutkan, “Nilai SKTT saya 15. Tetapi ada peserta yang pengetahuan sumber daya manusia (SDM)-nya lebih rendah dari saya, bisa dapat nilai SKTT tinggi. Ia pun lulus.”
Itulah sekadar gambaran carut marut nilai SKTT pada seleksi masuk PPPK Madina. Data-data yang diberikan para peserta tes kepada media ini menunjukkan panitia—pihak BKPSDM (Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) dan Dinas Pendidikan Madina—menjadikan angka SKTT sebagai ‘alat’ meluluskan dan tidak meluluskan seorang peserta.
“Jadi permohonan kami, batalkan SKTT, lalu kembalikan ke nilai CAT. Jika pun ada janji dari pemkab terkait pengangkatan honorer tahun 2024, sebaiknya rankingkan saja berdasarkan nilai CAT. Jika tak lulus tahun ini, maka sesuai ranking itulah diangkat tahun depan,” kata guru berbadan agak tegap itu disambut riuh aplaus rekan-rekannya.
Sumber-sumber yang layak dipercaya menduga jumlah sogokan menjadi penentu utama lulus atau tidak lulus PPPK Madina 2023. Banyak ordal alias orang dalam mencari mangsa. Informasinya, ‘pasaran’ di wilayah pantai barat jauh lebih tinggi daripada di daerah lain di kecamatan-kecamatan sekitar Panyabungan.
“Masa kerja saya 18 tahun, nilai CAT pada sertifikat saya 543. Mungkin karena tidak main uang, nilai saya turun menjadi 400-an. Ya tidak lulus,” kata Anti Rosidah, guru honorer asal Batahan.
Amwaluddin Lubis, guru asal Ranto Baek, saat menjelaskan simulasi perolehan nilai pengumuman kelulusan pada RDP di ruang paripurna dewan, secara terang benderang menunjukkan asal-usul nilai SKTT peserta yang tidak lulus.
Dalam simulasi itu tampak jelas bagi peserta yang tak lulus sengaja dibuat nilai rendah dari 10 komponen penilaian SKTT. Mereka yang mendapat nilai SKTT: 15, misalnya, panitia memberi masing-masing nilai satu dari 10 komponen tersebut.
“Kalau moral saya hanya pantas dapat nilai satu, berarti saya tidak pantas jadi guru. Nilai moral satu, sama dengan kejiwaan saya mendekati gila,” kata Syaripuddin, guru SD di Natal.
Sementara bagi mereka yang dinyatakan lulus mendapat nilai SKTT tinggi, bahkan ada yang mendapat masing-masing nilai sembilan dari 10 poin komponen. Itulah sebabnya, banyak peserta yang lulus PPPK memperoleh nilai SKTT sampai 134. Sementara yang tak lulus, hanya mendapat nilai di bawah 20.
Itu fakta tak terbantahkan bahwa ada permainan yang mungkin berawal dari adanya titipan serta keinginan meraup dolar sebanyak-banyaknya. Saya jadi ingat kata seorang calon presiden 2024, fenomena ordal (memang) sangat menyebalkan.
Dalam hajat seleksi masuk PPPK ini pun keberadaan ordal sangat dominan. Banyak titipan melalui berbagai pihak yang merasa dekat dengan para pejabat di lingkungan Pemkab Madina dinyatakan lulus.
Ada baiknya diperiksa nama-nama yang lulus. Sebagai contoh, berapa banyak ‘barang’ titipan seorang pejabat setingkat kepala bidang di Dinas Pendidikan Madina lulus. Ada keluarga lulus, ada juga titipan saudara dan familinya.
Bahkan, seorang peserta seleksi PPPK Madina menyebutkan, ada seorang guru sekolah swasta di Panyabungan diduga dimasukkan ke Dapodik SD Negeri tempat saudara kandungnya tersebut menjabat kepala sekolah. “Dan, lulus,” katanya.
Dollar Hafriyanto, kepala Dinas Pendidikan Madina, tak pernah menggubris setiap pertanyaan konformasi terkait kisruh seleksi penerimaan PPPK ini.
Padahal carut marut proses seleksi PPPK ini sangat runyam. Itulah sebabnya muncul istilah guru honorer siluman. Belum memenuhi syarat masa pengabdian, tetapi lantaran diduga ada permainan antara Dinas Pendidikan Madina dengan sejumlah kepsek, akhirnya ‘siluman’ bisa mendaftar dan pada saat pengumuman dinyatakan lulus.
Konon, para kepsek tak bisa menolak lantaran kehadiran honorer siluman atas permintaan pimpinan. “Guru siluman itu merupakan kecerobohan pihak operator dapodik, kepsek, korwil, dan Dinas Pendidikan sendiri,” tulis seorang wartawan di salah grup WhatsApp. (*)
Editor: Akhiruddin Matondang