BERBAGI
PUTUSAN "ABAL-ABAL"--Dengan adanya kesalahan seperti di atas dan dalil-dalil yang disampaikan dalam hal menimbang terkesan dipaksakan mengindikasikan putusan yang dibuat Yunadi dan dua hakim anggota berkelas "abal-abal".

BERITAHUta.com—Kemampuan Yunadi, ketua Pengadilan Agama (PA) Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumut dalam menyidangkan perkara patut diragukan. Pasalnya, ia tak teliti dalam membuat putusan, bahkan terkesan berkelas “abal-abal”.

Pada putusan perkara gugat cerai yang diajukan Ucok (51), bukan nama sebenarnya, terhadap istrinya yang dibacakan Yunadi secara bergantian dengan dua hakim anggota lainnya: Risman Hasan dan Nurlaini M. Siregar, pada Rabu (11/9-2019), terdapat sejumlah kejanggalan yang bisa menimbulkan berbagai penafsiran mengenai independensi ketiga hakim.

Selain banyak kejanggalan dalam proses persidangan, dalil-dalil dalam putusan yang ditekan Yunadi, Risman Hasan, Nurlaini M. Siregar, Rivi Hamdani Lubis (panitera pengganti), dan Drs. H.M. Nasir (Panitera PA Panyabungan) terkesan dipaksakan.

“Saya sudah buat laporan ke Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Medan, tinggal mengantar. Saya tidak kirim melalui pos, saya antar langsung,” kata Ucok kepada Beritahuta.com, Rabu (6/11).

Ucok meragukan kemampuan Yunadi, baik sebagai ketua majelis hakim maupun sebagai ketua PA Panyabungan. Karena itu, ia meminta agar PTA Medan memeriksa ketiga hakim, terutama Yunadi.

Selain narasi dalil-dalil dan menimbang banyak kesalahan dan dipaksakan, penulisan angka dalam rupiah dan angka dalam huruf tidak sama. “Amatiran, Yunadi harus belajar dulu. Orang dia sarjana agama kok, wajarlah,” kata Ucok.

Yunadi

Mengenai hal ini beberapa kali hendak dimintai komentar Yunadi, namun dia tak bersedia. Sekretaris PA Panyabungan Nazaruddin didampingi Kepala Sub Bagian Umum Masidah, juga tidak mau mengomentarinya karena sudah masuk materi persidangan.

Namun ketika Nazaruddin diperlihatkan kesalahan penulisan nilai rupiah dalam berkas putusan, ia tiba-tiba memandang Masidah yang duduk tak jauh darinya sembari mengumbar senyum penuh arti. “Sudah ditekan?” tanta Nazaruddin.

BERITA TERKAIT  Kapolres Madina: Pers Diharapkan Ikut Jaga Suasana Kondusif Jelang Pemilu

Setelah Nazaruddin  melihat berkas itu sudah diteken dan dicap perlembar, ia hanya geleng-geleng kepala.

Ini sebagian kejanggalan putusan yang dibuat Yunadi dan dua hakim anggota, Risman Hasan, Nurlaini M. Siregar. Yaitu

  1. Penulisan nilai rupiah antara angka dan huruf beda. Narasinya, membayar nafkah lampau (madhiah) selama tiga bulan berjumlah Rp10.000.000,00 (enam juta rupiah) sebagaimana dalam amar putusan ini.
  2. Dalam berkas putusan tiga kali tertulis narasi mengenai penggungat rekonvensi menyusun gugatan rekonvensi tidak melibatkan siapapun dari Pengadilan Agama Panyabungan, tapi sekali pun tidak ada narasi yang menyebutkan tergugat rekonvensi mempersoalkan hal ini. Padahal tergugat rekonvensi berulang kali mempersoalkan hal ini dalam persidangan.
  3. Yunadi berkali-kali menyebutkan dalam persidangan agar saksi tidak berpendapat. Dia minta saksi hanya mejelaskan soal yang ditanya hakim, jika tidak tahu sebutkan “tidak tahu’. Namun, justru keterangan saksi yang dijadikan dasar utama mengabulkan sebagian gugatan rekonvensi dari termohon. Ini dalil yang disaampaikan majelis hakim, “Bahwa mengenai adat Mandailing apabila terjadi pertengkaran antara suami isteri, maka siisteri tidak boleh langsung pulang kerumah orangtuanya, tapi harus kerumah kerabat suami untuk didamaikan.”
  4. Ingat dalam kalimat di atas ada kata “tidak boleh”. Narasi yang disampaikan saksi dan menjadi dasar putusan memberatkan pemohon sudah masuk ranah pendapat ahli.
  5. Dalam hal narasi “menimbang” dari majelis hakim, sedikitnya pernyataan saksi di atas dua kali diulang sehingga terkesan dipaksakan.
  6. Selama persidangan majelis hakim lebih banyak fokus mengenai usaha yang dijalankan pemohon. Seolah ingin tahu kemampuan keuangan pemohon. Padahal jika memang gugatan rekonvensi itu menjadi hak daripada penggugat rekonvensi, majelis tak perlu tahu mengenai keuangan pemohon untuk membayar hukuman tersebut.
  7. Ada kaitan apa majelis hakim “kepo” soal omzet penjualan usaha yang dijalankan tergugat rekonvensi.
  8. Dalam persidangan, tanpa sadar majelis hakim telah memperbaiki angka-angka gugatan rekonvensi yang disampaikan termohon. Katanya perlu diperbaiki agar gugatan rekonvensi itu tak menyalahi aturan.
  9. Majelis hakim menilai dengan masih bertransaksinya usaha yang dijalankan tergugat rekonvensi menjadi dasar gugatan penggugat rekonvensi layak diterima.
  10. Dalam dalil-dalil menimbang yang disebutkan majelis hakim, bukti-bukti sudah dilegalisir. Padahal tidak ada satupun berkas bukti yang dilegalisir. Yang ada adalah pemateraian. Majelis harus belajar dulu mengenai arti legalisir.
  11. Pada poin-poin menimbang, majelis hakim sering menulis “nagazelen”. Dalam KBBI tidak ada kata “nagazelen” yang ada “nazegelen” yang berasal dari bahasa Belanda. Artinya, pemeteraian, bukan legalisir.
  12. Majelis hakim mengutip surat Al Baqarah ayat 229 dan ketentuan hukum UU No.1 Tahun 1974 mengenai kewajiban suami akibat perceraian, tapi majelis hakim tak pernah menggubris asal mula proses perceraian yang diajukan pemohon.
  13. Hampir semua penjelasan yang disampaikan pemohon terkait guggatan rekonvensi dikesampingkan majelis hakim dalam narasi menimbang.
  14. Majelis hakim mencari pembenaran sendiri apakah termohon meninggalkan rumah dalam keadaan nuzyuz (durhaka)
  15. Dalam hal menimbang, majelis hakim mengakui penggungat rekonvensi dan tergugat rekonvensi bukanlah berprofesi dalam bidang hukum, lalu kenapa berkas-berkas gugatan, dan jawaban-jawaban yang disampaikan penggugat rekonvensi dalam persidangan patut diduga dibuat pihak yang berprofesi bidang hukum tak pernah dipersoalkan majelis hakim. Jika memang mau didampingi kuasa hukum, itu legal. (*) 
BERITA TERKAIT  Residivis Narkoba Dibekuk, Seorang ASN yang Menjadi "Bos" Masuk DPO

Peliput: Tim

Editor: Akhir Matondang

 

BERBAGI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here