Oleh: Akhiruddin Matondang
INSIDEN pelarangan pemasangan bendera merah putih di apartemen Kalibata City, Jakarta oleh pihak security viral di media sosial. Aneka hujatan serta umpatan ditujukan terhadap Agung Podomoro, selaku pemilik perusahaan pengembang itu. Kejadian ini menambah catatan kasus pelecehan terhadap NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang dilakukan pihak-pihak tertentu.
”Aduh ini sudah berbahaya. Ini perumahan, apa mereka menganggap perumahan ini di luar teritorial Indonesia. Dimana mereka yang selalu dengungkan NKRI harga mati. Kalau pihak tertentu salah dimata mereka, mereka menyebut NKRI harga mati. Kalau pihak perumahan yang salah, NKRI mati harga,” komentar seorang akademisi di grup WA yang saya ikuti.
Peristiwa Kalibata City membuat kita sedih. Adalah wajar ketika sejumlah elemen masyarakat menuding NKRI sedang dirongrong pihak “asing” dan “aseng”. Dari kaca mata masyarakat, hal itu sudah tidak terbantahkan karena berbagai kejadian videonya viral di medsos. Disayangkan, tak ada tindakan hukum dari aparat terkait untuk membuat efek jera. Justru terkesan ada pembiaran dari rezim berkuasa.
Di balik kasus “Kalibata City”, sebenarnya perlu juga direnungkan tentang nasionalisme masyarakat Kabupaten Mandailing Natal, Sumut. Mungkin ada yang tersentak membaca judul tulisan ini,silakan saja itu hak masing-masing. Bahkan saya senang jika ada ada yang tersentak, agar mata serta hati mereka terbuka melihat kondisi nyata tersebut.
Ada apa dengan nasionalisme “halak kita”? Sepintas memang tak ada krisis nasionalisme di Madina. Di kabupaten ini NKRI masih tetap harga mati. Upacara detik-detik proklamasi, rutinitas karnaval dan defile yang begitu-begitu saja dari tahun ke tahun masih saja dilaksanakan. Panjat pinang, lomba makan kerupuk dan aneka pesta rakyat lain masih saja digelar meskipun jumlah dan kemeriahannya terasa berkurang dari tahun-ketahun.
Pesta rakyat di Madina terkesan monoton. Itu-itu saja, tidak ada sajian lain. Ini antara lain (mungkin) disebabkan miskin kreatifitas untuk membuat sesuatu yang tidak biasa, seperti yang dilakukan di daerah-daerah lain.
Lalu dimana krisis nasionalisme yang menurun itu. Coba kita lihat, sampai tiba waktunya detik-detik peringatan HUT ke-73 RI, pada 17 Agustus 2018, hanya sebagian kecil rumah warga yang berada di tepi jalan protokol dipasang bendera merah putih. Pun para pemiliki ruko, toko, kios, “lopo” dan sejenisnya terkesan acuh pada HUT ke-73 Kemerdekaan RI.
Jumat, siang ini, bertepatan HUT ke-73 RI, muncul foto postingan Mhd Efendi Pulungan di facebook yang memperlihatkan rumah sekda Madina tidak dipasang bendera. Saya tidak melihat rumah itu sedang dihuni sekda atau dikontrakan, yang jelas di deretan rumah dalam gambar itu, sangat terlihat hanya ada satu bendera merah putih berdiri. Menyedihkan.
Jika rumah di sepanjang jalan pusat Kota Panyabungan saja hanya satu dua yang berdiri bendera, bagaimana dengan yang di gang-gang, permukiman padat penduduk, dan di desa-desa. Jangan-jangan mereka lupa, kalau ada peringatan HUT Kemerdekaan RI.
Lihatlah, di sepanjang jalan nasional Sopolu-polu- Kayu Jati, dan di seputar Madina Square sepi bendera merah putih. Padahal, semestinya, si pemilik tempat usaha selain mengibarkan bendera merah putih, mereka juga harus memasang umbul-umbul agar HUT kemerdekaan bertambah meriah.
Seingat saya, dulu tahun 1980-an, jelang HUT Kemerdekaan RI, selalu ada pengumuman dari aparat kelurahan/desa, atau RT/RW agar warga memasang bendera. Bukan hanya lewat selebaran yang ditempel di papan pengumuman, tapi diberitahukan lewat pengeras suara masjid-masjid. Kenapa sekarang itu tidak dilakukan lagi. Apakah seiring perjalanan waktu, memasang bendera dianggap sudah tidak perlu lagi.
Pertanyaan ini semestinya menjadi introspeksi diri pihak pemkab, terutama instansi terkait, misalnya Bagian Sosial Setdakab Madina. Memasang bendera kebangsaan bagi warga pada peringatan HUT kemerdekaan setiap Agustus bukan tradisi, tapi suatu kewajiban selaku warga negara.
