PERTENGAHAN 1994. Saya dan beberapa kawan dari Panyabungan mengontrak satu unit rumah di kawasan Kiaracondong, Bandung.
Suatu hari pulang dari kerja, sekitar pukul 02.30, saya memarkir sepeda motor di ruang tengah bangunan empat kamar itu–persis di depan pintu kamar yang saya tempati.
Tak lama berselang tubuh saya rebahkan di kasur. Badan lelah seharian beraktivitas membuat mata cepat tertidur, dan pulas.
Kalau pagi, kuliah. Tak jarang pukul 06.30 sudah harus di kampus. Siang tugas jurnalis, sore tulis hasil liputan. Lalu malam, ada pekerjaan tambahan sebagai asisten redaktur pelaksana H.U. Mandala Bandung. Begitulah saat itu gambaran rutinitas tiap hari.
Ketika bangun pagi, sekitar pukul 06.00, sepeda motor sudah tidak ada di tempatnya. Saya kaget. Jantung berdetak kencang. Penghuni kontrakan tak seorang pun mengaku dengar sepeda motor dibawa keluar rumah.
Saya juga bingung, sepeda motor “dikutak-katik” tak dengar sama sekali. Padahal, lampu kamar hidup. Pintu kamar pun separoh terbuka, sehingga jika seandainya terbangun, pasti lihat pelakunya.
Honda GL-Max, itulah jenis sepeda motor yang dicuri orang itu. Kendaraan dibeli kredit, seingat saya DP (down payment): Rp1,8 juta.
Kala itu harga OTR (on the road) GL-Max sekitar Rp4,2 juta, kelasnya dibawah Honda GL-Pro. Meskipun dapat dikredit, saya sangat bangga pada sepeda motor ini karena dibeli pakai uang hasil keringat sendiri. Sejak lahir, ini kali pertama punya kendaraaan, apalagi hasil usaha sendiri.
Pada masa itu, jika kita kredit kendaraan tidak otomatis masuk asuransi, seperti sekarang. Pihak dealer menanyakan, apakah mau pakai asuransi atau tidak. Pertimbangan keuangan, saat itu saya tak daftar asuransi.
Baru tujuh bulan usia kredit, sepeda motor dicuri. Terbayang begitu terpukulnya saya. Apalagi masih harus bayar cicilan, sementara kendaraan hilang.
Saya lapor Polsek Kiaracondong, tidak ada titik terang. Padahal sudah banyak anggota polisi saya kenal lantaran sering bersua di lapangan.
Tidak putus asa. Berbagai usaha dilakukan agar bisa menemukan kembali kendaraan itu. Setiap ada rekan atau siapa pun memberi informasi tempat orang pintar alias datu, saya datangi. Tak hanya di sekitar Kota Bandung, ke pelosok kampung di wilayah Jawa Barat pun saya datangi.
Anehnya pendapat para orang pintar hampir sama. Selalu memberi harapan, dan menyebut ciri-ciri pelaku. Hal ini membuat saya makin penasaran.
Pekerjaan tidak keruan. Kuliah tak menentu. Siang malam urusan hanya mencari sepeda motor dengan berbagai cara. Stres, ya. Untung saja tak gila!
Dibenak saya, ini bukan lagi sekadar mencari barang hilang, tapi telah tumbuh dalam hati segumpal buruk sangka. Sehingga begitu besar rasa ingin tahu siapa orang yang tega mencuri kendaraan tersebut.
Kebencian menggelora dalam hati. Tidak berpikir lagi soal uang, berapa pun saya keluarkan meskipun terkadang harus meminjam ke kawan atau saudara.
Biaya perjalanan kesana-kesini, sudah pasti. Uang makan, rokok teman, dan amplop untuk orang pintar pun tidak boleh terabaikan.
Setiap petunjuk si orang pintar, saya turuti. Beli ini dan itu, kata dia, tentu tidak mungkin dibantah.
Bisa juga, contohnya, si datu, menyebutkan coba lihat-lihat di pangkalan ojeg utara tempat tinggal anda. Sesekali sepeda motor yang hilang ada di sana.
Berhari-hari tempat sesuai lokasi disebut orang pintar saya tongkrongi, sepeda motor tak nongol.
Tak terasa lebih setengah tahun, saya hanya diberi harapan, harapan, dan harapan.
Seandainya uang operasional cari sepeda motor dikumpulkan, minimal bisa beli dua unit kendaraan serupa secara kontan.
Nyatanya tidak. Sampai saat saya menulis ini, sepeda motor itu tak pernah bersua lagi. Kendaraan hilang, uang habis tak menentu, badan capek, pikiran terkuras, kebencian berkecamuk, dan silaturrahmi terputus karena saya curiga terhadap orang-orang tertenu.
