OPUK, bangunan ukuran sekitar 3X4 meter ini terbuat dari kayu. Oleh sebagian masyarakat Mandailing—salah satu suku di Sumatera Utara, Opuk disebut juga sopo losok. Jika diartikan secara harfiah: gubuk malas.
Mereka yang duduk di Opuk, seakan tak merasa waktu berlalu karena suasana di tempat itu begitu sejuk, adem. Jauh dari hingar-bingar seperti di kota. Apalagi dongan markombur (teman bincang-bincang) cocok. Wah, suara azan di masjid pun tak jarang terabaikan.
Itulah sebabnya sebagian warga menyebut Opuk dengan sebutan sopo losok. Duduk di Opuk bisa menimbulkan rasa malas. Tadinya mau berangkat kerja, jadi malas. Rencananya ke sawah atau ladang, tak jadi lantaran asik markombur.
Sejak pagi hingga tengah malam, Opuk nyaris tak pernah kosong. Ada saja yang dibicarakan. Ada saja yang dibahas. Jangan heran Isu politik luar negeri pun mereka perbincangkan di lantai Opuk yang biasanya terbuat dari belahan batang pinang atau bambu.
Jika dikaitkan dengan isu kekinian, sepertinya topik utama pembahasan di “pentas” Opuk adalah soal PT SMGP. Yaitu, perusahaan panas bumi yang ada di daerah ini yang kerap menimbulkan warga keracunan.
Selain itu, mengenai timnas sepakbola. Sudah pasti warga yang markombur di Opuk terkadang merasa lebih pintar dibanding Shin Tae Yong, si pelatih asal Korsel. Pokoknya segala hal dibahas, tak jarang terjadi perdebatan sengit bak acara talk show di televisi swasta.
Cerita soal Opuk, tak ada habisnya. Sama halnya obrolan di lantai Opuk yang tak kunjung kehabisan topik sepanjang masa. Ada saja yang dibahas.
Salah satu Opuk tertua di Mandailing ada di Desa Huta Tonga, Kecamatan Panyabungan Barat, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumut.
Di Huta Tonga, saat ini Opuk tinggal satu unit. Dulu, ada sekitar 10 unit. Seiring perkembangan zaman, satu persatu dibongkar pemiliknya karena berbagai alasan, antara lain lahan tempatnya berdiri dipakai membangun rumah.
Usia Opuk di Huta Tonga ini diperkirakan lebih 70 tahun. Ali Umar (60), warga setempat menyebutkan ia masih ingat saat Opuk itu dipindah dari Desa Barbaran, Panyabungan Barat. “Waktu itu saya belum sekolah. Sudah sekitar 55 tahun Opuk ini ada di sini,” katanya kepada Beritahuta.
Opuk di Huta Tonga merupakan milik Sangkun (70). Sopo Losok ini dulu dibeli orangtuanya di Barbaran, lalu dibongkar warga secara gotong royong.
Bongkahan Opuk dibawa ke Huta Tonga pakai pedati, baru diberdirikan lagi secara bersama-sama oleh penduduk desa.
Kayu-kayunya tampak masih kokoh. Kayu “berkelas”. Orang Mandailing menyebutnya ayu jior. Kalau dipaku, justru pakunya bengkok. Saat ini ayu jior sudah susah didapat, apalagi namartoras.
Tidak ada satu biji paku pun menancap di bangunan Opuk, kecuali pada pantar atau lantai yang memang sudah beberapa kali diganti lantaran termakan umur. Itu pun pakai paku beton.
Selain tempat bersosialiasi antarwarga, fungsi Opuk sebenarnya sebagai tempat menyimpan padi (lumbung) untuk stok atau cadangan pangan sebelum panen berikutnya tiba.
Hasil panen disimpan di Opuk, baru dijual saat harga gabah tinggi atau ketika petani perlu uang .”Seperti tabungan, saat mau horja padi di Opuk dijual,” kata kata Darwis (63), warga Huta Tonga.
Sekarang, kata dia, Opuk sudah jarang dipakai untuk menyimpan gabah. Karena begitu panen, si petani langsung menjual padinya ke pengumpul. Paling disisakan sebagian untuk kebutuhan makan sebelum masa panen tiba.
Opuk sudah hampir punah. Di Barbaran, contohnya, tadinya di sana banyak, sekarang tinggal dua unit. Masa sudah berubah, losok pun tak patut lagi diperlihara jika ingin maju dan sejahtera.
Namun kearifan lokal hendaknya tetap kita jaga, setidaknya anak cucu kita tahu cerita tentang Opuk…
Akhiruddin Matondang