BERBAGI
KARNAVAL--Salah satu kegiatan karnaval yang berlangsung di jalisum Pasar Lama, Panyabungan, Madina. (foto: dok akhir matondang)

DALAM sepekan terakhir begitu banyak saya mendengar cemoohan masyarakat, guru-guru, dan para kepala sekolah atas kebijakan Pemkab Mandailing Natal (Madina), Sumut meniadakan acara karnaval dalam rangka memeriahkan HUT (Hari Ulang Tahun) ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia (RI).

Itulah sebabnya muncul pertanyaan salah apa sebenarnya acara bernama: karnaval sehingga dia harus tersisih. Sebegitu besar dosa-dosanya, sehingga kegiatan ini harus kalah bersaing dengan lomba masak nasi goreng PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga). Harus tereliminasi dengan lomba menyanyi antar OPD (Organisasi Perangkat Daerah).

Sungguh aneh memang kebijakan Pemkab Madina ini. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) karnaval adalah pawai dalam rangka pesta perayaan (biasanya mengetengahkan bermacam corak hal yang menarik dari yang dirayakan).

Sebanyak apapun kegiatan yang dilakukan suatu pemerintahan daerah atau pusat dalam rangka memeriahkan HUT RI, tidak sempurna tanpa karnaval. Budaya memeriahkan hari kemerdekaan dengan melaksanakan karnaval merupakan hal lumrah di negara manapun, tak terkecuali Indonesia.

Karnaval menunjukkan kecintaan masyarakat terhadap daerahnya, bangsa dan negara, sekaligus menunjukkan rasa syukur atas kemerdekaan yang telah diraih dengan mengorbankan jiwa, raga dan harta melawan penjajah dari negara asing. Mampu membakar jiwa kebangsaan serta kecintaan terhadap daerah serta tanah air.

Pawai karnaval menyuguhkan aneka ragam adat dan budaya daerah dan nasional. Ini sekaligus dapat membangkitkan jiwa patriotis para pelajar dan generasi muda sekaligus suatu edukasi.

Karnaval juga mengajarkan mereka lebih kreatif dan berani tampil di depan khalayak ramai. Dalam sebuah pencarian di google disebutkan, karnaval agustusan menjadi sarana untuk mempromosikan aneka budaya Indonesia kepada masyarakat luas. Selain itu, karnaval menjadi ajang meningkatkan rasa cinta tanah air dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa.

Karnaval menjadi wadah melestarikan nilai-nilai budaya lokal dan memperkenalkan warisan tersebut kepada generasi muda. Acara ini dapat memperkuat tali silaturahmi antarwarga dan meningkatkan rasa kebersamaan di tengah masyarakat.

Sebegitu besar manfaat karnaval jika dikemas dengan baik. Lalu kenapa panitia HUT ke-79 RI tingkat Madina tidak mengadakan acara karnaval, apakah lantaran mereka tidak mampu mengemas kegiatan ini dengan baik dan tidak monoton.

Melalui surat Nomor: 003.1/001/PAN-HUTRI/2024 tanggal 30 Juli 2023 yang ditanda tangani Sekdakab Alamulhaq Daulay, selaku ketua panitia, disebutkan salah satu keputusan rapat mereka adalah meniadakan karnaval dan menggantinya dengan acara devile serta atraksi drumband di tingkat kabupaten.

BERITA TERKAIT  Madina Raih Opini WTP, Pentingkah bagi Masyarakat

Tidak dijelaskan dalam surat itu alasan pemkab tidak mengadakan karnaval. Namun keputusan tersebut disesalkan banyak pihak. Pemkab dituding hanya melihat sisi negatif dari kegiatan tersebut. Bisa jadi alasan capek, tidak ada anggaran, mengganggu waktu salat, rawan tawuran, dan sebagainya. Jika ini betul, begitu jelas tampak kemampuan panitia dalam meminimalisir dan meniadakan persoalan.

Padahal karnaval 17-an itu agenda tahunan yang ditunggu-tunggu para pelajar serta masyarakat. ”Saya kecewa. Pemkab telah merusak histori anak yang ingin tampil pada acara sakral 17-an. Selain itu, juga (kebijakan tak mengadakan karnaval) merugikan masyarakat,” kata Mardiah, Selasa (6/8/2024), seorang wali murid di Panyabungan, seperti dikutip dari Madina Pos Online, Selasa (6/8).

Masih banyak ungkapan kecewa dari masyarakat. Misalnya, seorang kepala SD (Sekolah Dasar) di Panyabungan terang-terangan menyesalkan pemkab tidak mengadakan karnaval dalam rangka memeriahkan 17-an tahun ini. “Saya sudah pesan make-up dan pakaian adat anak-anak, terpaksa dibatalkan,” katanya Jumat (9/8/2023).

