BERITAHUta.com—Para guru dan pengurus Komite Sekolah SMA Negeri 1 Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumut tetap konsisten agar tujuh siswi yang merobek rok saat jam istirahat belajar pindah dari sekolah itu.
Kepala Cabang Dinas (Cabdis) Pendidikan Sidimpuan Drs. Mohd. Ikhsan Lubis, MM., akan menjembatani proses perpindahan ketujuh siswi ke sekolah lain jika hendak sekolah di wilayah kerjanya.
Keputusan tersebut merupakan hasil rapat antara dewan guru, staf tata usaha, komite sekolah, dan kepala Cabdis Pendidikan Sidimpuan yang berlangsung di Aula SMA Negeri 1 Panyabungan, pada Kamis siang (10/1).
Rapat tersebut menindaklanjuti persoalan tujuh siswi yang enggan pindah dari SMA Negeri 1 Panyabungan sebagai sanksi atas tindakan mereka merobek rok abu-abu pada saat jam istirahat belajar.
“Ketujuh siswi tetap harus pindah. Ini hasil rapat yang dipimpin langsung kepala Cabdis Pendidikan Sidimpuan,” kata Drs. H. Muhammad Nuh Nasution, MM., kepala SMA Negeri 1 Panyabungan.
Sebagai tindak lanjut hasil rapat tersebut, kata dia, kepala SMA Negeri 1 Panyabungan, ketua komite, dan pihak Cabdis Pendidikan Sidimpuan akan mengundang ketujuh siswi bersama orang tua mereka masing-masing, pada Senin (14/1), untuk membicarakan proses perpindahan.
Mohd. Ikhsan Lubis mendukung keputusan sekolah memberi sanksi tegas terhadap setiap siswa yang melakukan pelanggaran moral. “Tidak ada kata mundur. Kita harus tegas menjalankan sanksi yang sudah disepakati bersama. Semoga ini memberi efek jera terhadap siswa-siswi lain. Juga bahan pembelajaran bagi para dewan guru agar hal seperti ini tak terulang lagi,” katanya.
Pada rapat itu, Nurmina Sianturi, S.Pd., guru Bimbingan dan Penyuluhan (BP), mengatakan saat tujuh siswi dipanggil usai melakukan aksi robek rok, terkesan mereka tidak menyesal, bahkan tidak memperlihatkan ekspresi malu. “Mereka mengaku hanya bercanda. Saat hendak diberi hukuman pun, tidak memperlihatkan takut,” jelasnya.
Elfrida S.Pd., wali kelas 10 IPS-3, menyebutkan para siswi tersebut sering membuat onar pada saat berlangsung kegiatan belajar mengajar (KBM). “Ucapan kotor sudah hal biasa keluar dari mulut mereka. Tidak menghargai guru serta suka buka jilbab saat berlangsung KBM,” katanya.
Sementara Mardiana, S.Pd., guru kelas 10, menuturkan siswi-siswi tersebut acap keluar ruang kelas saat jam belajar dengan alasan sakit. Bahkan, tidak jarang menaikkan kaki ke atas meja belajar saat berlangsung KBM. “Juga sering berkata kasar ke guru,” ujarnya.
Ahmad Mulyadi Borotan, SE., ketua komite sekolah, berharap peristiwa yang terjadi menjadi pelajaran berharga bagi pihak sekolah, orang tua, dan pihak-pihak yang terkait dengan dunia pendidikan di daerah ini. “Hal-hal seperti ini hendaknya tidak terulang lagi, kita harus introspeksi diri, ” katanya.
Amril Lubis, anggota komite, mengingatkan para orang tua pelajar di sekolah itu, khususnya ketujuh siswi bahwa setiap sanksi atau hukuman yang diberikan pihak sekolah tidak ada yang bermaksud jahat, tapi demi kebaikan pelajar itu sendiri.
“Kita tidak tahu hikmah di balik kejadian ini. Siapa tahu di tempat lain mereka lebih berprestasi. Siapa tahu di sana iklim belajar lebih menyejukkan. Kita berdoa peristiwa ini memberi kebaikan bagi semua pihak, terutama terhadap ketujuh siswi tersebut,” ujarnya.
Seperti diketahui pada 22 November 2018 ketujuh siswi dengan sengaja merobek rok yang mereka pakai sampai batas pinggang. Pihak sekolah sudah memanggil mereka, namun terkesan tak ada penyesalan dan menyebutkan aksi dilakukan hanya iseng dan candaan belaka.
Ketujuh siswi kelas 10 IPS-3 itu adalah RA, asal Panyabungan Jae, Madina; SB (Banjarsibaguri); MA (Kelurahan Kayujati); SA (Kelurahan Pasar Hilir); MF (Kelurahan Pasar Hilir); AS (Sipolu-polu,), dan NL (Jalan ABRI, Panyabungan).
Setelah melalui proses, saat itu pihak sekolah minta ketujuh siswi pindah ke sekolah lain sebagai hukuman perbuatan dilakukan. Meski begitu, mereka masih boleh ikut ujian akhir semester ganjil pada 3 Desember 2018. Setelah terima rapor, 22 Desember 2018, tujuh siswi wajib mengurus surat pindah.
Pada 28 November 2018 ketujuh siswi membuat surat pernyataan di atas materai yang menyatakan bersedia pindah ke sekolah lain. Surat perjanjian ditangani siswi sendiri, orang tua, serta ketua komite.
Namun usai libur panjang, Senin (7/1), enam dari tujuh siswi tetap datang seperti biasa ke sekolah. Tentu saja ditolak guru karena dianggap melanggar perjanjian. Seorang di antaranya sudah pindah ke Medan.
Keesok harinya, Selasa (8/1), orang tua lima siswi bersama anaknya masing-masing datang lagi ke sekolah, namun tetap ditolak.(tim-01)