Berdasarkan Pasal 7 (3) UU No.214 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, disebutkan bendera negara wajib dikibarkan pada setiap peringatan hari kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus.
Dalam pasal itu dijelaskan, bendera wajib dikibarkan oleh warga negara yang menguasai hak penggunaan rumah, gedung atau kantor, satuan pendidikan, transportasi umum, dan transportasi pribadi di seluruh wilayah NKRI, dan di kantor perwakilan RI di luar negeri.
Sekali lagi, pemasangan bendera jelang HUT kemerdekaan bukan tradisi, tapi ada ketentuannya. Bahkan, di dalam UU tersebut dijelaskan, pemerintah daerah memberikan bendera negara secara gratis kepada warga yang tidak mampu.
Sekadar mengingatkan kita, menghormati bendera bukan berarti kita menyembah pada benda, tapi merupakan bentuk semangat merawat, melindungi, menjaga tanah air serta ungkapan cinta terhadap negara. Mengenang para pahlawan serta pendahulu yang telah berjuang memerdekakan serta membangun Indonesia.
Bagi warga negara yang punya kewajiban untuk memasang bendera agar mulai sekarang sadarlah. Bagi yang tidak mampu beli bisa minta bendera gratis dari pemerintah daerah, seperti diatur undang-udang. Jangan menunggu ditegur ketua RT/RW atau kelurahan/desa, karena mereka sendiri belum tentu tahu tentang kewajiban memasang bendara pada HUT RI.
Lalu apa sanksi bagi mereka yang tak memasang bendera merah putih pada saat 17-an, yaitu pidana kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sesuai ketentuan tipiring (tindak pidana ringan). Dalam hal ini kita hendaknya jangan melihat soal sanksi, namun perlu ada kesadaran sebagai anak bangsa yang memahami nilai-nilai perjuangan para pendahulu dalam mendirikan NKRI.
Memasang bendera pada 17 Agustus merupakan bentuk perjuangan kita dalam menjaga tanah air. Sekaligus sebagai ajakan terhadap generasi muda untuk turut menjaga dan mencintai bangsa. Pernahkah kita berpikir jika sekarang saja rasa nasionalisme itu mulai pudar, bagaimana dengan generasi mendatang.
Memasang bendera merah putih jauh lebih mudah dibanding perjuangan para pahlawan melawan penjajah, lebih ringan dibanding kesengsaraan para leluhur yang terpaksa hidup susah di bawah cengkeraman penjajah.
Cobalah kita berkaca dari daerah lain bagaimana kemasan HUT Kemerdekaan RI itu dibuat begitu meriah. Di Lampung, misalnya, sepanjang jalan desa-desa dibuat pagar dari bambu bulat setinggi sekitar setengah meter, lalu dicat merah putih. Gapura-gapura di setiap gang atau pintu masuk desa/kelurahan berdiri megah dengan kreasi masing-masing. Bahkan, ada lomba gapura terbaik.
Seminggu sebelum 17 Agustus, tidak satu rumah pun yang tak memasang bendera dan umbul-umbul. Bahkan, rumah-rumah di dalam gang pun berkibar merah putih. Dua minggu lalu, saya lewat di Bukit Tinggi-Pasaman (Sumbar), sebagian warga sudah memasang bendera. Luar biasa!
Lihat di daerah lain, jelang agustusan banyak jual bambu untuk tiang bendera dan umbul-umbul. Maaf, saya tidak tahu dimana jual bambu untuk tiang bendera/umbul-umbul di Panyabungan. Padahal, jika ada himbauan soal pasang bendera merah putih dari aparatur pemerintah, menjual bambu menjadi usaha tambahan bagi warga di tengah terpaan ekonomi sulit seperti sekarang.
Karena itu, wahai pemangku kebijakan di Madina, jangan anggap soal memasang bendera merah putih ini hal sepele jika kita masih ingin menanamkan rasa nasionalisme terhadap anak, cucu, cicit, dan generasi abad-abad mendatang.
Semoga pada HUT RI tahun depan tak ada lagi rumah warga yang tidak berkibar merah putih. Kita jangan sibuk mengurus karnaval dan defile, sementara sesuatu yang wajib terlupakan.
Saya yakin nasionalisme “halak” Mandailing, khususnya yang tinggal di Madina masih tetap ada. Mungkin selama ini hanya hilaf, bisa juga sebagian di antara kita kurang paham tentang kewajiban memasang bendera merah putih saat 17-an…
Dirgahayu Republik Indonesia, majulah bangsaku, jayalah negeriku, berbenahlah “tano hasoranganku”….
Penulis: Jurnalis