BERITAHUta.com—Pihak Pengadilan Agama (PA) Panyabungan terkesan bungkam dan tak bisa beri penjelasan mengenai kebijakan “mengharamkan” pihak berperkara menginkjak ruang pintu depan pengadilan tersebut.
Dari kasus ini tampak kepeminpinan Yunadi, selaku ketua PA Panyabungan, kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumut patut dipertanyakan. Semua persoalan di kantor itu seperti sudah diberitakan Beritahuta.com, tak satu pun yang bisa dijelaskan secara gamblang.
Sekretaris PA Panyabungan Nazaruddin yang ditugaskan Yunadi menerima sejumlah pertanyaan yang diberikan media ini hanya menjawab ala kadarnya. Tak ada penjelasan secara detail yang bisa diterima secara terang-benderang.
Menurut Nazaruddin, pelarangan menginjak ruang tamu pintu depan PA Panyabungan bagi warga berperkara merupakan implentasi akreditasi penjamin mutu pengadilan serta Sema No.3 Tahun 2010 tentang Tidak Menerima Tamu Berperkara.
“Jawaban tersebut sudah dikoordinasikan dengan ketua pengadilan,“ kata Nazaruddin didampingi Masidah, kepala Sub Bagian Umum PA Panyabungan kepada Beritahuta.com, Kamis sore (24/10).

Jawaban itu terkesan buang badan. Apakah melintas ruang depan lantai satu dapat dikatakan bakal bertamu dengan pihak PA Panyabungan sementara ruang ketua ada di lantai dua. Para pejabat di kantor ini juga ada ruang masing-masing, tak ada yang berkantor di ruang tamu pintu depan.
Ketika ditanya aturan yang melarang pihak berperkara menginjak lantai ruang pintu depan, Nazaruddin tak bisa menjawab. Ia ianya menyebutkan, dasarnya Sema tersebut. “Mungkin staf terlalu kaku. Kedepan hal ini menjadi koreksi bagi kami,” katanya.
Seperti diketahui, pihak PA Panyabungan melarang pihak berperkara lewat pintu ruang depan. Pada Jumat pekan lalu, (18/18), Lian, bukan nama sebenarnya, mendatangi kantor PA Panyabungan untuk suatu urusan perkaranya. Ia diterima panitera pengganti bernama Rivi Hamdani Lubis di ruang staf panitera yang berada di ruang tamu pintu belakang.
Seperti biasa, masyarakat berperkara harus lewat pintu belakang kantor. Ketika Lian masih koordinasi dengan Rivi, tiba-tiba hujan turun begitu deras.
Saat itu, jam kantor sudah mau habis. Sekitar tiga pegawai kantor tampak sibuk bermain tenis meja di ruang tamu lewat pintu belakang, yang berada persis di depan salah satu ruang sidang.
Karena badan Lian sedang tidak fit, dia meminta izin kepada Rivi agar boleh melintas lewat ruang pintu depan yang memang kosong dan jarak ke tempat parkir jauh lebih dekat.
Namun Rivi melarang. Kata dia, pihak berperkara tak boleh lewat bagian ruang tamu pintu depan, yang jaraknya sekitar 7 meter dari meja panitera ruang belakang.
Bahkan Lian memohon dengan santun agar ia bisa pulang mengingat hari kian sore sementara hujan belum ada tanda-tanda bakal reda.
Permintaan Lian tak diindahkan. Bahkan, dua staf lain di samping Rivi ikut menimpali, ada aturan yang melarang pihak berperkara lewat pintu depan.
Meskipun Lian dongkol, namun sebagai warga biasa ia mengalah. Lian sadar dia bukanlah siapa-siapa, hanya masyarakat biasa yang sedang mencari keadilan di pengadilan yang dipimpin Yunadi. “Maklum mereka aparatur pemerintah. Punya kuasa di kantor itu. Mereka bergaji, saya hanya warga biasa, ” komentar Lian.
Karena hujan tak kunjung reda walaupun sudah ditunggu lebih 20 menit, akhirnya Lian menerobos derasnya guyuran air dari langit melalui pintu belakang. Hal ini menyebabkan pakaian dan tasnya basah.
Keangkuhan Yunadi makin jelas setelah dia tak bisa menjelaskan secara detail mengenai pelarangan itu. Nazaruddin yang mendapat tugas menerima konfirmasi wartawan, juga tak bisa menjawab karena memang bisa jadi tak ada pelarangan itu secara spesifik. Hanya mengada-ada, namun masyarakat selama ini diam.
“Mana aturan seperti dikatakan Rivi dan dua staf lain. Kalau tertulis, kami ingin lihat dan kalau lisan bagamana narasinya,” tanya media ini melalui jaringa watshapp terhadap Nazaruddin. Namun sampai batas waktu yang ditentukan, ia tak bisa jawab.
Pertanyaan berikutnya, jika staf kaku dan tidak bisa mengimplementasikan pelayanan dengan baik terhadap masyarakat, khususnya pihak berperkara, berarti Yunadi gagal menjadi pemimpin di pengadilan tersebut, lagi-lagi Nazaruddin tak menjawab.
Mengenai aturan yang membolehkan staf bermain tenis di ruang pintu belakang pada jam kerja, Nazaruddin juga bungkam.

Berdasarkan rentetan pertanyan yang tak bisa dijawab Nazaruddin, dapat disimpulkan kuat dugaan Yunadi punya watak angkuh. Ia arogan dengan memperlakukan warga semena-menang mentang-mentang sedang berkuasa di kantor itu. Apalagi sangat jelas, dalam kaitan pelarangan itu, penjelasan pihak pengadilan sangat dangkal. (*)
Peliput: Tim
Editor: Akhir Matondang