PANYABUNGAN, BERITAHUta.com— Ada lima alasan pihak PT Rendi Permata Raya (RPR) bersikeras lahan kebun plasma bagi warga Singkuang 1, Kecamatan Muara Batang Gadis (MBG), Mandailing Natal (Madina), Sumut bakal dibangun di luar areal Hak Guna Usaha (HGU) milik perusahaan perkebunan sawit tersebut.
Dikutip dari ‘obrolan sahur’ di salah satu grup WhatsApp pada, Sabtu (1-4-2023) dini hari, Tim Mediasi Sengketa Masyarakat Singkuang 1 dengan PT RPR Irwan Daulay menjelaskan kelima alasan itu. Pertama: sesuai IUP (Izin Usaha Perkebunan) kewajiban perusahaan bukan dalam bentuk model plasma-inti, tetapi kemitraan. Jadi tidak ada ketentuan dalam IUP areal plasma harus di areal HGU atau di luar HGU.
Kedua, ada perbedaan biaya investasi antara di luar HGU dan dalam areal HGU. Yakni, di areal HGU lebih mahal sekitar Rp40 juta per hektare, sehingga biaya investasi bisa membengkak sampai sekitar Rp24 miliar jika dihitung total luas kemitraan yang bakal dibangun seluas 600 hektare.
Lalu, ketiga: menghindari biaya tambahan upgrade dari HGU ke SHM (Sertifikat Hak Milik) yang nantinya diserahkan ke masyarakat. Bertambah biaya administrasi, urusan makin rumit dan akhirnya memungkinkan menjadi beban bagi keuangan koperasi atau warga.
Keempat, produktifitas dalam HGU rendah karena kondisinya berupa lahan gambut. Sedangkan areal di luar HGU yang sudah diplot lebih baik kesuburan tanahnya dan bisa tujuh sampai 10 ton selisih hasil produksinya per hektare per tahun.
Dan, kelima: pihak bank bakal sulit memenuhi analisa kredit untuk pembiayaan berdasarkan produktifitas dengan nilai pembiayaan yang dibutuhkan.
Dalam diskusi yang juga diikuti Sapihuddin, ketua Koperasi Produsen Hasil Sawit Bersama (KP-HSB) Desa Singkuang 1, Irwan Daulay mengawali percakapan dengan menulis surat perihal: Tinggalkan Perdebatan yang Tidak Penting, Mari Fokus ke Solusi.
Ia menyebutkan sesuai amanat yang disampaikan bupati Madina kepada mereka terkait sengketa kebun kemitraan antara warga Singkuang 1 dan PT RPR, ada beberapa hal yang perlu disampaikan kepada masyarakat sebagai bentuk pertanggung jawaban publik terhadap fungsi pengawasan dan pembinaan pemkab terhadap urusan perkebunan.
Yakni, pertama: benar PT RPR telah lalai melaksanakan kewajiban sesuai aturan dalam IUP tahun 2005. Kedua, atas kelalaian itu berdasarkan aspirasi masyarakat Pemkab Madina telah melayangkan surat peringatan (SP)-1 dan SP-2 dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan dan pembinaan.
Ketiga, setelah SP-2 terbit pihak PR RPR menyatakan kesiapan melaksanakan kewajiban membangun kebun kemitraan seluas 600 hektare, dihitung dari 20 persen luas lahan efektif yang dapat dibangun kebun dalam HGU. Yaitu seluas 2.984 hektare dari 3. 742 hektare luas HGU.
Keempat, agar komitmen tersebut dapat diawasi dan dievaluasi oleh pihak manapun, tim yang ditunjuk pemkab telah berhasil meminta PT RPR menuangkannya secara tertulis lengkap dengan time schedule pembukaan kebun yang terdiri 13 item tahapan terjadwal. Berselang dua tahun dari saat ini kebun sudah siap dibangun, dan nantinya diserahkan kepada masyarakat/koperasi dalam bentuk SHM sebagai bukti kepemilikan lahan.