Para penata rias, salon kecantikan, jasa sewa pakaian adat, pengrajin kue kotak, pedagang es, penjual makanan, dan mereka yang biasa berdagang musiman harus gigit jari. Tak bisa mengais rezeki untuk menambah penghasilan keluarga.

Sebegitu sulitkah pemkab memberi peluang masyarakat mengembangkan UKM (Usaha Kecil Menengah). Sebegitu pelitkah mereka memberi jalan rezeki bagi masyarakat, yang umumnya kelompok ekonomi kecil.

Tidak habis pikir. Sementara ada segelintir pejabat di daerah ini yang dengan jabatan dan kekuasannya terus mengembangkan bisnis mengumpulkan pundi-pundi kekayaan tanpa ia sadari hal itu membuat usaha orang lain terganggu. Mereka itu secara tak langsung menyuguhkan persaingan tak sehat. Hanya lantaran sedang menjabat bisa semau gue.

Dari hasil berdagang:  mie goreng, kerupuk kuah, satai, es doger, es campur, cilok, bakwan, air mineral dan lainnya mereka sedikit tertolong untuk bisa beli beras, ganti seragam sekolah dan buku anak. Sampai kesanakah pikiran para petinggi daerah ini.

Dagangan apapun dijual warga pada setiap acara karnaval, pasti ludes. Apalagi sejenis minuman, jajanan anak-anak, dan mainan anak, seperti balon, tak pernah enggak habis.

BERITA TERKAIT  36 Warganya Terjerat Kasus Narkoba, Banjarsibaguri Riwayatmu Kini

Hiburan rakyat itu telah mereka renggut. Seorang kakek atau nenek tak perlu lagi duduk di kursi bersama kerumunan orang banyak hanya sekadar melihat cucu lenggok-lenggok di jalan raya dirias bak pengantin.

Pun seorang ibu tak lagi perlu berpayung di terik matahari menunggu sang buah hati melintas di depannya. Tak ada lagi alunan gordang sambilan, onang-onang, pawai berkostum simbol perjuangan bangsa, dan tak tampak lagi penampilan peserta yang membuat warga setidaknya tersenyum serta berdecak kagum lantaran atraksi peserta.

Pemkab merasa 17-an tahun ini cukup dengan pentas seni SD dan SMP, lomba seni tari, lomba lari SMP dan SMP, festival drumband, cerdas cermat, dan deville yang nyaris tak melibatkan masyarakat.

Kegiatan ini memang tak salah, tapi sebenarnya lebih pantas digelar pada peringatan Hari Pendidikan. Apakah mereka lupa, kita ini sedang memeriahkan hari kemerdekaan, bukan saja suatu event bagi pelajar dan birokrat, tetapi pesta rakyat. Apalagi terlihat kegiatan itu tak melibatkan tingkat SLTA. Apakah mereka tidak boleh merayakan kemerdekaan tingkat kabupaten hanya karena bukan “milik” pemkab.

Sungguh membingungkan. Kalau alasan keamanan karena 17-an tahun lalu sempat terjadi insiden kecil, bukankah di daerah ini ada aparat keamanan—kecuali mereka minta dana besar juga seperti anggaran pengamanan Pilkades, Pilkada, dan Pemilu.

Tidak ada anggaran, masak mendirikan panggung kehormatan, snack undangan, dan menyiapkan sound system saja sekelas kepala Dinas Pendidikan atau Bagian Sosial Pemkab tidak mampu. Apakah panitia juga harus dapat honor, bukankah mereka aparatur yang digaji pemerintah. Kalau semua kegiatan harus ada honor, untuk apa mereka digaji negara.

Betul-betul tak habis pikir. Jangan-jangan karena “gubernur” Kotanopan tak enak lagi hadir di panggung kehormatan akibat tahun lalu ia viral oleh pemberitaan wartawan dan cibiran masyarakat. Gak tahulah apa alasan mereka menghilangkan tradisi yang sudah sejak lama setiap momen 17-an menghiasi jalan raya Pasar Lama Panyabungan. Bahkan jauh sebelum generasi kita sekarang menghirup udara.

Bagi masyarakat yang kecewa dengan kebijakan pemkab ini, sabar sajalah. Setiap masa ada orangnya, setiap orang ada masanya. Merdeka…!!!

AKHIRUDDIN MATONDANG, pemimpin redaksi, pemimpin umum dan penanggung jawab beritahuta.com

BERBAGI