SEKITAR 10 hari terakhir ini perhatian masyarakat Mandailing Natal (Madina), Sumut tersita pada pemberitaan dugaan kecurangan seleksi masuk PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) di daerah ini. Pembicaraan soal ini bukan hanya ramai di medsos, tetapi juga di tengah masyarakat.
Carut marut seleksi PPPK Madina bahkan sudah menjadi isu nasional. Aroma KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) pun berembus. Itulah sebabnya, ada yang melaporkan hal ini ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di Jakarta. Sang pelapor menyerahkan 16 nama yang diduga terkait praktik sogok-menyogok.
Siapa saja mereka. Pelapor tidak menyebut satu persatu, namun patut diduga ada nama Abdul Hamid, kepala BKPSDM (Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) Madina, berikut kroni-kroninya.
Hampir dipastikan juga ada nama Dollar Hafriyanto, kepala Dinas Pendidikan Madina, bersama orang-orang dekat dan pejabat di instansi yang dipimpin.
Saya sempat tanya, apakah ikut juga nama-nama pejabat tinggi di daerah ini, si pelapor tak memberi jawaban. “Pokoknya yang diduga terkait aliran dana pungli PPPK-lah,” jawabnya.
Perwakilan peserta seleksi tes PPPK Madina yang mengaku kecewa juga bakal melaporkan dugaan kesewenang-wenangan mereka alami ke Tim Siber Pungli Poldasu dan Ombudsman RI Sumut. Ini lantaran diduga pihak BKPSDM dan Dinas Pendidikan menerima sejumlah uang dari mereka yang dinyatakan lulus.
Berapa pasarannya, saya kira ini sudah banyak diperbincangkan para peserta—baik yang lulus maupun tidak lulus– di medsos dan tengah masyarakat. Jadi sudah rahasia umum.
Pada Kamis (28/12/2023), DPRD Madina mengeluarkan tiga rekomendasi. Yakni, meminta bupati membatalkan nilai SKTT (Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan) peserta seleksi masuk PPPK dan dikembalikan ke nilai CAT. Kedua, mengevaluasi hasil pengumuman seleksi ujian PPPK guru honorer 2023. Jika ada peserta mal administrasi supaya didiskualifikasi. Ketiga: bupati diminta mencopot Dollar dan Hamid dari jabatan mereka.
Menurut saya rekomendasi itu sudah benar sebagai bentuk keseriusan dewan menyelesaikan persoalan ini secara adil. Namun bagi Bupati Madina Jafar Sukhairi, isi rekomendasi seolah menohoknya. Ia seperti dihadapkan pada pilihan sulit, songon mangan pisang si sungkotkola (seperti makan pisang si sungkotkola), pribahasa Indonesia-nya: seperti makan buah simalakama.
Bagi bupati membatalkan nilai SKTT bukanlah keputusan mudah. Guyon di masyarakat saat ini menyebutkan, kalau hal ini terjadi bakal banyak pihak-pihak tertentu mangutaon. Ontahah, apa artinya mangutaon.
Mengevaluasi peserta yang melakukan mal administrasi berdampak juga terhadap manguaton. Isu yang berkembang, diduga mal adminstrasi ini merupakan kerja sama Dinas Pendidikan dengan kepala sekolah (kepsek). Kepsek tadinya enggak mau berkolaborasi dalam kebohongan masa honorer guru, namun karena permintaan itu datangnya dari dinas, apa mau dikata, mereka tak bisa menolak– kabarnya ada juga satu dua kepsek menolak.
Bagaimana nyali bupati mencopot Hamid dan Dollar dari jabatannya masing-masing. Hingga hari ketujuh setelah tiga rekomendasi dikeluarkan dewan, bupati belum mengganti kedua pejabat tersebut.
Kenapa bupati begitu berat mengganti Hamid dan Dollar. Apa yang sudah diperbuat Dollar pada dunia pendidikan di daerah ini. Pun, apa prestasi Hamid.
