Oleh : Atal S Depari
Ketua Umum PWI Pusat
HAJATAN nasional yang sangat menentukan bagi perjalanan bangsa sudah di depan mata. Tahun 2019 kita akan memilih pemimpin untuk 5 tahun ke depan.
Bukan hanya pemilihan presiden-wakil presiden, melainkan juga pemilihan legislatif secara serentak.
Dalam suasana seperti ini, penting sekali kita saling mengingatkan. Sesama komponen bangsa, kita terus menjaga semangat persaudaraan dan kerukunan. Berbeda pilihan boleh, berbeda pandangan politik juga wajar. Terpenting adalah bagaimana tetap menjaga toleransi, kebersamaan, dan semangat saling menghormati dalam perbedaan itu.
Semua unsur masyarakat mesti memberikan andil untuk menjaga suasana kemasyarakatan yang tenang, guyup, dan kondusif tanpa terkecuali komunitas pers nasional. Kepada rekan-rekan wartawan di seluruh Indonesi, mari kita bersama-sama menjaga ruang publik media agar menjadi ruang yang mencerahkan dan mendinginkan suasana. Mari kita jaga agar ruang media tidak menjadi ruang provokasi dan ruang pecah belah masyarakat. Teman-teman wartawan menjadi andalan masyarakat untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan senantiasa menampilkan pemberitatan yang berkualitas, obyektif, dan independen. Media massa jurnalistik seyogyanya tidak terseret dalam perkubuan politik, tapi berada di tengah untuk mendampingi masyarakat di kala suasana politik semakin menghangat belakangan ini.
Hal yang tidak kalah penting diperhatikan komunitas pers nasional adalah masalah bangsa bukan hanya pemilu dan pergantian kepemimpinan nasional. Bangsa Indonesia memiliki masalah serius yang lain: korupsi, pemerataan pembangunan, pengentasan kemiskinan, kelestarian alam, toleransi antarumat beragama, penanganan bencana, dan lain-lain. Jangan sampai karena hiruk-pikuk penyelenggaraan pemilu, kita abai terhadap masalah-masalah tersebut.Jangan sampai karena terlalu bersemangat mendiskusikan dan mewacanakan suksesi kepemimpinan nasional, komitmen pers menjadi kendur terhadap persoalan-persoalan bangsa tersebut. Salah satu masalah yang mengemuka dalam kehidupan pers Indonesia tahun 2018 adalah independensi dan imparsialitas media massa terhadap partai politik dan kandidat presiden/wakil presiden. Kita tidak dapat menutup mata dari fakta bahwa beberapa pemilik media secara terbuka dan dengan kesadaran diri terjun ke dunia politik, dengan menjadi pemimpin partai politik atau menjadi simpatisan dari kandidat tertentu. Tentu saja, terjun ke dunia politik adalah hak setiap orang, termasuk para pemilik media. Namun persoalannya di sisi lain, UU Pers menyatakan pers pertama-tama adalah institusi sosial. Dalam kedudukannya sebagai institusi sosial, pers mesti mengedepankan nilai-nilai dan kepentingan publik di atas kepentingan apa pun dan siapa pun. Oleh karena itu, secara etis dan normatif, dalam kaitannya dengan agenda suksesi kepemimpinan nasional, setiap institusi media mesti bersikap independen dan mengedepankan kepentingan-kepentingan bersama.Terkiat dengan peran pers yang sangat strategis dan menentukan tahun 2019, serta dalam konteks persoalan bangsa secara lebih luas, pada akhir tahun ini, PWI menyampaikan sikap sebagai berikut: Di tengah perkembangan politik yang sangat dinamis, di mana kekuatan-kekuatan politik bersaing satu sama lain dalam pencitraan diri, penggalangan opini publik dan mobilisasi politik, selalu ada kemungkinan masyarakat akan memilih “kucing dalam karung”. Memilih para pemimpin karena sekadar harus berpartisipasi dalam pemilu tanpa mengetahui terlebih dahulu kualitas para pemimpin tersebut. Dalam hal ini, pers mesti memberikan pendampingan kepada masyarakat.
Pers mesti berperan menyediakan informasi dan wacana yang dibutuhkan masyarakat untuk mengenalkan kelebihan dan kekurangan para Calon Presiden atau Wakil Presiden, Calon Anggota DPD, Calon Anggota DPR RI, Calon Anggota DPRD I dan Calon Anggota DPRD II, tetapi dengan tetap semangat independen dan profesional. Pers menyajikan informasi tentang para kandidat, tetapi memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menentukan sendiri pilihan politiknya.
Pemilu 2019 adalah pemilu sangat kompleks sekaligus rawan. Di bilik suara, kita berhadapan langsung dengan 5 kartu suara yang berbeda. Ada sekitar 20.500 kursi yang diperebutkan oleh lebih dari 300 ribu kandidat. Akan ada 850 ribu TPS dengan total 5.000.000 panitia pemungutan suara. Banyak sekali informasi yang mesti diketahui masyarakat tentang proses persiapan pemilu, pemungutan suara, kandidasi dan lain-lain.
