Oleh: AKHIRUDDIN MATONDANG
JIKA sampai 40 hari setelah kejadian polisi masih belum berhasil menetapkan tersangka pada kasus tewasnya lima warga dan puluhan lainnya dirawat di rumah sakit dan puskemas, tentu saja hal ini patut dipertanyakan.
Mudah-mudahan lambannya penyidik menetapkan tersangka bukan lantaran mereka sedang menyiapkan skenario untuk melindungi PT SMGP agar kasus ini tidak sampai ke pengadilan, baik secara lembaga maupun pribadi-pribadi bagi mereka yang diduga terkait terjadinya musibah tersebut.
Sebab jika memang ada keinginan pihak berwenang hendak menuntaskan kasus ini sesuai jalur hukum, logika awam saya mengatakan tidak begitu sulit. Kecuali ada tekanan sana sini, tentu saja menjadi rumit. Perlu banyak pilihan alternatif atau pertimbangan “jalur” yang lebih aman, logis dan rasional.
Toh kejadian sudah begitu jelas, siapa yang membuka sehingga zat beracun “gentayangan” di alam Sibanggor Julu. Siapa memerintahkan—kalau ada– membuka, atau siapa yang tak mengumumkan adanya rencana pembukaan wellpad SM-T. Sekali lagi, ini logika awam saya.
Berdasarkan hal itu saya menilai begitu toleransinya masyarakat Madina menyikapi kinerja kepolisian. Jika kasus besar yang merenggut lima nyawa manusia seperti kejadian ini aparat penegak hukum masih lamban dalam menanganinya, bagaimana dengan kasus-kasus kecil yang dilaporkan warga.
Bagaimana pula kasus-kasus biasa, seperti pencurian dengan pemberatan (KUHP 363) atau pencurian dengan kekerasan (KUHP 365). Bisa-bisa lenyap “ditelan bumi”, tidak sampai ke pengadilan.
Tragedi zat beracun di PT SMGP sudah menjadi sorotan secara nasional, apalagi jatuhnya korban jiwa bukan kali pertama terjadi di kawasan perusahaan panas bumi tersebut.
Hingga saat ini, total sudah tujuh nyawa melayang gegara aktivitas PT SMGP. Pertama, saat dua santri jatuh di kolam milik perusahaan itu yang berlokasi di Desa Sibanggor Jae, Kecamatan Puncak Sorik Marapi (PSM), Madina. Kejadian ini terjadi pada, Sabtu (29/9-2018).
Kali kedua, lima warga Sibanggor Julu, PSM, Madina tewas dan 50-an penduduk lainnya mengalami keracunan zat H2S (Hidrogen Sulfida) sehingga terpaksa mendapat perawatan medis yang terjadi pada, Senin (25/1-2021).
Entah sudah berapakali ada yang menyampaikan kesaya jangan terlalu berharap bakal ada tersangka jika bersinggungan dengan PT SMGP, karena perushaan itu seolah kebal hukum.
Pun sudah sering saya mendengar secara tidak langsung obrolan masyarakat bahwa polisi tak akan berani menetapkan tersangka jika dugaan pihak yang salah dari PT SMGP.
Bahkan sembari guyon seseorang menyebutkan kepada saya, sama halnya ketika Polres Madina tak akan punya nyali jika ada dugaan laporan penyalahgunaan anggaran dana desa (ADD) yang diduga dilakukan seorang kepala desa. Hmm.., guman saya tak menjawab sepatah kata pun.
Dia lantas berujar, “Coba tunjukkan kesaya ada kepala desa jadi tersangka enggak terkait dana desa,” ujar sang sahabat yang juga seorang jurnalis.
Jika kasus-kasus melibatkan PT SMGP dipetieskan seperti kehawatiran disampaikan Rizal Efendi Nasution, anggota DPRD Sumut, seperti ditulis pada bagian pertama tulisan ini benar terjadi, tentu saja ini bakal menjadi preseden buruk pagi penegakan hukum, khususnya di Madina.
Sampai kapan pun, tetap akan diungkit-ungkit lagi. Saya hanya sekadar mengingatkan, tak ada yang bisa jamin besok, lusa atau pada masa mendatang tidak ada lagi korban jiwa akibat aktivitas PT SMGP.
Jangan sampai, misalnya, suatu ketika ada lagi musibah yang menyebabkan jatuh korban jiwa, amarah masyarakat tak terkendali.
Tidak menutup kemungkinan memori mereka mengingat kembali bahwa tak akan bisa berharap pada proses hukum karena pengalaman mencatat polisi tidak punya nyali membawa setiap persoalan melibatkan PT SMGP ke ranah persidangan.
Kita khawatir suatu masa terjadi hal yang tak diinginkan. Tetapi mudah-mudahanlah, jangan sampai muncul perbuatan anarkis, seperti kehawatiran saya.
Pengalaman mencatat, jika amarah warga sudah memuncak sulit dikendalikan. Kita juga masih ingat ketika jelang masa pembebasan lahan pembangunan PT SMGP dulu, sudah jatuh korban jiwa. Ini kita harapkan tidak terulang.
Indonesia adalah negara hukum. Sebuah negara yang melandaskan seluruh kegiatan dan aktivitas pada perlindungan hukum. Semestinya, siapapun dia, perlakukannya di depan hukum harus sama.
Hukum bukan untuk dipermainkan, apalagi untuk mengeruk keuntungan pribadi, kelompok atau instisusi. Hukum ditempatkan sebagai peraturan tertinggi dan mengikat bagi seluruh warga negara. Hukum juga ditempatkan sebagai sebuah peraturan yang tidak pandang bulu, sehingga menempatkan semua orang, tanpa terkecuali pada posisi yang sama dihadapan hukum.
Pelanggaran yang sama akan diberikan sanksi yang sama, biar pun dilakukan orang dengan status yang berbeda di tengah masyarakat. Sebab sanksi diukur berdasarkan tingkatan suatu tindakan, bukan status atau pengaruh seseorang.
Bupati Madina Drs. Dahlan Hasan Nasution sebenarnya sudah meminta penegak hukum bersikap tegas terhadap PT SMGP karena telah menelan korban jiwa akibat zat akibat H2S.
Hal serupa juga dikatakan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi. “Biarkan aparat bekerja secara profesional dalam menyelidiki penyebab tewasnya lima warga dan puluhan lainnya terpaksa dirawat di rumah sakit. Jika memang terbukti, bisa diproses hukum. Jadi PT SMGP tak hanya bertanggung jawab penuh terhadap masyarakat, tapi bisa dipenjara,” teganya seperti dikutip dari Beritasatu.com, Kamis (28/1-2021).
Tugas penegakan hukum adalah menjalankan hukum seadil-adilnya bagi siapapun, bukan memberikan santunan—meskipun tidak salah. Nanti masyarakat bertanya, darimana sih uang satunan itu, kan bukan Dinas Sosial? (Bersambung)
Penulis: Pemimpin Umum/Penanggung Jawab Beritahuta.com