Tentang dunia pendidikan, sebagai gambaran bisa dilihat dari Data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Madina—metode baru– tahun 2021 sampai 2023, masing-masing: 67,19 (2021), 68,05 (2021), dan 68,56 (2023).
Untuk tahun 2023, misalnya, sesuai data BPS Sumut, Madina hanya unggul dengan Nias (64,56), Nias Selatan (64,12), Nias Utara (64,64), dan Nias Barat (63,70). Jika dibanding kabupaten/kota di Tabagsel, Madina juga kalah jauh, yaitu: Tapsel (71,55), Paluta (71,63), Palas (70,34), dan Padangsidimpuan (76,44).
Sekadar mengingatkan IPM meliputi empat indikator: umur harapan hidup, harapan lama sekolah, rata-rata lama sekolah dan pengeluaran riil per kapita.
Selama menjabat kepala Dinas Pendidikan tidak jelas apa yang sudah dilakukan dalam meningkatkan mutu pendidikan. Sebagai contoh, gedung sekolah SDN 346 Kampung Kapas, Batahan sudah dijanjikan direhab melalui dana DAK (dana alokasi khusus) 2023, nyatanya tak terbukti. Padahal bangunan sekolah itu sudah nyaris roboh.
Kalau mau jujur di era Dollar para kepala sekolah menjerit. Informasi yang berkembang, banyak belanja dana BOS (biaya opersional siswa) di drop dari dinas tersebut. Alhasil, dana BOS yang diterima kepsek hanya sekadar melintas di sekolah. Kalau enggak percaya, tanyalahkan kepala sekolah yang mau terbuka.
Termasuk tes IQ (intelligence quotient), yang tidak jelas apa tindak lanjut hasil tes. Penguji datang dari nun jauh di sana. Padahal entah guyon atau serius, sejumlah kepsek menyebutkan mereka sebenarnya lebih paham menilai IQ murid mereka daripada si penguji.
‘Bisnis’ mutasi kepala sekolah sudah rahasia umum, tak perlu dibahas lagi, termasuk berapa pasarannya. Tidak pindah pun, ada yang harus mengeluarkan uang.
Administrasi pencairan dana BOS dan BOP (biaya operasional penyelenggaraan) PAUD di Dinas Pendidikan juga dikeluhkan, bisa jutaan. Ambil surat keputusan (SK)–jika baru pelantikan– Rp500 ribu.
“Tidak ada yang gratis di Dinas Pendidikan. Mau cepat urusan, kasih banyak,” ujar seorang kepala sekolah.
Dunia pendidikan Madina seolah menjadi ladang bisnis, seperti dugaan pada seleksi penerimaan PPPK. Ini yang mau diteruskan, tentu berpulang terhadap bupati.
Entah apa yang salah, posisi Dollar di lingkungan pejabat eselon II saja seperti istimewa. Terkesan ditakuti oleh sesama pejabat. Ia bisa memanggil pejabat OPD (organisasi perangkat daerah) lain ke ruangannya, meskipun eselon sama.
Wajarlah lantaran ODB (orang dekat bupati) semua orang ‘takut’ kepada Dollar. Tidak sedikit pihak-pihak tertentu berusaha mengambil hatinya, bahkan sampai ‘menjilat’. Wartawan, tak dianggap. Ditelepon atau konfirmasi lewat telepon/WhatsApp, sangat jarang ditanggapi.
Itu juga bisa menjadi penyebab kisruh seleksi PPPK Madina makin meluas. Padahal sebenarnya jika begitu muncul persoalan, Dinas Pendidikan dan BKPSDM cepat mengambil langkah, saya kira tak ruwet seperti sekarang.
Ini sudah ada usulan anggota DPRD Madina membentuk Pansus Honorer dan Seleksi PPPK. Awalnya apa, karena kedua pejabat itu sulit komunikasi dengan pers untuk menjelaskan persoalan yang terjadi. Sebagai jurnalis, saya berkali-kali WhatsApp konfirmasi soal kisruh seleksi PPPK dan persoalan lain di instansi tersebut, namun tak ditanggapi.
