BERBAGI

Oleh : Moechtar Nasution

SAAT itu, tahun 2005. Tepatnya, hari Minggu, ponsel saya berdering beberapa kali. Awalnya malas mengangkat karena masih pagi ukuran anak muda seperti saya, memanfaatkan Minggu sebagai waktu bermalas-malasan.

Lantaran hp berdering terus, saya paksakan melihat panggilan. Alangkah terkejutnya, ternyata telpon dari Pak Amru.

Bergegas saya terima. “Siap pak,” ucap saya.

“Dimana awak, “ tanya dia lembut.

“Masih di rumah pak,” jawab saya.

“Kenapa tidak buka kantor.”

Kan hari libur pak,” sebut saya agak diplomasi.

“Tar, pekerjaan politik tidak mengenal hari libur. Biar pun tanggal merah atau Minggu sekalipun, tetap kerja,” ujarnya.

Lalu dia mengatakan, “Saya sudah di kantor. Suruh stafmu dan awak cepat datang.”

“Siap pak. Dalam hitungan lima belas menit saya sampai,”  jawab saya menyakinkan. Telpon pun dimatikan.

Saya ingat betul saat itu sedang berlangsung tahapan pemilihan kepala daerah untuk kali pertama secara langsung. Pasangan beliau, Hasyim Nasution yang sebelumnya menjabat sebagai sekretaris daerah.

Begitu sampai di kantor, saya langsung diminta menghadap untuk dinasehati. “Sebagai kepala staf sekretariat Tim Pemenangan, tanggung jawab awak besar memuluskan cita cita kita mensejahterakan masyarakat. Jangan lupakan itu. Semua manajemen pemenangan  letaknya di tangan awak. Bukan di tangan para ketua parpol pengusung dan pendukung kita,” ucapnya sambil membetulkan letak kaca mata yang jatuh di hidung.

Intonasi kalimatnya tinggi,  namun tegas. Kelak baru saya paham, jika posisi kacamata tak lagi berada di mata, sudah di hidung, itu pertanda Pak Amru marah.

Karena saat itu saya masih kategori remaja, dan baru bergabung sebagai staf pribadi, hal yang disampaikan saya anggap sebagai nasehat antara ayah dan anak. Padahal mungkin Pak Amru sangat marah terhadap saya.

Saya bergabung jadi staf khusus Amru Daulay pada 2004. Sekitar lima bulan sebelum tahapan Pilkada mulai.

Memasuki masa Pilkada, saya ditunjuk sebagai kepala staf sekretariat Tim Pemenangan. Sejak saat itu saya sering mendampingi beliau menerima aspirasi masyarakat. Tidak mengenal waktu. Bak Moerdiono mendampingi Presiden Soeharto.

Posisi duduk pun tidak boleh jauh dari Amru Daulay. Saya bertugas mencatat semua yang disampaikan, termasuk janji-janji yang diutarakan.

BERITA TERKAIT  Ivan Iskandar Batubara, Jurnalis dan Masyarakat Madina

Walaupun terkadang mengantuk dan capek, tugas tetap wajib dikerjakan. Suatu ketika, karena sudah frustasi menghadapi tugas-tugas rutin kantor, terpikir ikut rombongan konvoi kampanye menuju Kecamatan Tambangan.

Pakai mobil kantor, saya menempati posisi paling belakang dalam rombongan. Tujuannya, supaya tidak Pak Amru tidak tahu.

Begitu sampai di RM Paranginan Kayu Laut, salah seorang ketua parpol memanggil saya. “Tar, dipanggil Pak Amru.”

Dalam hati, pasti bakal dimarahi lagi. Betul, memang dimarahi. “Habis makan, pulang awak Tar. Ini bukan pekerjaanmu,” katanya singkat.

Hari ini, Pak Amru dalam usia  sepuh–84 tahun telah memenuhi panggilan yang Maha Pencipta.

Sabtu pagi, kabar ini begitu menyedot perhatian masyarakat Madina. Hampir semua lini masa dari berbagai platform medsos mengunggah foto beliau dan sebagian di antaranya menarasikan perjuangannya 11 tahun memimpin Madina dengan hati,  tak terkecuali saya.

Iya dengan hati. Jauh sebelum kita mengenal istilah kepemimpinan dengan hati, beliau sudah terlebih dahulu menerapkan hal itu.  Akronim Mandailing Natal merupakan penjelasan sekaligus penjabaran dari niat dan kesungguhan beliau mewujudkan tatanan masyarakat  Madina yang elegan, humanis, demokratis, maju, berkeadilan sesuai konsep piagam Madinah.