Itulah pengalaman ketika saya tidak bisa mengendalikan nafsu. Ketika telinga tipis, tidak berpikir panjang lagi soal untung rugi.
Ketika ambisius mengalahkan logika akal sehat, informasi dari “setan” pun diterima mentah-mentah. Apalagi sang “setan” pintar bicara, pandai membolak-balikkan aturan, bahkan lihai melihat sesuatu dari satu sisi saja.
Itulah akibatnya saya kalah telak. Sepeda motor hilang, pekerjaan terbengkalai, uang habis, kuliah terganggu, badan serta pikiran capek.
Dalam skala lebih besar, apa yang pernah saya alami saat itu bisa jadi sedang dirasakan pasangan calon (paslon) Dahlan Hasan-Aswin (Dahwin).
Mereka terbuai bisikan orang-orang tertentu yang memberi harapan kemungkinan Dahwin bisa unggul pasca PSU (pemungutan suara ulang) Pilkada Madina, Sabtu (24/1-2021), melalui gugatan di MK (Mahkamah Konstitusi).
Lalu, gugatan pun didaftarkan. Bolehkah ini. Tentu saja tidak ada larangan, bahkan itu hak.
Pada saat awal persidangan PHP (perselisihan hasil Pilkada) Madina beberapa waktu lalu, seorang hakim menyebutkan, “Siapa pun yang menggugat melalui MK kami tidak bisa tolak. Tetapi apakah semua yang didaftar dilakukan pemeriksaan lanjutan, belum tentu,” katanya.
Dengan kata lain, tidak semua gugatan yang didaftarkan di MK bakal disidangkan. Masih terang dalam ingatan, gugatan paslon Sofwat-Beir terkait hasil Pilkada Madina 2020 ditolak majelis hakim MK karena alasan kaca mata hukum.
Dari 136 permohonan PHP serentak 2020 yang masuk ke MK dari 116 daerah, hanya 25 permohonan memenuhi ambang batas sebagaimana Pasal 158 UU Pilkada.
Jadi, silakan saja Dahwin menggugat, tetapi menurut akal sehat saya hal ini hanya akan buang-buang waktu, energi dan lainnya. MK sangat teliti terhadap perkara gugatan yang mereka terima, layak atau tidak dilanjutkan.
Keputusan Dahlan Hasan belum menerima kekalahan melalui PSU tidak menutup kemungkinan menambah antipati masyarakat terhadapnya, selaku calon bupati yang saat ini masih berstatus bupati defenitif.
Seolah tidak siap kalah, padahal sudah pernah membuat surat pengunduran diri, ke presiden lagi.. Seolah ingin menjabat selama-lamanya, pada masa jabatan hanya lima tahun, dan bisa diperpanjang satu periode jika masih dipilih rakyat.
Jika peluang gugatan di MK bagus, logis menurut akal sehat, cukup bukti dan lainnya, tentu saja monggo. Ini, saya tak melihat celah hukum sedikit pun gugatan Dahwin bakal ditindaklanjuti MK. Wajar, saya perhatikan di media sosial langkah Dahwin ini malah menjadi bahan olok-olok dan sindiran.
Banyak pihak menilai gugatan Dahwin ini sangat aneh, sebab secara de fakto dan de jure Dahwin menang pada PSU.
Gugatan janggal karena pihak penggugat adalah pihak pemenang PSU. Perolehan suara Dahwin di atas paslon Ja’far Sukhairi-Atika Azmi Utammi (SUKA).
Pertanyaannya kalau yang menang menggugat ke MK lantas poin keberatannya apa?
Maaf—secara tidak langsung—SUKA menang bukan karena PSU, tetapi ia punya “modal” 235 suara hasil pencoblosan 9 Desember 2020 yang ketika diakumaliasikan dengan suara PSU, menjadi unggul secara menyeluruh. Dan, ini (modal) tak dipunyai Dahwin.
Kuasa hukum SUKA, Adi Mansar, menyebutkan secara de fakto, Dahwin menang dua kali. Yaitu, 9 Desember 2020 dan PSU: 24 April 2021, tetapi secara yuridis yang akan dilantik SUKA.
Dia menyebutkan dalam sejarah MK, baru kali ini ada dua kali obyek gugatan Pilkada di tempat yang sama. Ini menurutnya bis in idem. Artinya apakah boleh satu perkara diadili dua kali.
Itulah mengapa logika akal sehat itu penting, agar kita sendiri tidak ada langkah dan upaya “menggali sumur agar lebih dalam”, seperti saya alamii, get rintik jabat…
Akhiruddin Matondang