SUARA harapan perubahan itu begitu “menggema”. Dalam beberapa kali pertemuan silaturrahmi Sofwat-Beir dengan masyarakat Madina, teriakan kalimat margonti majolo kerap terdengar.
Salah satu alasan yang diungkapkan masyarakat adalah kinerja Pemkab Madina dalam lima tahun terakhir nyaris tidak jelas. Kondisi jalan kecamatan masih dikeluhkan. Jika jujur, yang nyata-nyata tampak di pandangan mata hanya taman, taman, dan taman.
Sebagian di antara proses pembangunan taman itu masih menyisakan persoalan hukum karena sampai saat ini putusan majelis hakim mengenai kasus ini belum inkracht (berkekuatan hukum tetap).
Keempat–kesatu dan ketiga ada pada tulisan bagian pertama–, jika rakyat memberi amanah kepada pasangan nomor tiga, Sofwat-Beir akan memperhatikan aspirasi itu dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pasca harga karet anjlok, tingkat kesejahteraan masyarakat terus menurun. Perputaran ekonomi warga Madina memang sangat tergantung komoditi karet. Daya beli masyarakat menurun, sehingga pasar-pasar menjadi sepi.
Kondisi tersebut diperburuk merebaknya covid-19 sejak delapan bulan terakhir, tak terkecuali di Madina.
Sofwat-Beir sangat paham, jika mereka terpilih jadi bupati dan wakil bupati Madina, tugas berat sudah menanti, yaitu memulihkan ekonomi masyarakat dari dampak harga karet dan dampak ekonomi covid-19.
Sebab hingga jelang akhir masa jabatan bupati dan wakil bupati Madina periode sekarang, saya belum lihat langkah-langkah strategis dari pemkab dalam menyikapi kondisi perekonomian masyarakat yang kian terpuruk.
Iklim yang saat ini dirasakan seolah berjalan alami, tidak tampak kebijakan-kebijakan ala Pemkab Madina untuk membantu memulihkan “pil pahit” yang sedang dirasakan masyarakat.
Sementara itu, yang kita lihat saat ini struktur ekonomi Madina masih didominasi dan sangat bergantung pada sektor primer atau pertanian dengan nilai tambah yang rendah.
Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) dalam lima tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Madina mengalami perlambatan dari 6,21 prosen (2015), menjadi 5,79 prosen (2018), lalu turun lagi menjadi 5,3 prosen (2019).
Tingkat pengangguran pun cukup tinggi dan cenderung meningkat, dari 4,43 prosen (2018) menjadi 6,37 prosen (2019).
Data tersebut terkait erat kondisi kemiskinan di Madina. Penduduk miskin di kabupaten ini berada pada urutan 18 di antara kabupaten/kota di Sumut, yaitu mencapai 9,11 prosen (2019) atau sekitar 40.640 jiwa.
Garis kemiskinan di Madina sebesar Rp356.058 per bulan atau Rp11.668 per hari. Hal ini menunjukkan rendahnya taraf hidup masyarakat Madina.
Sofwat-Beir menyatakan bakal mengembangkan ekonomi masyarakat dengan kegiatan usaha kecil menengan (UKM) agar ekonomi masyarakat terdongkrak kembali.
Menggerakkan ekonomi rakyat melalui peningkatan semangat wirausaha bagi anak-anak muda yang diikuti program pendampingan dan peningkatan akses permodalan.
Kelima, pupuk bersubsidi harus tersedia di saat petani membutuhkan.
Berdasarkan pengamatan saya selama berlangsung debat publik, hanya pasangan Sofwat-Beir yang secara nyata menyingung soal pertanian. Ini suatu kredit poin bagi pasangan ini, sebab mayoritas masyarakat Madina masih menggantungkan ekonomi pada sektor pertanian.
Sudah rahasia umum ketika musim tanam tiba, pupuk bersubsidi langka di pasaran. Saya tidak tahu, apakah ini “permainan” pasar atau kuota dari pemerintah tak sesuai kebutuhan petani
Suatu saat Sofwat Nasution dihadapan masyarakat Desa Sidojadi, Kecamatan Bukit Malintang, Madina mengatakan ia akan duduk bersama stakeholder dan pihak-pihak terkait mencari solusi meningkatkan hasil panen petani padi..
Peningkatan hasil pertanian mutlak dilakukan. Dihadapan masyarakat Malintang Jae, Kecamatan Bukit Malintang, Sofwat Nasution menyebutkan para penyuluh pertanian mesti mampu meningkatkan pengetahuan para petani agar hasil pertanian mereka dapat meningkat.
Keenam, kita juga harus dapat swasembada pangan agar perputaran ekonomi mampu meningkatkan pendapatan masyarakat.
Jika bicara masalah pangan kita agak miris. Madina subur dan perairan dan irigasi cukup bagus, tapi kebutuhan pangan produk pertanian, perikanan dan peternakan masih tergantung daerah tetangga.
Lihatlah pasar-pasar, umumnya produk yang dijual pedagang didatangkan dari luar kabupaten. Sebut saja, ikan mas, ikan laut dari Sibolga, cabe Siborong-borong, kol, kentang, bawang, tomat, wortel, dan lainnya. Kalaupun ada hasil dari Madina, jumlahnya sangat sedikit.
Rerumputan hijau melimpah di Madina, namun sapi masih didatangkan dari luar daerah. Daging sapi yang setiap hari dijual di Pasar Baru Panyabungan, hewannya hampir 100 prosen bukan miliki petani daerah ini.
Pun pada saat kurban, lebih seribu sapi ekor sapi masuk ke daerah ini dari Sumatera Barat serta Kisaran dan sekitarnya.
Dari pemaparan itu sebenarnya kita bisa simpulkan masyarakat Madina dijejali hasil petanian, perikanan dan peternakan dari luar. Berapa banyak uang kita melayang ke luar daerah. Secara tak langsung kita mensejahterakan orang luar kabupaten, sementara ekonomi masyarakat kita kian sulit.
Saya ambil contoh ikan mas. Informasinya, dalam sehari Madina membutuhkan sekitar 3 ton. Jika harga dibandrol Rp25 ribu per kilogram, maka 3000 kg X Rp25 rb= Rp75 juta X 30 hari= Rp2,25 miliar per bulan.
Dari ikan mas saja, Rp 2,25 miliar uang masyarakat Madina pindah keluar daerah. Nyatanya sekarang, Madina hanya mendapat dari segi keuntungan penjualan saja. Padahal Madina punya potensi di bidang ini. (Bersambung)
Penulis: Akhiruddin Matondang