BERDASARKAN data 2022, kondisi Madina agak mengkhawatirkan. Total pendapatan Rp1,62 triliun. Sebagian besar atau sekitar 90 persen mengandalkan transfer pusat. PAD (Pendapatan Asli Daerah) hanya 6,8 persen atau sekitar Rp111 miliar.
Saya coba hitung, bandingkan dengan kabupaten/kota lain di Indonesia angka PAD itu rendah sekali. Rata-rata di angka 11 persen, sehingga masih jauh dibawah rata-rata nasional. Ini mirip kabupaten-kabupaten di Papua atau wilayah Indonesia Timur.
Itu artinya ada hal perlu dievaluasi, terutama soal PAD. UU sudah mengatur jenis pajak kabupaten apa saja. Jangan-jangan ketika UU mengatur angka tarif pajak maksimum, lalu itu pula yang diterapkan di Madina, yakni tarif maksimum.
Boleh ambil tarif tidak maksimum. Bisa jadi pakai tarif tidak maksimum, tapi skalanya lebih besar. Sehingga jika dikalikan total pendapatan bisa lebih besar. Saya kira perlu orang-orang yang memahami pengelolaan keuangan daerah untuk bisa mendorong peningakatan ekonomi daerah.
Tanpa pendapatan yang lebih banyak, sulit mempercepat peningkatan pembangunan fisik Madina. Sumbernya itu-itu saja. Semua tarik-menarik, mengandalkan transfer.
Satu lagi yang ingin saya soroti. Pada tahun 2022 Madina tidak mendapatkan dana insentif daerah. Insentif daerah diberikan karena tata kelola keuangan sudah mampu. Mungkin tahun-tahun sebelumnya dapat, saya tak tahu.
Itu saya kira terkait apa yang perlu dilakukan untuk pembangunan fisik. Lima tahun kedepan saya kira Madina masih akan terus mengandalkan DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus)sebagai penopang APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).
Sebenarnya hampir semua kabuten/kota, khususnya kabupaten, mengandalkan dana transfer pusat. Jadi jika Madina masih mengandalkan dana transfer, menurut saya bukan suatu kelemahan. Karena memang hubungan keuangan daerah-pusat, lebih banyak mengandalkan dana transfer.
Jenis pajak sudah dibagi-bagi–pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Harus diakui pajak yang dikelola kabupaten/kota merupakan pajak yang kurus. Pajak yang gemuk dipungut pusat (PPN/PPH), pajak agak gemuk diurus provinsi (PKB/BBNKB). Tinggallah pajak yang kurus untuk kabupaten/kota, seperti pajak restoran, pajak hotel, pajak hiburan dan lainnya.
Itu pun masih ada kendala. Misalnya, jumlah yang menginap di hotel tidak terlalu banyak. Tidak heran kalau kabupaten/kota masih mengandalkan dana transfer, termasuk Madina.
Bagaimana Madina kedepan. Saya berharap bupati dan wakil bupati semakin solid. Bisa menempatkan orang-orang memahami visi dan misi, dan menerjemahkannya dalam kebijakan regulasi. Lalu diterjemahkan lagi dalam alokasi anggaran. Semua bekerja untuk kepentingan rakyat.
Saya kira politik pasti akan terjadi setiap periode. Tetapi begitu pesta demokrasi selesai, mesti fokus mempercepat kemajuan.
Kita masih ada ruang mendorong peningakatan PAD. Lakukanlah evaluasi. Identifikasi potensi yang ada. Kalau perlu, rubah aturan. Bahkan jika perlu perubahan tarif. Bicarakan dengan dewan, semua untuk kepentingan daerah. Sehingga kita bisa segera mendorong peningkatan PAD untuk mebiayai pembangunan fisik yang jumlahnya tak sedikit.
Saya berharap kalau kita mau bicara kedepan, isu-isu mengenai politik setiap periode mudah-mudahan bisa diperpendek waktunya. Misalnya, untuk Pilkada 2024, kita kan baru Nopember 2024, cobalah di 2023 masih fokus pada pembangunan daerah.
Jangan sampai lima tahun sibuk berpolitik terus. Sehingga kita lupa lima tahun itu ada sesuatu yang perlu kita wariskan kepada masyarakat terkait kinerja dalam memimpin daerah. Apalagi sekarang, khusus Madina, tidak sampai lima tahun.
Saya berharap kita berpikiran jernih, ya sudahlah pertarungan politik nanti mulai 2024 saja. Sehingga topik yang bisa dikerjakan adalah bekerja keras kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Madina.
Terakhir saya ingin tegaskan, jangan sampai ada kesan menyalahkan kepemimpinan sekarang. Saya tidak ada kepentingan politik. Apa yang saya sampaikan, tentu saja murni sebagai suatu pemikiran demi Madina, tano hasoranganta. (Tulisan ini adalah hasil wawancara dengan Eddy Suratman: Dekan Fakultan Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Tanjungpura, Kalimantan Barat )
Editor: Akhir Matondang