BERBAGI
foto: istimewa

AWAL pekan lalu masyarakat  Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara disuguhi pemberitaan kunjungan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko. Banyak tempat yang dikunjunginya, termasuk peletakan batu pertama pembangunan monumen Jenderal AH. Nasution.

Bupati Dahlan Hasan Nasution bersama jajaran pemkab dan sejumlah pihak terkait pun disibukkan penyambutan sang jenderal. Aroma seremonial dan pamer program “percepatan” begitu kental dalam kegiatan ini.

Satu hari jelang kunjungan Moeldoko ke daerah ini muncul kabar adanya keinginan Dahlan Hasan membangun Islamic Centre dan sekolah anak yatim berlokasi di Puncak Muhasabah. Sekolah itu pun digadang-gadang bupati berada di kawasan Bukit Muhasabah dan bagian dari Moeldoko Islamic Centre.

Seperti dikutif dari Harian Kriminal.com, bupati menyampaikan rencana itu, Jumat ( /12), saat menerima puluhan warga dua desa: Sipagapaga dan Aek Banir (Kecamatan Panyabunga, Madina) terkait rencana kunjungan Moeldoko.

Berita dengan judul “Bupati Madina akan Bangun Moeldoko Islamic Centre dan Sekolah Anak Yatim di Puncak Muhasabah” yang diposting di laman facebook ditanggapi diingin nitizen. Hanya ada beberapa komentar.

Akun Abdie Habieb Nasution menulis, “no coment….tp masih bnyak nama yg lbh berfaedah ketimbang nama moeldoko. Sedangkan akun Dahlan Batubara menulis: Siapa itu Muldoko? Apa istimewanya Muldoko?”

Akun Puput Fasya INusa  menulis, “kalau masih mengharapkan hibahan tanah ummat untuk pembangunannya, berarti itu milik ummat..hilangkanlah nama personal, kalau hanya bermodalkan peletakan batu pertama saja, lagi bagus undang alim ulama saja yg meletakkan batu pertama nya, lebih berkah krn pastinya ada doa2 yg dibaca saat meletakkan batu pertama itu,bukan sekedar ceremonial 😎”

Sepinya komentar menganai rencana itu mungkin lantaran masyarakat sudah jenuh terhadap janji dan mimpi-mimpi bupati yang nyaris semua “pepesan kosong”.

Tidak ada juga yang memberi aplaus atau apresiasi tentang rencana menyematkan Moeldoko sebagai nama sekolah yang bakal dibangun. Justru dari belasan komentar, ada dua yang disorot, pertama: lokasi dianggap tidak strategis,  dan kedua: kenapa harus Moeldoko.

Pernyataan bupati mengenai rencana tersebut kembali menjadi bukti bahwa  sesungguhnya kebijakan yang dibuat patut diduga tidak melalui kajian ilmiah melibatkan ahli atau akademisi. Terutama, apakah pantas di puncak Muhasabah dibangun sekolah Islamic Centre dan sekolah anak yatim.

BERITA TERKAIT  Tausiah HUT ke-21 Mandaling Natal, Mengapa Harus Gus Muwafiq

Apakah Madina, terutama Panyabungan dan sekitarnya kekurangan lahan sehingga rencana mulia itu harus direncanakan dibangun di tempat kurang strategis. Lokasi yang bisa membahayakan bagi anak-anak, dan bagi siapun hendak menuju kawasan tersebut  akibat terjalnya jalan yang mesti dilalui.

Bukankah puncak Muhasabah awalnya dibuat sebagai tempat wisata panorama, lalu kenapa tiba-tiba bakal berubah fungsi, hanya kemungkinan lantaran kepentingan sesaat. Antara kawasan pendidikan dan wisata jauh beda.

Sudah adakah kajian kelayakannya untuk dijadikan tempat pendidikan, apalagi di sana menjadi tempat kalangan anak-anak untuk menuntut ilmu.

Terlepas kondisi tersebut, saya kira masyarakat sudah paham langkah-langkah bupati dalam memimpin daerah ini. Apalagi pembangunan Tapian Siri-Siri Syari’ah (TSSS) dan Taman Raja Batu (TRB) yang tadinya dibangga-banggakan, diagung-agungkan, dengan mengumandangkan inda loja mambaen napade,  sekarang justru menjadi “jalan” bagi sejumlah aparatur masuk hotel predeo.

Dulu saya sering dengar adanya rencana pembangunan water bom di sekitar areal TRB yang akan dibangun oleh pihak invenstor, sudah sampai dimanakah impian tersebut.

