PEKAN lalu, dia kontak saya melalui handphone. Awalnya ditanya, apakah saya sedang di Lampung atau di Madina. “Uambang dompak i Lampung,” jawabnya begitu tahu saya sedang di Panyabungan.
“Aha na maua,” tanya saya.
“Adong ALS i Kalianda (Lampung Selatan), i tahan malobi sabulan. Kebetulan motor (mobil) na i senggol ALS i motor ni aparat, ana godang i paido alai pardameanna. Padahal anggo menurut carito ni sudaron on bo (si sopir ALS yang ditahan ada di sampingnya), ngana sala ni ALS i, ” jelasnya.
Lama kami berdiskusi bagaimana caranya agar bis trip Bogor itu bisa cepat kembali beroperasi. Apalagi saat itu jelang puasa, penumpang sedikit ramai. Untuk urusan ALS ini, dia sempat menghubung saya tiga empat kali.
Ia begitu peduli dengan nasib dialami sang sopir ALS, padahal belum tentu mereka saling kenal. Hanya kebetulan bertemu di rumah ustad Mahmudin Rangkuti, di kawasan Puncak Sorik Marapi (PSM), Madina.
Percakapan terakhir kami mengenai nasib dialami ALS itu menjadi gambaran sosok seorang Muhammad Nekson Tanjung, salah seorang tokoh pemuda Madina. Ia peduli pada kesulitan orang lain, meski belum tentu mereka saling kenal.
Saya dan Nekson berkawan sejak kecil. Kami juga sempat sama-sama di Bandung, namun jarang bertemu karena kesibukan saya saat itu—kuliah sembari jurnalis.
Sempat putus komunikasi belasan tahun disebabkan jarak, saya di Lampung dia di Panyabungan. Tetapi setelah kami bertemu lagi pasca ditelan waktu, Nekson masa dulu dan sekarang tak beda.
Jiwa sosial dan persahabatannya tinggi. Dulu, siapa orang Panyabungan dan sekitarnya tak kenal toko obat Angkasa, milik almarhum H. Syamsir Tanjung—ayah Nekson.
Kala itu, Nekson bisa disebut “berlimpah” uang dan mereka kategori keluarga terpandang, tapi urusan berkawan dia tidak pilih-pilih serta tak hitung-hitungan, terutama untuk kegiatan olahraga.
Masa-masa kami tingkat SLTP dan SLTA, dia sering membiayai kegiatan sepakbola, bahasa sekarang sponsor setiap ada pertandingan persahabatan atau turnamen diikuti poso-poso Banjarsibaguri, Panyabungan.
Belasan tahun tidak ketemu. Suatu saat saya dapat telpon. “Ho do on Akhir, ” begitu kalimat pertama setelah saya jawab salamnya.
“Olo, maaf ise do on? ”
“Au, si Nekson, ” jawabnya.
“Aha namaso. Idia do on sudaro?”
Dia menyebutkan baru saja turun dari pesawat di Bandara Radin Inten II (Lampung) dan sedang perjalanan naik travel menuju Polres Lampung Selatan di Kalianda.
Sempat saya tanya dari mana dapat nomor kontak saya. Dia sebut dari Bang Syamsul Nasution–jurnalis senior di Lampung.
“Urusan aha dei i Polres? ”
Nekson pun bercerita paket mereka berisi obat-obatan ditahan di Pelabuhan Bakauheni karena kurang kelengkapan administrasi.
“Aso sampe ro jabat tu Lampung, gari ita cubo jolo,” tanya saya.
“Torus torang, nalupa do au na ison ko,” jawab Nekson.
Agar sampai di Lampung dari Panyabungan, Nekson naik pesawat Medan-Jakarta, Jakarta-Lampung, baru travel bandara-Kalianda. Belum lagi travel Panyabungan-Medan. Waktu itu harga tiket penerbangan tidak seekonomis sekarang.
