SEJAK Senin malam (20/9-2021), saya melihat wajah media sosial (medsos), khususnya yang dihuni orang-orang Mandailing dihiasi tampang Derman Gultom. Ia mengenakain pakaian dinas harian (PDH) Kemenhum Lapas (Lembaga Pemasyarakatan).
Ya, Si Gultom—begitu saja kita sebut namanya, sedang viral. Ia diduga secara membabi buta menganiaya seorang bocah 14 tahun, yang notabene bukan tandingnya.
Mereka jauh kelas. Umur, postur, pendidikan formal, pendidikan bela diri, dan lain sebagainya. Sangat tidak seimbang.
Karena tidak seimbang, wajar jika banyak komentar di medsos yang menyebutkan Si Gultom, biadab. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) biadab artinya: belum beradab, belum maju kebudayaannya, tidak tahu adat (sopan santun), kurang ajar, tidak beradab dan kejam. Tergantung penggunaan kalimatnya.
Kaitan dugaan penganiaan dilakukan Si Gultom, biadab yang dimaksud masyarakat dan para pengguna medsos adalah kejam. Saya sepakat perbuatan pegawai Lapas Kelas II B Natal, Mandailing Natal (Madina), Sumut itu masuk kategori kejam serta sadis.
Si Gultom seolah tak punya hati, nurani dan perasaan. Tak menyimpan iba sedikit pun. Ini bisa dikategorikan sebagai orang tak berprikemanusiaan. Orang seperti si Gultom tidak layak disebut sebagai aparatur negara.
Jika kepada bocah seumur anak kelas tiga santri Pesantren Musthafawiyah Purba Baru itu ia tega melakukan tindakan kekerasan—entah apapun alasannya—bagaimana Si Gultom memperlakukan penghuni Lapas di tempat ia bertugas. Patut diduga aksi serupa sering dilakukan terhadap warga binaan.
Tidak punya hati dan nurani. Bagaimana jika anaknya babak belur juga dipukuli orang seperti ia perbuat pada si bocah, menendang, meninju, menampar, menginjak bahkan mengancam membunuh. Marahkah Si Gultom?
Perbuatan Si Gultom bukan lagi cermin seorang aparatur negara, preman saja masih punya hati nurani.
Karena itu, semestinya Menteri Hukum dan HAM (Hak Azasi Manusia) RI tidak memandang kasus Si Gultom ini sekadar dugaan penganiyaan yang dilakukan terhadap anak kecil semata, lebih dari itu bisa berbahaya bagi kondusifitas Lapas dimana dia bertugas.
Ini bukan tanpa alasan. Jika saja dia kerap melakukan kekerasan terhadap warga binaan, sampai kapan korban sabar. Lama-lama, bisa memicu amarah tahanan. Jika itu terjadi, maka tidak menutup kemungkinan bakal menyulut kerusuhan di dalam Lapas.
Oleh sebab itu, janganlah ada istilah “86” terhadap kasus Si Gultom sebab jika “mereka” main-main bisa memicu amarah masyarakat. Apalagi korbannya seorang santri Musthafawiyah. Sebanyak 15 ribu sahabat sesama santri sekarang sedang geram menahan amarah.
Ratusan ribu alumni Musthafawiyah di penjuru dunia sedang menanti penegakan hukum bagi Si Gultom. Cukuplah, dua kasus terdahulu belum jelas penanganannya oleh Polres Madina. Pertama: kasus tewasnya dua santri di kolam PT SMGP (Sorik Marapi Geothermal Power).
Kedua, kasus pelecehaan Musthafawiyah oleh salah satu pemilik akun facebook beberapa bulan lalu. Hingga saat ini kedua kasus belum diketahui publik siapa tersangkanya, serta bagaimana progres penanganannya.
Rasa pesimis saya makin kuat setelah melihat tayangan video di salah satu akun facebook. Dalam video terlihat petugas hendak memasukkan Si Gultom ke dalam sel tahanan Polsek Natal.
Mengenakan kemeja krim dan celana olahraga biru, sedikit pun Si Gultom terlihat tidak merasa bersalah atas perbuatannya pada si bocah.
Tidak tampak ada malu, bahkan dari gesturnya ia terlihat masih garang seolah-olah hendak menantang warga yang meneriakinya dari balik jeruji besi.
Si Gultom tampak beberapa kali memotret warga. Apa tujuannya? Bisa jadi suatu ancaman. Ia mungkin berpikiran, dengan punya foto warga ia bisa mengenali siapa saja yang meneriaki saat masuk sel tahanan.
Lihatlah juga,kenapa polisi masih membolehkan Si Gultom memegang alat komunikasi.
Kita berharap polisi tidak menganggap remeh kasus ini. Menurut saya, Si Gultom tidak boleh berlama-lama di tahanan Polsek Natal mengingat amarah masyarakat kian memuncak.
Banyak kasus terjadi di negeri ini, masyarakat berbuat anarkis di kantor polsek karena kebencian terhadap seorang atau beberapa orang penghuni ruang tahanan.
Kita berharap ada proses hukum yang adil terhadap perbuatan Si Gultom, tidak ada “bargaining” atau tawar menawar. Jika tidak, tunggulah amarah masyarakat memuncak. (*)