AYAH Mukmin, begitu ia biasa disapa. Suatu waktu saya dan rombongan ke rumahnya sekadar silaturrahmi. Saat itu, sepekan sebelum Idul Fitri 1441 H., dia sedang berobat di Sibolga, Tapanuli Tengah, Sumut.
Tidak bertemu Ayah Mukmin, kami ziarah di makam Syekh H. Bahauddin bin Abdullah, uda ni Ayah Mukmin, yang juga kerap disebut Ayah Simaninggir.
Kali kedua, Jumat (29/5-2020), kami ke rumahnya lagi, di Desa Simaninggir, Kecamatan Siabu, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumut. Saat itu kondisi kesehatannya sudah membaik, meskipun masih harus duduk di atas kasur yang sengaja ditaroh di ruang tengah rumah.
Sejumlah ustad yang juga muridnya tampak sedang mengaji dengannya. Rumah semi permanen tersebut memang tak pernah sepi dari kegiatan aktivitas mengaji.
Ada saja tamu yang datang dengan aneka alasan. Selain mengaji, juga banyak masyarakat sengaja menemui Ayah Mukmin sekadar minta didoakan untuk hak-hal baik.
Usai mengaji bersama para ustad yang sebagian besar alumni Musthafawiyah Purba Baru, Ayah Mukmin menerima kami. Saya termasuk beruntung. Dari rombongan kami yang tergolong banyak, saya termasuk didoakan secara khusus agar selalu dalam lindungan Allah Swt. Ia pegang kepala saya, didoakan, lalu ditiup, terasa adem.
Ayah Mukmin. Ia adalah guru senior Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru. Hampir sepanjang usianya dihabiskan sebagai tenaga pengajar di pesantren terbesar di Sumut tersebut.

Selain guru Musthafawiyah, Ayah Mukmin juga guru Ibtidaiyah di Simanggir, imam di masjid Polsek Siabu, imam di masjid Polres Madina, dan salah satu ulama besar di Madina.
Bukan hanya penampilan yang bersahaja, kehidupannya pun sangat sederhana. Sekadar gambaran, saya kutip ungkapan Askolani Nasution di akun facebook-nya.
Askolani, seorang budayawan Mandailing ini juga tinggal di Simaninggir. Ia setiap Senin sore melihat Ayah Mukmin turun dari angkot seraya menjinjing tas berisi pakaian sepulang mengajar dari Musthafawiyah.
Rabu pagi, Ayah Mukmin berangkat lagi naik angkot ke Musthafawiyah. Selain membawa tas berisi pakaian, juga bungkusan sayur dan beras perkiraan kebutuhan sepekan. Tak beda seperti kebutuhan anak kos, mardagang, kata orang dulu.
“Mengapa tidak makan di warung saja,” tanya Askolani suatu waktu ketika bertemu Ayah Mukmin. Seperti biasa, ulama berbadan kecil itu selalu lewat depan rumah Askolani.
“Kalau kamu bisa mengerjakan sendiri mengapa harus mengharap orang lain mengerjakannya,” jawab Ayah Mukmin.
“Jadi abang masak sendiri?”
“Iya.”
Askolani diam, sembari geleng-geleng kepala. Ia membayangkan, di usia 84 tahun, Ayah Mukmin harus bangun subuh, menghidupkan tungku, memasak nasi, lalu merebus daun ubi.
Segera setelah itu, di pondoknya yang kecil, beliau harus siap-siap masuk kelas lagi karena para santri sudah menunggu di kelas.
“Apa tak capek abang mengajar,” tanya Askolani lagi sembari berjalan bersisihan di sepanjang 300-an meter.
“Selama kamu bernafas, kamu wajib membagikan ilmu yang kamu miliki,” jawab Ayah Mukmin.
“Iya, usia abang sudah berapa. Kapan lagi abang bisa istirahat,” ujar Askolani.
Ayah Mukmin hanya tersenyum.
Askolani sangat mengenal Ayah Mukmin. Bahkan sejak sang budayawan ini masih kecil.
Sawah Ayah Mukmin dan punya orang tua Askolani berdampingan. “Sejak kecil, tiap saya ke sawah mamuro, pasti lewat sopo-nya,” kenang Askolani.
Sebelum terbit matahari Askolani sudah melihat Ayah Mukmin berangkat ke sawah, mengerjakan semua hal layaknya seorang petani.
Jelan magrib, Ayah Mukmin membawa gendongan daun ubi untuk dijual di pasar-pasar tradisional. Rutinitas ini dilakukan Ayah Mukin jauh sebelum ia mengajar di Musthafawiyah.
Bagi masyarakat Simaninggir, Ayah Mukmin adalah contoh segala kebaikan dan kesuksesan hidup bersahaja. Semua anak-anaknya berhasil untuk ukuran kampung.
“Kami menyebutnya hasil daun ubi yang setiap usai subuh beliau dorong naik sepeda angin ke pasar. Beliau menjadi streotipe orang tua yang berhasil dengan cara bertani sederhana,” kata Askolani.
Ayah Mukmin, kata dia, beda dengan kebiasan sebagian ulama yang cenderung di menara gading saat namanya membesar. Beliau tidak berubah dari dulu. Tetap lebih dulu menegur orang, mengajak berbicara setiap berpapasan dengan orang, mendatangi hajatan dan kemalangan orang sebagai warga kampung, dan berbagai kebersahajaan lain.
“Dulu, dulu sekali, saya bahkan tidak sekali dua kali membangunkan beliau tengah malam ketika saya butuh bantuannya. Dan, beliau selalu tulus membantu orang kapan saja,” cerita Askolani.
Ayah Mukmin, dengan ilmu agama yang luas tetap bisa menjadi orang yang biasa. Bahkan terlaku bersahaja untuk ukuran keulamaannya. Karena itu, kita tidak hanya kehilangan ulama besar Mandailing, tapi kehilangan orang yang selalu bersahaja dan rendah hati.
Dalam soal bersahaja, ujar Askolani, ia belum melihat ada yang mengimbangi Syekh Mukmin Hasibuan, yang di kampung Simaninggir mereka sebut namanya: Faqih Sutan, sesuai gelar adatnya.
Di penghujung tulisan ini saya tidak bisa membendung air mata. Dibalik kaca mata yang saya pakai, air mata berlinang. Innalillahi wainnailahi rojiun, pagi ini, Ayah Mukmin pergi meninggalkan kita di alam fana ini.
Ayah Mukmin atau Ayah Simaninggir atau Faqih Sutan yaitu Syehk Mukmin Hasibuan mengembuskan nafas terakhir pada Minggu pagi (13/9-2020), sekitar pukul 06.00.
Menurut rencana almarhum dimakamkan, Minggu sore, ba’da salat azar.
Selamat jalan ayah, semoga Allah Swt menempatkanmu di tempat paling mulia di sisi-Nya…Amiin Yra.
Akhiruddin Matondang