PUKULAN itu bukan hanya dirasakan Soripada Siregar beserta keluarga, tapi juga dialami para sahabat Musyadi Kamil di Musthafawiyah Purba Baru. Itulah sebabnya, banjir air mata mengiringi pemberangkatan jenazah almarhum dari komplek pesantren terbesar se Sumatera itu pada, Kamis siang (26/1-2023).
Bagi Soripada, ayah Musyadi, musibah dialami anaknya seperti mimpi. Tidak ada sama sekali pirasat sebelum anak bungsu dari empat bersaudara itu terbawa arus Aek Singolot pada, Senin (23/1-2023).
Kalaupun disebut ada tanda-tanda Musyadi bakal meninggalkan alam fana, belakangan santri berwajah ganteng dan selalu berprestasi ini memang agak bersikap manja kepada ayahnya. Itu tergambar saat mereka berbicara melalui telpon.
Maklum sang ayah adalah tempat curahatan hati satu-satunya. Sebab, ibunya sudah tiada sejak 2017, ketika almarhum masih kelas satu tsanawiyah di Musthafawiyah Purba Baru. “Ibunya sudah meninggal,” kata Soripada yang asalnya dari Padangbolak, Padang Lawas Utara (Paluta).
Saat itu Soripada memang tidak memperhatikan sikap Musyadi tersebut. “Namun setelah saya ingat-ingat ketika dalam perjalanan menuju Madina, baru terasa ada yang enggak biasa belakangan ini dilakukannya,” sebutnya kepada Beritahuta.
Soripada sempat turun ke daerah aliran sungai (DAS) Aek Singolot mencari anaknya pada, Rabu (25/1-2023), tepat tiga hari setelah Musyadi terpeleset saat hendak mengambil wudu di belakang gubuknya, Banjar As-Suja, Komplek Pesantren Musthafawiyah, Kecamatan Lembah Sorik Marapi (LSM), Mandailing Natal (Madina), Sumut.
Ia bersama beberapa santri yang mendampingi coba sekuat tenaga bertahan dari hempasan derasnya Aek Singolot. Saat itu hampir dipastikan pikirannya sedang tak menentu, sebab sudah tiga hari anak kesayangan tak jelas keberadaannya.
Sepanjang penelusuran itu, dalam hati Soripada terus memanggil nama anaknya. “Saya juga selalu lihat ke semak-semak, siapa tahu tersangkut saat debit sungai tinggi,” ujarnya.
Wartawan media ini sempat bincang-bincang dengan lelaki berbadan agak kurus itu saat ia naik ke darat sekadar “menghela nafas” di areal Taman Raja Batu karena tenaganya terkuras menahan terjangan Aek Singolot.
Menurut Soripada, hal lain yang tak biasa dilakukan Musyadi terjadi tepat sehari sebelum musibah terjadi. Minggu petang, atau sekitat 24 jam sebelum santri ini hanyut– pada, Senin (23/1-2023), sekitar pukul 08.30– Musyadi menghubungi ayahnya melalui WhatsApp.
Setelah menanyakan kabar ayah dan keluarganya di Riau, Musyadi menyebutkan kalau bisa ia mau minta dikirim uang. Selama ini, uang belanja secara rutin ditransfer setiap Selasa.
“Kenapa kok mendadak,” tanya ayah dari nun jauh di sana.
“Ada yang perlu dibeli yah,” jawab Musyadi.
Pada saat itu, kenang Soripada, sebenarnya bukan hanya waktu transfer lebih cepat dari biasa, jumlah uang yang minta dikirim pun minta ditambah.
Meskipun Musyadi tidak menyebutkan detail kebutuhan yang hendak dibeli, si ayah memaklumi. Sebab anaknya sedang ujian tahap akhir mondok di Musthafawiyah.
Sore itu, keduanya sempat chatting melalui WhatsApp agak lama. Musyadi juga mengutarakan keinginan pulang ke kampungnya, Pinang Sebatang Timur, Kecamatan Tualang, Provinsi Riau setelah ujian selesai sekitar tanggal 2 atau 3 Februari 2023.
Namun ayahnya memberi saran agar Musyadi pulang setelah pengumuman kelulusan saja. Nanti sekalian administrasi kelulusan diselesaikan dulu, dan barang-barang di pondok pun sudah bisa dibawa.
“Maksud saya supaya tidak bolak-balik, kan tanggung. Kalau enggak salah, tanggal 23 Februari 2023 sudah pengumuman kelulusan,” sebutnya.
Mendengar ungkapan Soripada, almarhum tidak keberatan,” Iya, yah,” jawab Musyadi.
Lalu, Soripada meminta anaknya mengirim nomor rekening supaya ia transfer.
Berselang beberapa saat setelah ditransfer, Soripada memberi tahu anaknya bahwa uang sudah dikirim. “Terima kasih ya yah…” jawab Musyadi melalui chatting WhatsApp juga.
“Itulah chatting terakhir kami, masih ada di hp (handphone), belum saya hapus,” kata si ayah berlinang air mata.
Setelah itu antara ayah dan anak itu pun tak komunikasi lagi. Soripada menyebutkan ia tidak mau mengganggu anaknya yang sedang ujian kelulusan.
Apalagi jelang ujian pada, Sabtu (21/1-2023), Musyadi sudah menelepon minta didoakan ayahnya supaya ujian lancar dan bisa lulus dengan baik. “Doain ya yah,” ujarnya kala itu.
Kini, cerita itu tinggal kenangan. Musyadi telah pergi meninggalkan ayahnya, keluarga, sahabat-sahabat, dan orang-orang tercintanya untuk selama-selamanya. Dia pergi meninggalkan kita pada saat masa-masa menuntut ilmu agama di pesantren itu selama tujuh tahun bakal berakhir.
Pastilah hati sang ayah dan orang-orang tercinta seperti diiris sembilu. Namun, kita harus percaya inilah yang terbaik bagi Musyadi. Ternyata Sang Khalik lebih sayang kepada dia. Lebih cinta kepada dia, sehingga jangan lagi ada tangis atas kepergiannya.
Musyadi, empat hari kau tak jelas rimbanya. Berada dalam ancaman aneka binatang buas. Tak luput dari hempasan arus sungai yang begitu deras, batu besar bertaburan sepanjang sungai, tapi tubuhmu tetap utuh.
Wajahmu pun putih tak berbau. Kau senyum seolah kau bahagia.
MasyaAllah. Selamat jalan ananda, berkah dari ilmumu, ibadahmu, kebaikanmu, dan doa-doa yang terus mengalir dari seantero jagat raya untukmu, in shaa Allah surga menantimu nak.
(akhiruddin matondang)