Hingga jelang akhir 2019, secara jujur saya menyebutkan belum melihat lobi-lobi yang gencar dilakukan bupati bersama jajarannya ke pusat membuahkan hasil nyata bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Saya juga belum melihat secara kasat mata dampak positif dari banyaknya kunjungan kerja pejabat pusat ke daerah ini. Lihatlah, Pasar Baru Panyabungan yang dukunjung menantu presiden, Bobby Nasution serta pejabat pusat, belum menampakkan titik terang. Justru para pedagang diselimuti ketidakpastian. Tanpa terasa lebaran 2020 sudah di depan mata.

Lokasi bandara udara Bukit Malintang pun sudah berkali-kali didatangi pejabat pusat dan provinsi, bahkan sudah dilakukan peletakan batu pertama, nyatanya hanya “ansor” alias angin surga.

Pejabat di Madina berkali-kali menyebutkan bandara yang direncanakan jadi embarkasi haji untuk beberapa kabupaten/kota di wilayah Tabagsel ni akan mulai dibangun 2019, nyatanya tahun ini tinggal hitungan hari akan berakhir tapi rencana pembangunannya mur sojelas.

Apapun alasannya, saat ini pembangunan rumah sakit di komplek perkantoran pemkab di Payaloting juga sudah berhenti. Konon dana besar yang mereka jujar-jujar selama ini belum juga turun,yang dipakai baru sekadar dana pendamping dari APBD Madina.

BERITA TERKAIT  Pengelolaan Dana Desa Perlu Dievaluasi supaya Memberi Manfaat bagi Masyarakat

Bagaimana pula dengan pembangunan kawasan pendidikan Tor Si Ojo di Kotanopan. Makin lama gaung rencana tersebut kian tak jelas. Padahal sejumlah pejabat pusat sudah berkunjung ke sana, yang tentu saja harapannya agar “bapak-bapak” itu ikut membantu melobi pihak terkait untuk merealisasi rencana tersebut.

Lalu, sudah sampai dimana angan-angan bupati yang kerap disampaikannya untuk membangun jalan tembus dari Pagur ke Sibuhuan. Informasinya, justru jalur tersebut terhalang di wilayah Madina, sedangkan kawasan kabupaten tetangga sudah tembus.

Dalam kaitan rencana penyematan nama Moeldoko di Islamic Centre dan sekolah anak yatim ditambah pemberian marga Nasution kepada istri kepala KSP, itu tiba-tiba saya teringat terhadap sosok Ali Mochtar Ngabalin, yang difasilitasi Pemkab Madina ditabalkan juga marga Nasution.

Saya tak menyalahkan raja-raja yang memberikan marga untuk Ngabalin. Sebab pada saat itu, mereka diyakinkan pihak-pihak tertentu bahwa Ngabalin siap membantu mengucurkan dana pusat untuk kabupaten ini puluhan miliar, bahkan konon ratusan miliar.

Sekarang sudah sejauh mana realisasi janji Ngabalin, sementara bapak penuh kontroversial itu sudah tak terdengar lagi “kicauannya”.

Beruntunglah masyarakat sudah kebal dengan janji-janji manis penguasa. Beruntung kita sudah terbiasa dengan acara serimonial peletakan batu pertama, pemberian gelar adat, pemberian marga, kunjungan pejabat pusat, kunjungan bupati  dan jajarannya ke pusat.

Dan, beruntung mereka sudah paham tipikal pemimpin mereka, sehingga setiap untaian janji dan mimpi yang disampaikan tidak ditelan mentah-mentah.

Demikian juga dengan rencana Moeldoko Islamic Centre dan sekolah anak yatim, menurut saya ini hanya pepesan kosong. Bagaimana mungkin pemberian nama untuk bangunan yang dibiayai APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) tanpa terlebih dahulu melalui persetujuan dewan.

Bagaimana pula dengan rencana kebun nanas, kebun pisang terbesar di dunia, dan percepatan pembangunan KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) di Batahan. Lagi-lagi ada ansor pusat akan gelontorkan dana Rp682 miliar, fantastis. Duit siapa ya?

Bagi saya, mimpi, rencana dan janji-janji seperti ini sudah sering dilontarkan bupati sehingga bukan lagi sesuatu yang baru meskipun realisasinya kita masih menunggu entah sampai kapan.

Semoga bukan sekadar “pepesan kosong”…

Akhiruddin Matondang

 

 

BERBAGI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here