BERBAGI
Uang logam pecahan Rp100,- dan Rp200,- ini di Panyabungan tidak laku. Padahal, pemerintah masih mengakui uang ini sebagai alat pembayaran yang sah.

BERITAHUta.com—Ada yang aneh di Kabupaten Mandailing Natal, Sumut. Uang logam pecahan Rp100,- dan Rp200,- tidak laku di daerah ini. Kenapa ini terjadi, sementara pemerintah menyatakan uang “receh” itu masih alat pembayaran yang sah.

“Inda laku on (enggak laku ini-red),” kata seorang pedagang di sebuah warung di Pidoli, Kecamataan Panyabungan, Madina ketika Beritahuta.com coba bayar belanjaan pakai uang logam pecahan Rp200,-.

Hal serupa dikatakan  pedagang toko kelontong di Kelurahan Kota Siantar, Panyabungan. Menurutnya, uang logam pecahan Rp100,- dan Rp200,- sudah lama tidak laku di seputaran Madina.

“Kalau saya terima, nanti menumpuk disini karena tidak ada yang mau terima ketika kami belanja di pasar,” kata ibu setengah tua.

Para pedagag di Pasar Baru Panyabungan dan Pasar Lama Panyabungan juga tidak ada yang mau menerima uang logam tersebut. Karena itu, harga-harga di kedua pusat perbelanjaan keperluan rumah tangga masyarakat itu minimal Rp500,-.

“Kalau kita mau belanja, harga minimal di sana Rp500,-. Misalnya, kita beli cabe giling, paling sedikit kita beli seharga Rp500,-. Jika harga daun singkong Rp2.000 per ikat, jika mau nawar paling Rp1.500,- , tidak bisa Rp1.800,-per ikat.  Bisa juga Rp5.000,- per tiga ikat,” kata Halimah, warga Panyabungan II, Panyabungan.

BERITA TERKAIT  Jafar Sukhairi Hadiri ‘Grand Opening’ Rumah Daun di Vinago

Wawan, warga Pekalongan, Jateng, yang ditemui di Pasar Lama menyebutkan di wilayah Pulau Jawa, uang logam pecahan Rp100,- dan Rp200,- masih dijadikan sebagai alat transaksi jual beli.

“Terus terang, awalnya saya kaget ketika beli rokok di Panyabungan saya kasih uang logam campur :Rp1.000, Rp500, dan Rp200,-, eh yang logam Rp200,- ditolak,” katanya.

Di Jawa, kata dia,  jika seseorang belanja senilai Rp7.999.800,- , misalnya, dan dikasih uang Rp8 juta untuk membayarnya, dipastikan si penjual beri kembalian Rp200,- .

“Demikian juga ketika kita beli bensin di SPBU, uang kembalian kita tetap utuh dikasih sesuai tertera di meteran. Mereka menyiapkan banyak uang logam. Bukan dibulatkan ke atas,” kata Wawan.

Beda dengan Panyabungan dan sekitarnya. Ketika seseorang belanja di warung: minimarket,  apotik, dan lainnya, bukan hanya kembalian Rp100,- dan Rp200,- yang tidak ada, bahkan kembalian Rp500,- dan Rp1000,- sering dikasih permen.

BERITA TERKAIT  Harga Karet Masih Tak Beranjak Naik, Aktivitas Pasar Maga Kian Lesu

“Coba kita lihat apotik atau toko obat, mereka siapkan permen. Lihat di Madina Swalayan Panyabungan, di meja kasir ada toples ‘gulo-gulo sakotu’ (permen),” kata warga.

Padahal UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang merupakan lex spesialis atas Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) telah mengatur secara jelas, siapa pun yang bertransaksi keuangan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) wajib menggunakan rupiah, baik dalam bentuk pecahan uang kertas maupun koin.

Karena itu, warga berharap agar pihak terkait gencar melakukan sosialisasi mengenai fenomena uang pecahan Rp100,- dan Rp200,- tidak laku. “Jika dibiarkan, nanti pecahan Rp500,- dan Rp1000,- bisa tidak laku lagi di daerah kita ini,” katanya.

“Mestinya para pedagang, terutama pemilik swalayan sudah menyediakan uang logam pecahan terkecil sebagai uang kembalian, jadi tidak ada alasan tidak ada uang kembalian dan menggantinya dengan permen,” ucapnya. (tim-01)

BERBAGI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here