Dibenak saya: Nekson. Dia sahabat baik. Pada masa anak-anak sampai remaja begitu royal kepada kami, rekan-rekan sebayanya. Banyak membantu kegiatan olahraga di Banjarsibaguri. Dus, tidak pilih-pilih kawan meskipun mereka orang “berada”, pun tak sombong.
“Ro maho, so coba ita urus,” kata saya.
Pendek cerita, saya dan Nekson bertemu di suatu tempat, lalu menuju polres. Begitu tiba di ruang Satserse Polres Lamsel, rekan-rekan polisi menyapa saya.
“Siap bang, ada yang bisa dibantu,” kata mereka satu persatu sebagai bentuk persahabatan. Karena profesi, kami memang sering bertemu.
Bahkan, ketika kasatserse-nya pun melihat saya, “Siap bang. Silakan masuk, ” katanya.
“Ise do ho langan ison,“ bisik Nekson ke dekat telinga saya. “Ngadong. Mardongan au dohot kalai,” jawab saya pelan sembari berjalan ke ruang kasatserse.
Niat baik, hasilnya pun baik. Tak lebih 10 menit, paket dalam kardus bisa kami bawa. Bahkan tanpa ada embel-embel ini-itu. Sebelum meninggalkan kantor itu, saya bisikkan ke Nekson, “Lehen parsigaret nalai join.”
“Sadia?” tanya dia.
“Terserahma, parsigaret songoni,” sebut saya.
Sebelum saya antar ke Pelabuhan Bakauheni mau menuju Jakarta, Nekson saya ajak ke rumah dan traktir makan.
Sejak itu, sesekali kami komunikasi karena sudah saling memiliki nomor kontak.
Ketika awal buka usaha batik Mandailing, Nekson sempat antar saya silaturrami dengan M. Yusuf Nasution, sekdakab Madina saat itu.
Dia beberapa kali ajak saya makan siang. Pas sama-sama santai, sesekali kami bincang-bincang lewat lewat telepon. Terkadang bertemu langsung.
Pada pertemuan saya terakhir, dia bercerita mengenai penyakit jantung yang diderita dalam beberapa tahun terakhir. Dia menuturkan, segala daya dan upaya sudah dilakukan untuk mengobati penyakit tersebut.
Nekson sempat menggambarkan kondisi jantungnya saat itu. Waduh, saya merinding mendengar ceritanya. Tetapi saya lihat dia punya secercah semangat dan meyakini bisa bertahan.
Dalam beberapa tahun ini, Nekson rutin kontrol di RS Harapan Kita, Jakarta. Tidak itu saja, dimana dia dengar ada ahli pengobatan jantung, didatangi, baik kota kecil maupun kota besar. Bahkan beberapa kali sempat berobat ke negeri tetangga, Malaysia.
Siang dan malam Nekson bermunajat meminta sembuh. Uang berobat tak terhitung lagi. Semangat. Ya, semangat untuk tetap sehatlah yang membuatnya bisa bertahan dari cengkeraman penyakit dialami.
Tiga hari lalu (17/4), pukul 07.32, Nekson menulis status di facebook: Selamat jalan abg kami Buyung berland smoga amal ibadah nya diterima allah swt alamat duka jln puri medan.”
Di saat rasa sakit menyelimuti diri, lelaki yang sempat membuat tabloid Mandili dan calon anggota DPRD Sumut dari Partai Demokrat pada Pemilu 2019, ini masih sempat mengirimkan doa bagi sahabatnya. Itulah Nekson.
Tapi tak ada manusia yang sempurna. Pun Nekson, di sisi kebaikannya, pasti ada kekurangan. Ada salah dan hilaf, itu kodrat kita sebagai hamba-Nya.
Pagi ini, Selasa (20/4-2021), saya baca postingan seorang rekan di facebook, Nekson meninggal dunia sekitar pukul 05.10, di RSU Panyabungan pada usia 52 tahun. Innalillahi wainnailaihi rojiun.
Selamat jalan sahabat, semoga Allah Swt menerima amal ibadahmu, mengampuni dosa-dosamu, dan keluarga yang ditinggal diberi kesabaran. (*)
Akhiruddin Matondang