Supaya kita semua bisa mendapat keberkahan dalam kehidupan bersama menuju masyarakat baldatun thayyibatun wa robbun ghofur.

Sebagai anak ulama pengarang Tafsir Al Ahkam, dengan konsep kepemimpinan Hati, Pak Amru mampu menjadikan pembangunan Madina  melampaui usia pemerintahannya.

Saya masih ingat visi misi beliau yang sangat visioner dan fenomenal ketika itu. Lima tahun pertama mengejar ketertinggalan, lima tahun kedua mengungguli kab/kota lain dan lima tahun ketiga menjadi kabupaten yang berhasil.

Walaupun dengan kemampuan keuangan daerah yang sangat terbatas sekali, namun dengan keuletan dan kesungguhan dalam bingkai kepemimpinan didasari hati tersebut, hari ini kita masih menyaksikan dan menikmati hasil pembangunan tersebut.

Butuh halaman banyak mendeskiripsikan keberhasilan Pak Amru. Kompleks Perkantoran Payaloting sebagai role untuk kawasan perkantoran modren satu-satunya di Sumut ketika itu menjadi contoh yang kemudian banyak diadopsi kabupaten/kota lain.

Masjid Nur Alanur yang hingga hari ini menjadi salah satu icon, pembangunan perguruan tinggi pertama, yakni STAIM, pembangunan SMU Plus, Pasar Baru Panyabungan, jalan lingkar timur Panyabungan, Stadion Olahraga Terpadu, bahkan bandara Bukit Malintang sudah digagas era kepemimpinan Pak Amru.

BERITA TERKAIT  Tausiah HUT ke-21 Mandaling Natal, Mengapa Harus Gus Muwafiq

Tidak kalah penting, Pak Amru juga mengusahakan jalan jalur dua untuk mempercantik Panyabungan, Kotanopan dan Siabu sehingga sekarang Akita bisa leluasa mengemudikan kendaraan.

Begitu banyak gebrakannya dalam pembangunan, sehingga wajar  Pak Amru diberi pemerintah pusat berbagai medali, lencana dan penghargaan.

Bahkan dunia internasional dengan inisiatifnya menggagas Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) sebagai upaya mempertahankan hutan Madina sebagai paru-paru dunia.

Pak Amru dikenal dekat dengan seluruh lapisan masyarakat. Pintu rumah pribadinya—disebut villa—merupakan tempat berkeluh-kesah masyarakat.

Pak Amru bakal marah jika melihat pemberitaan ada warga sakit akibat ketiadaan uang. Masa itu belum ada BPJS seperti sekarang. Tidak terhitung lagi berapa banyak warga yang sakit dibantu pengobatan, bahkan sampai dirujuk ke Medan atau Padang.

Pun  dengan para ulama, beliau bukan hanya rutin membantu pesantren, namun juga mengumrohkan.

Dengan kalangan jurnalis, beda lagi. Ada tradisi “jum’atan” selama kepemimpinannnya. Setiap hari Jumat sore, beliau mengumpulkan  sekaligus “berbagi” dengan para jurnalis.

Ah, teramat banyak Pak Amru torehkan dalam sejarah kabupaten yang sebentar lagi merayakan milad.

Saya yakin, masyarakat Madina hari ini sungguh merasakan duka mendalam atas wafatnya Pak Amru. Begitu banyak kenangan masyarakat Madina dengan beliau yang hari ini berseliweran di beranda media sosial. Semua adalah kesaksian dan testimoti yang bakal abadi selamanya.

Kedepan sebagai penanda sejarah Madina pernah dipimpin tokoh kaliber nasional, tidak mustahil jika nama Kompleks Perkantoran Payaloting dirubah namanya menjadi Kompleks Perkantoran H. Amru Daulay, SH.

Tidak pada posisi mengkultuskan, namun lebih kepada penghargaan atas jasa beliau selama memimpin kabupaten. Biar bagaimanapun, suka atau tidak suka kita semua harus bersepakat beliaulah meletakkan pondasi pembangunan Madina.

Ini hanya usulan yang tentunya membutuhkan kajian lebih komperehensif lagi.

Selamat jalan Pak Amru, selamat jalan bapak pembangunan Madina. Jasamu akan abadi dan dikenang selamanya.

Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu

Penulis adalah eks staf khusus bupati Madina H. Amru Daulay, SH.

 

 

 

BERBAGI