Hal lain, kalau saja saat itu pemkab langsung menyahuti penghapusan nilai SKTT, lalu diranking lagi sesuai nilai CAT, tentu secara administrasi selesai. Sebab semua sudah tahu pemberian nilai SKTT tidak fair, bermuatan like or dislike.
Nilai SKTT hanya ‘senjata’ untuk meluluskan dan tidak meluluskan sesuai selera BKPSDM dan Dinas Pendidikan. Bagaimana tidak, honorer siluman bisa lulus, sedangkan mereka yang mengabdi di atas 15 tahun tak lulus.
Bagaimana tidak, nilai CAT tinggi, lalu supaya tidak lulus karena tidak ‘main’ maka nilai SKTT dibuat rendah. Bahkan nilai masing-masing poin kompetensi diberi satu. Ini sama artinya, guru-guru itu dianggap sakit jiwa karena poin penilaian moral pun hanya nilai 1.
Sewenang-wenang memang. Itulah sebabnya, kembalikan ke nilai CAT. Ranking ulang. Siapa yang nilai CAT tinggi, lulus. Siapa yang honorer siluman atau mal administrasi, masukkan sebagai daftar tunggu pengangkatan 2024—sesuai janji bupati. Ini baru adil.
Jika bupati mengulur-ulur waktu dengan iming-iming mereka yang tak lulus PPPK 2023 bakal diangkat tanpa tes pada tahun 2024, siapa yang percaya. Kalau mengusulkan bolehlah, tetapi kewenangan itu ranah pusat.
Membiarkan masalah kisruh PPPK ini terus menggelinding, sama saja bupati sedang ‘bunuh diri’. Tahun 2024 ini ada ajang tiga agenda besar, yakni: pemilu legislatif, presiden, dan pilkada.
Pernahkah bupati berpikir jika pihak-pihak yang terkait dengan dugaan KKN kisruh PPPK bakal berurusan dengan aparat penegak hukum (APH). Jika itu terjadi, tidak menutup kemungkinan bupati dan wakil bupati bakal terseret-seret. Ini tahun politik, bisa saja ada yang memanfaatkan isu ranum ini.
Demikian juga Hamid, saya belum menemukan satu pun prestasinya dalam menata ASN (Aparatur Sipil Negara) di daerah ini. Meritokrasi, hanya sekadar jualan saat pencalonan dulu. KKN, tak terbantahkan. Suatu saat seorang pejabat menyebutkan ke saya, “Tak ada gunanya berkinerja baik, toh pada akhirnya yang menentukan jabatan bukan prestasi,” katanya.
Apakah Hamid sudah berhasil mengimplementasikan janji Sukhairi-Atika saat debat calon kepala daerah dulu. Sekadar mengingatkan, saat itu Atika berujar, “Pengalaman kita, masih banyak guru-guru kita temui jurusan Biologi, guru Matematika. Kenapa itu, jadi pertanyaan. Kenapa selama ini penerimaan, ini sudah menjadi rahasia umum, mohon maaf, transaksional dan mengandalkan kedekatan politis.”
Dia juga menyebutkan, “Kami siap menyekolahkan guru-guru S-1 menjadi S-2 tanpa membebani APBD, baik luar negeri maupun dalam negeri. Ini komitmen kami. Dalam negeri, luar negeri tanpa membebani APBD. Karena ada LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) yang saat ini ini anggarannya Rp50 triliun.
Anda sendiri, pembaca yang menilai.
Lalu apa untungnya pertahankan Dollar dan Hamid dari jabatannya? Jika demi kebaikan daerah, menurut saya tidak ada. Masih banyak ASN yang lebih mumpuni dan kompeten dibanding mereka, kecuali menurut bupati-wakil bupati dalam hal kepentingan tertentu, mereka ahlinya. (*)
Akhiruddin Matondang