Kelima, kata Irwan Daulay, yang juga menjabat staf khusus bupati Madina, saat tim bertemu owner PT RPR juga mendalami alasan PT RPR tidak bersedia menyerahkan kebun kemitraan dari dalam areal HGU.
“Itu tadi, ada lima alasan rasional dan semuanya diawali niat memberi keuntungan terhadap masyarakat. Di sisi lain, tidak merugikan perusahaan. Ini bentuk solusi jalan tengah yang sangat bijak,” katanya.
Keenam, rencananya pada, Sabtu (1-4-2023), pemkab melalui kepala Dinas Koperasi dan UKM Madina mengundang ketua KP-HSB untuk menjelaskan hasil pembicaraan tim dengan PT RPR, namun ditolak pihak koperasi.
Padahal tim juga sudah dipercayakan owner PT RPR memediasi negosiasi dengan pihak koperasi sefleksibel mungkin dengan prinsip musyawarah mufakat dengan pikiran terbuka dan solusi menang menang, bukan menang kalah.
Tujuh: terhadap penolakan pihak koperasi, kata Irwan Daulay, tentunya patut dipertanyakan. “Apa sebenarnya yang anda cari. Karena PT RPR sudah bersedia melaksanakan kewajiban sesuai aturan yang berlaku,” tegasnya
Bahkan, lanjutnya, sudah disepakati sebagai kompensasi atas kekeliruan selama ini dengan membangun kebun plasma tanpa menggunakan uang bank. Jika pakai uang bank, tentu bunganya pasti ‘menjerat’ leher dan hampir dipastikan merugikan koperasi. Ini artinya merugikan masyarakat.
“Bahkan saya berani bertaruh jika pihak koperasi meminta dukungan finansial dalam rangka konsolidasi koperasi dan bantuan upaya pembebasan lahan, pihak PT RPR bakal membuka pintu selebar-lebarnya,” ujarnya.
Sebab, dalam pertemuan bersama owner tidak ada kesan mereka sosok yang mau menang sendiri, bahkan sangat memahami arti hidup yaitu harta tidak dibawa mati.
Karena itu, kedelapan: sebaiknya pihak koperasi meninjau ulang keputusannya yang tidak bersedia lagi berunding pasca PT RPR sudah menyatakan keseriusan.
Sebagai fungsi pembinaan, lanjut Irwan Daulay, pemkab tidak akan pernah menghukum PT RPR sepanjang mereka komitmen terhadap time schedule yang telah mereka buat sendiri.
Tentu saja jika mereka abai bupati Madina tidak bakal membiarkan, apalagi DPRD Madina sudah menyampaikan rekomendasi pencabutan izin sebagai bentuk sikap tulus dewan menyerap aspirasi masyarakat.
Sementara itu, Ketua KP-HSB Sapihuddin meminta tim mencek ke lokasi, tidak hanya menjelaskan sepihak. “Perlu pemkab crosscheck kebenaran (informasi) perusahaan. Jangan ilmu batin. Mari kita lihat bersama-sama ke areal perkebunan PT RPR. Biar kita tahu yang sebenarnya, jangan duduk manis saja menunggu laporan,” katanya.
“Saya sudah kesana,” jawab Irwan Daulay.
Ia mengatakan dari total areal HGU yang bisa dimanfaatkan, sekitar 75 hektare tidak dapat dibangun karena ada danau, tebing, dan lainnya. Namun jika nanti dalam penelitian lebih lanjut ditemukan areal yang masih bisa ditanam di dalam HGU, tentu dapat disesuaikan dan bisa areal kemitraan lebih dari 600 hektare.
“Soal kali-kali kita masih fasih adinda, bagi-bagi yang belum kondusif. Maklumlah masih dilanda krisis, hehehe…,” canda mantan aktivis yang juga seorang pengusaha pengembang ini. (*)
Editor: Akhir Matondang