
SERE DO HAPE MANDAILING ON. Kalimat ini bisa menggambarkan begitu banyak potensi yang dimiliki bumi Madina. Tak sekadar emas dan komoditi pertambangan lain, tapi daerah ini melimpah sumber daya alam (SDA) yang dianugerahi Allah Swt., Tuhan Sang Pencipta.
Madina juga kaya sumber daya manusia (SDM) yang mampu bersaing di kancah nasional maupun internasional. Sejarah mencatat Mandailing melahirkan nama-nama besar dalam pergerakan perjuangan bangsa.
Dibalik kekayaan alam yang melimpah ditopang SDM mumpuni, tersembunyi belenggu kemiskinan yang mendera sebagian besar masyarakat Madina.
Dari 33 kabupaten/kota di Sumut, Madina berada di urutan ke-18 termiskin mencapai 8,11 prosen (2019) atau 40.640 jiwa. Garis kemiskinan di Madina hanya sebesar Rp356.058 per bulan atau Rp11.668 per hari. Ini menunjukkan rendahnya taraf hidup masyarakat.
Madina juga masih kategori daerah tertinggal. Salah satu indikator kemajuan suatu daerah adalah dengan meningkatnya indeks pembangunan manusia (IPM).
Secara umum IPM merupakan cerminan keseluruhan kualitas sumber daya manusia (SDM) daerah dan menjadi salah satu indikator memajukan dengan mengukur komponen dasar kualitas hidup terdiri dari kesehatan, pendidikan dan pemenuhan hidup layak.
Nilai IPM Madina pada 2019 sebesar 66,52. Jauh lebih rendah jika dibanding rata-rata IPM Propinsi Sumut, yaitu 71,74. IPM Madina masuk kategori terendah nomor lima, hanya lebih baik dari beberapa kabupaten di Nias.
Dengan trend perkembangan indikator IPM saat ini, cukup sulit bagi Madina mengejar ketertinggalan atau bahkan melampaui nilai IPM Sumut.
Pernyataan calon bupati petahana, H. Dahlan Hasan Nasution saat acara Debat Publik, belum lama ini, bahwa kehadiran STAIN Madina salah satu upaya meningkatkan IPM kabupaten ini menurut saya kurang tepat.
Komponen pendidikan dalam IPM bukan jenjang perguruan tinggi (PT), tapi menggalakkan wajib belajar 12 tahun, termasuk pemerataan dan perluasan akses sarana dan prasarana pendidikan di berbagai level pendidikan dasar.
Komponen lain yang tak kalah penting yaitu pemenuhan hidup layak. Ini terkait dengan kemampuan ekonomi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Dari berbagai uraian singkat di atas, tergambar potensi SDA Madina yang melimpah belum bisa dikelola secara optimal untuk kesejahteran masyarakat. Pun belum ada kemampuan mengelola keunggulan SDM dimiliki.
Padahal potensi itu bukan saja di bidang pertambangan, tapi juga pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan darat, perikanan laut, serta pariwisata.
Dengan dikembangkannya pariwisata daerah dapat membuka peluang berkembangnya hotel, restoran dan lainnya sehingga memungkinkan membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar.
Juga dapat meningkatkan pendapat asli daerah (PAD) melalui peningkatan penerimaan pajak daerah melalui pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan dan lain-lain.
Pasangan Sofwat-Beir ingin potensi yang dimiliki daerah ini dikelola secara maksimal demi kesejahteraan masyarakat serta kemajuan daerah.
Ketujuh—bagian satu sampai enam dijelaskan pada tulisan-tulisan sebelumnya–, Sofwat-Beir menginginkan potensi pertambangan Madina bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan pembangunan daerah.
Saya kira hal ini sudah sangat jelas. Sofwat-Beir ingin potensi SDA benar-benar dimanfaatkan untuk kemajuan serta kesejahteraan masyarakat.
Tano Madina memiliki potensi pertambangan melimpah, yang tersebar hampir di seluruh kecamatan. Selain itu terdapat berbagai jenis bahan galian, seperti batubara, emas, timah hitam, perak, dan lainnya.
Kedelapan, masyarakat memang butuh rekreasi, tapi lebih butuh lapangan kerja.
Ini mengartikan pembangunan taman bukan tak penting, tapi jauh lebih penting menata ekonomi masyarakat. Membuka lapangan kerja. Bagaimana kita mau rekreasi jika “lapar” dan anak-anak merengek minta uang jajan.
Lihatlah kondisi Pasar Baru Panyabungan yang menurut saya begitu lama proses pembangunannya. Para pedagang di sana sebenarnya mau menjerit, namun siapa yang mau dengar. Sudahlah kemampuan beli masyarakat lesu, ditambah ketidaknyamanan di area pasar. Apalagi saat musim hujan seperti sekarang, parah.
Komitmen pasangan Sofwat-Beir membuka lapangan kerja merupakan angin segar bagi masyarakat, terutama kaum muda.
Ketika silaturrahmi dengan masyarakat, pasangan nomor urut tiga ini juga mengatakan berkomitmen meningkatkan nilai tambah keluarga dengan memberdayakan kaum ibu dengan mengembangkan industri rumah tangga.
Dalam satu sesi acara Debat Publik, Sofwat Nasution memberi contoh salah satu potensi dimiliki Madina adalah makanan olahan dodol.
Dodol yang kita kenal selama ini, biasanya dibungkus pakai anyaman pandan duri atau dikemas dalam plastik. Dengan kemasan seperti itu makanan terbuat dari tepung beras dan gula aren ini tak akan dapat bertahan lama. Beberapa hari saja sudah mapak, apalagi kematangannya tak sempurna.
Kelak dodol Madina diharapkan menjadi salah satu produk unggulan dengan packaging and labeling yang baik sehingga mampu menembus pasar.
Tentu saja semua perlu proses. Kenapa dodol Garut mampu menembus pasar nasional dan internasional?
Sofwat-Ber ingin menjadikan potensi SDA dan SDM dimiliki Madina mampu menjadikan masyarakat sejahtera dan daerah ini maju.
Bisa jadi dalam dua periode terakhir kabupaten ini salah urus, sehingga perkembangannya sangat lambat. Tertinggal dibanding kabupaten lain di Sumut.
Pilihan anda menentukan masa depan daerah ini, setidaknya pada lima tahun mendatang. Sekarang, 22 hari jelang 9 Desember 2020, saatnya buka mata, hati, dan telinga kita agar kita realistis dalam bersikap….(tamat)
Penulis: Akhiruddin Matondang