BERITAHUta.com—Pihak berperakara seakan jadi santapan empuk Pengadilan Agama (PA) Panyabungan. Perhitungan sisa uang panjar biaya perkara tidak pernah dirinci secara detail.
Seolah tertutup, dan tak ada penjelasan detail mengenai hal ini sehingga mereka yang berpekara tidak tahu jumlah pasti yang mesti dibayar terhadap negara.
Ketika persidangan selesai, apakah cabut perkara atau putusan berkekuatan hukum tetap, lalu penggugat disuruh menemui staf panitera yang berada di bagian luar ruang sidang untuk menerima pengembalian kelebihan panjar biaya perkara.
Seperti diketahui, panjar biaya perkara bervariasi tergantung jarak tempat tinggal pemohon/penggugat dengan PA Panyabungan. Untuk wilayah Kota Panyabungan, contohnya, sekitar Rp750 ribu, wilayah pantai barat mencapai sekitar Rp1,5 juta. Ini tidak termasuk tip untuk Lisda, Rp150 ribu (baca:Pungli di Pengadilan Agama Panyabungan Marak, Spanduk Anti KKN Hanya Tameng).
Jika perkara dicabut, karena pemohon dan termohon berdamai, sisa uang panjar biaya perkara dikembalikan staf panitera tanpa menjelaskan rincian penggunaan uang panjar yang disetor melalui Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Petugas juga tak pernah memperlihatkan aturan mengenai pos-pos penggunaan biaya panjar. Pihak berpekara seolah ditempatkan pada posisi lemah. Harus pasrah menerima pengembalian uang yang ditentukan pengadilan.
Demikian juga ketika perkara sudah diputus majelis hakim. Pada bagian akhir salinan putusan biasanya tertulis rincian biaya perkara yang harus dibebankan terhadap penggugat atau pemohon, namun tidak ada jaminan biaya perkara yang dipotong panitera sama dengan angka yang tertulis dalam salinan putusan.
Dengan kata lain, selalu ada tambahan biaya lagi di luar angka yang tertulis dalam salinan putusan. Juga masyarakat tidak tahu, rumusan atau dasar daripada biaya-biaya yang ada dalam rincian tersebut.
Pada bagian pertama tulisan ini disebutkan, petugas pendaftaran perkara bernama Lisda mematok Rp150 ribu bagi setiap warga yang hendak mendaftarkan perkara di pengadilan itu. Paling tidak hal ini dialami langsung Kandulok (50), bukan nama sebenarnya. Lalu, seberapa banyak perkara yang mendaftar melalui ruangan Lisda? Ini terkait dengan dugaan jumlah pundi-pundi yang terkumpul lewat Lisda cs.
Berdasarkan web-site resmi PA Panyabungan, dalam tiga bulan terakhir data perkara masuk , yaitu: Agustus 2019 sekitar 59 perkara dan putus 78 perkara.
Lalu periode September 2019 perkara masuk sekitar 53, putus sekitar 42 perkara. Sedangkan Oktober 2019 jumlah perkara masuk 17, putus: 19 perkara.
Dari data dan informasi yang ada adi web-site resmi itu, terlihat pihak pengadilan tertutup mengenai penjelasan biaya perkara yang dibebankan kepada masyarakat.
Di dalam web tidak ada update terbaru menganai laporan keuangan perkara. Terakhir mengenai hal ini di-update setahun lalu,tepatnya 28 September 2018. Di sana tertulis, penerimaan sebesar Rp97.367.000; selanjutnya Rp47.616.000 (pengeluaran); Rp49.751.000 (saldo akhir); saldo di bank Rp30.824.000 dan saldo kas tunai Rp18.927.000.
Dugaan ketertutupan PA Panyabungan mengenai biaya perkara kian jelas, sebab dalam web-site terdapat kolom “panjar perkara”. Meski judulnya “panjar perkara” di-update 23 Nopember 2018, dengan dua sub judul masing-masing: 1. Panjar biaya proses perkara, dan 2. Standar komponen biaya pemeriksaan setempat, namun kedua sub judul tidak ada isi alias tak ada penjelasan sehingga masyarakat seolah tidak boleh tahu mengenai hal itu. Padahal, ketentuan itu sesuatu yang harus diketahui masyarakat, khususnya pihak berperkara.
Mungkinkah pihak PA Panyabungan “bermain-main” juga dari uang panjar biaya perkara ini mengingat masyarakat tidak pernah tahu cara penghitungannya sesuai ketentuan. Wallahu aqlam bissawaf.
Masih soal pungli, Beritahuta.com beberapa kali menyaksikan staf di PA Panyabungan menerima uang tip dari masyarakat yang mengurus berkas di kantor itu. Misalnya, seorang staf berbadan agak gemuk, kepala sedikit botak, sengaja menemui seorang lelaki di depan kantin.
Lalu, staf itu memberikan suatu lembaran kertas kepada lelaki berbadan kurus. Mungkin baru diteken petugas pengadilan. Seolah sudah dipersiapkan, berselang beberapa detik warga yang menerima kertas pun mengambil lembaran Rp50 ribu dari kantong bajunya.
Sang staf berumur sekitar 35 tahun begitu cekatan mengambil uang dari genggaman si warga. Tanpa basa-basi, hepeng itu langsung “disamber”.
Padahal aksi itu “disaksikan” spanduk bertuliskan “Anda Memasuki Zona Integritas Pengadilan Agama Panyabungan Menuju Wilayah Bebas Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBK, WBBM), yang dipasang di atas pintu belakang kantor tersebut.
Jelas praktik pungli bertolak belakang dengan materi tiga spanduk pemberantasan KKN yang menempel di dinding bangunan pengadilan.
Masih terkait KKN, selaku panitera di PA Panyabungan, Rivi Hamdani Lubis, sangat jarang berada di ruangannya. Hampir setiap dia tidak ada jadwal sidang selalu berada di kantin pengadilan.
Beberapa kali wartawan media ini ke PA Panyabungan, Rivi selalu berada di kantin padahal bukan jam istirahat. Sehingga ketika ada warga yang membutuhkan penjelasan atau tanda tangan dari dia selaku panitera, terpaksa disusul staf di ruang kantin yang berada di bagian belakangan PA Panyabungan. (habis)
Peliput: Tim
Editor: Akhir Matondang