Fakta menunjukkan, hingga hari ini sosialisasi tentang berbagai hal ini masih belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Hal ini menimbulkan kerawanan mengingat semakin dekatnya penyelenggaraan pemilu. Dalam hal ini, pers perlu diingatkan agar turut berperan dalam sosialisasi tentang tahap-tahap dan tata cara pemilu. Sebagaimana telah terbukti, media massa adalah saluran komunikasi dan informasi yang utama di Indonesia hari ini. Jangan sampai, pers terus-menerus hanya berkutat dengan isu persaingan capres-cawapres dan mengesampingkan pemilihan legislatif. Jangan sampai pers terlalu sibuk dengan kontroversi tentang persaingan antarkandidat sehingga melupakan pentingnya pemberitaan tentang proses-proses penyelenggaraan pemilu.
Yang tidak kalah penting adalah menjaga suasana yang kondusif dan aman menjelang pelaksanaan pemilu. Semua kandidat politik sangat berkepentingan dengan pemberitaan media. Beberapa di antara mereka mungkin akan berusaha menggunakan ruang pemberitaan media untuk menyudutkan pihak-pihak lain. Perlu kedewasaan dan kehati-hatian dalam hal ini, agar media tidak terseret ke dalam konflik atau persaingan politik antarkontestan pemilu. Media harus menghindari peranan “intensivier of conflict”, peranan mengintensifkan dan memperbesar skala konflik melalui pemberitaan yang bersifat bombastis dan provokatif.
Media massa mesti dapat menahan diri dan tahu batas dalam menggunakan informasi di media sosial. Jika media sosial dipenuhi dengan informasi yang spekulatif, agigatif, hoax dan ujaran kebencian, semestinya media massa jurnalistik menyajikan informasi yang lebih baik dan berkualitas. Jika di media sosial banyak orang asal ngomong, asal menuduh dan apriori kepada orang lain, semestinya media massa jurnalistik tidak ikut-ikutan menyebarkan informasi atau pernyataan yang demikian. Jika di media sosial, publik sering terpancing untuk menggunjingkan masalah-masalah pribadi tokoh politik dan pejabat, semestinya media massa jurnalistik dapat menghindari eksploitasi urusan-urusan pribadi yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan publik. Pendek kata, perlu dijaga benar agar media massa jurnalistik tidak menjadi follower media sosial dalam hal menyajikan informasi yang tidak kredibel, apriori, bermuatan kebohongan atau kebencian. Di era disrupsi dewasa ini, jati diri pers nasional sedang diuji apakah dapat menampilkan informasi dan wacana yang lebih beradab dibandingkan dengan media sosial.
Pers Indonesia mesti dapat mengawal proses penyelenggaraan suksesi kepemimpinan nasional 2019 berdasarkan UU Pers No. 40 tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik. Besar harapan masyarakat agar pers Indonesia dapat menjadi “wasit” yang adil dan proporsional, dan tidak justru menjadi “pemain” dalam proses pemilu yang berlangsung. Menaati Kode Etik Jurnalistik dan berperan sebagai pihak yang netral juga dapat menghindarkan pers, terutama wartawan, dari kemungkinan-kemungkinan kekerasan yang masih sering terjadi dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia.
Persoalan korupsi masih menjadi masalah utama bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sudah semestinya pers Indonesia terus-menerus menguatkan komitmen dalam membantu upaya memerangi korupsi. Hal ini dilakukan dengan terus-menerus memberitakan kasus-kasus korupsi, melakukan indepth reporting atau jurnalisme investigatif, tanpa mengesampingkan asas praduga tak bersalah, prinsip akurasi dan keberimbangan berita.
Tahun 2018, bangsa Indonesia tak henti-henti dirundung musibah bencana alam dan bencana sosial. Dari gunung meletus, gempa bumi, terorisme hingga tsunami silih berganti melanda negeri tercinta ini. Tentu saja, bencana itu menjadi perhatian pers nasional. Dalam beberapa momentum, masih ditemukan kecenderungan pers untuk mendramatisasi keadaan korban dan dampak bencana secara berlebihan. Alih-alih menghormati perasaan traumatik korban sebagaimana telah diatur dalam Kode Etik Jurnalistik, sebagian media justru mengeksploitasi perasaan traumatik korban bencana. Ke depan, perlu diingatkan pentingnya menegakkan Kode Etik Jurnalistik dalam liputan bencana alam dan bencana sosial. Dramatisasi atas keadaan kebencanaan dan eksploitasi atas keadaan korban mesti dieliminasi dalam pemberitaan pers nasional. Digantikan dengan pemberitaan yang lebih berorientasi pada penyelesaian masalah, mitigasi bencana, penanganan trauma korban dan pemulihan harapan dan optimisme para korban (manufacturing hopes). Pers juga mesti mempertimbangkan benar dampak-dampak pemberitaan bencana alam terhadap kepentingan publik yang lain: keamanan nasional, penanganan terorisme, perekonomian nasional, pariwisata, penerimaan devisa negara dan lain-lain.
Demikian pernyataan PWI dalam momentum pergantian tahun 2018 ke 2019. Kepada seluruh masyarakat Indonesia, kami mengucapkan selamat tahun baru. Semoga perjalanan kita sebagai bangsa akan semakin baik dan sesuai harapan tahun depan.(*)