WAJAHNYA sendu. Tak ada lagi pancaran aura ceria, seperti anak-anak seusianya. Jumat (29/7-2022) pagi ini, semestinya ia tidak lagi di rumah kontrakan yang sederhana itu.
Ia sudah di kelas. Mendengarkan guru menerangkan mata pelajar berhitung, membaca, atau ilmu agama. Berlari-lari di teras sekolah ketika waktu istirahat tiba.
Atau berlari-lari di halaman sekolah saat jam olahraga. Riang gembira, tawa, serta bercanda dengan teman-temannya.
Sang guru pun berdiri di sisi tiang bendera, menatap para muridnya yang penuh ceria. Entah anak siapa mereka, tak tahu lagi siapa kaya dan siapa miskin.
Impian itu tentu saja terbesit diangan Monalisa. Tapi ia tak bisa berucap apapun. Seolah tak bisa berteriak, “Sikola au umak.” Ia hanya diam membisu, bak gambar lukisan Monalisa yang mendunia itu. Terpasung dalam bingkai.
Ya, Monalisa dari Lorong Aek Galoga, Desa Pidoli Lombang, Kecamatan Panyabungan, Mandailing Natal (Madina), Sumut ini seolah terpasung di gubuk mereka.
Terpasung oleh ketidak berdayaan ekonomi orangtua, sehingga ia belum bisa mengenyam pendidikan sekolah dasar (SD).
Adalah Dansiah (35), ibu Monalisa bukan tak mau anaknya pintar. Bukan pula tak ingin anaknya ceria seperti anak-anak tetangganya, tetapi ia mengaku tak punya uang untuk membiayai sekolah sang buah hatinya.
Dansiah, hanya kerja sebagai juru masak dan cuci piring di salah satu rumah makan di Panyabungan. Penghasilannya, Rp200 ribu per minggu.
Uang sebesar ini memang sangat pas-pasan untuk menghidupi tiga anak: Monalisa, kakak serta adiknya berumur 2,5 tahun.
“Saya sedih pak. Usia anak saya ini sudah menginjak tujuh tahun tiga bulan, tapi belum bisa sekolah lantaran tak punya biaya. Ditambah lagi, kakaknya putus sekolah, ” kata Dansiah kepada wartawan pada, Jumat (29/7-2022), seperti dikutif dari WartaMandailing.com.
Dansiah memang harus berjibaku agar bisa membiaya ketiga anaknya. Sekitar empat tahun lalu, ayah Monalisa meninggal karena sakit. Lalu, ia menikah lagi dengan seorang lelaki warga Pasaman, Sumbar.
Dari perkawinan kedua, dapat satu anak, sekarang berumur 2,5 tahun. “Bagaimana mau sekolahkan anak, biaya hidup sehari hari saja cuma mengandalkan buruh masak dan cuci piring,” tuturnya dengan suara parau.
Belakangan diketahui, di rumah kecil itu Dansiah tak hanya tinggal bersama tiga anaknya, tapi juga ada ibu kandungnya yang sudah renta.
Bisa dibayangkan, dengan penghasilan Rp200 ribu seminggu, ibu rumah tangga yang kurang beruntung ini harus membiayai kebutuhan sehari-hari lima orang, termasuk Dansiah, plus sewa tempat tinggal.
“Saya kepingin sekolah pak. Satu dua teman, ada yang mengejek kenapa saya tidak sekolah seperti mereka,” ujar Monalisa.
Dikutip juga dari WartaMandailing.com, Plt. Kepala Dinas Pendidikan Lismulyadi belum memberikan tanggapan ketika dikonfirmasi mengenai nasib Dansiah melalui telponnya.
Setali tiga uang, kepala Bidang Dikdas Dinas Pendidikan Madina juga belum memberikan keterangan soal ini. (syah)
Editor: Akhir Matondang