
“BOLEH minta sedekah pak,” ujar seorang ibu. Ia menggendong seorang bayi dan menuntun seorang anak lelaki umur sekitar empat tahun.
“Darimana bu,” tanya saya.
“Malintang pak,” jawabnya lirih.
Saya pun masuk ke dalam toko. Saya ambilkan uang Rp5 ribu.
Saat itu saya sedang ngelap kendaraan, persis di depan toko, Jalan Williem Iskandar, Pasar Lama, Panyabungan, Madina. Tidak biasa saya lap mobil di atas pukul 09.00. Biasanya sekitar pukul 07.00 agar tidak panas dan pejalan kaki pun tidak ramai.
Saat memberi uang itu, saya lihat ada seperti gumpalan kain menyerupai boneka di bawah ketiak kirinya. “Apa itu bu,” kata saya.
Saya kira modus. Teringat di kota-kota banyak ibu-ibu peminta-minta menggendong anak sebagai cara menaruh iba.
“Anak saya, kembar pak.” Ia meyakinkan karena dia tahu awalnya saya hanya melihat yang digendong hanya satu.
“Suaminya dimana.”
“Sudah meninggal, waktu anak kembar saya ini dikandungan,” lagi-lagi suaranya lirih.
Mendengar ungkapan itu, hati saya terketuk. “Masuk dulu bu.”
Lantas, saya masuk ke dalam toko memanggil istri.
Begitu saya keluar, ibu dengan tiga anak ini masih berdiri di depan toko. Mungkin ia sungkan masuk.
Istri saya pun mempersilakan dia masuk, lalu ia bersila di tikar tempat biasanya konsumen kami duduk.
“Sudah seminggu saya meminta-minta pak, daripada kami enggak makan,” katanya memulai percakapan.
Pengakuan ibu yang belakangan diketahui bernama Ika Anggraini (30) saya pastikan benar. Wajah peminta-minta yang biasa keliling di Pasar Lama pastilah saya kenal.
Ika pun cerita. Ia sebenarnya malu meminta-minta, namun kebutuhan hidup bersama tiga anak membuatnya tak ada pilihan lain. “Bukan saya tak mau kerja. Kalau saya kerja, siapa yang mengurus anak saya. Di sini tak ada famili dekat.”
Ika mengatakan ia berasal dari Medan. Sekitar 2,5 bulan lalu ia menyusul suaminya, Akhiruddin Rangkuti (40), ke Malintang, Kecamatan Bukit Malintang, Mandailing Natal (Madina), Sumut. Sang suami sudah tiga bulan kerja bangunan di desa tersebut.
Saat itu usia kandungan Ika mendekati sembilan bulan, ia menyusul ke Madina. Alasannya kalau tiba masa bersalin, suami bisa membantu mengurus anak-anaknya.

Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Sekitar 10 hari sebelum ia melahirkan suami meninggal saat kerja bangunan akibat tertimpa semen dari lantai atas. “Tidak ada angin, tidak ada apa-apa, tiba-tiba semen jatuh,” sebut Ika.
Pendek cerita Ika pun melahirkan anak kembar lelaki di RS Permata Madina melalui operasi sesar. Saat ini usia bayi kembar laki-laki yang belum diberi nama itu: 1 bulan dan 14 hari. “Biaya di rumah sakit pakai BPJS,” katanya.
Awalnya Ika dan tiga anaknya masih bisa menutupi kebutuhan sehari-hari dari santunan yang diberikan tempat suami kerja. Lama-lama, uang pegangan mereka pun kandas. Apalagi anak paling besar, Al-Fath Aurafan Kurniawan sudah tahu jajan.
“Saya sebenarnya mau pulang ke Medan kalau ada yang memberi ongkos kepada kami,” sebut Ika.
Menurutnya, ia ikhlas memberikan ijazah SLTA-nya sebagai jaminan atau dijual bagi siapa saja yang mau membantunya memberi ongkos pulang ke Medan.
“Hanya itu yang saya punya. Saya gak punya barang apa-apa. Saya juga malu meminta-minta seperti ini, tapi mau apa lagi,” ujarnya lagi.
Ika mengaku tidak punya saudara dekat di Madina. Kalau pun ada, sudara jauh dari pihak suami. Sang suami, Akhir, memang asalnya dari Mandailing, namun ia lahir dan besar di Medan. “Adanya sudara jauh, itu pun mereka tak peduli. Saya juga maklumlah.”
Kebutuhan susu, bubur bayi, makan dan lainnya membuat Ika terpaksa meminta-minta sembari menggendong dua bayi dan menuntun Al-Fath.
Seminggu sudah ia melakoni peminta-minta, rata-rata dapat Rp30 ribu sehari. Tak bisa juga diporsir. Berangkat pukul 08.00, paling sampai pukul 12.00. Sekadar bisa bertahan hidup. Ongkos dari Malintang saja, sudah Rp7 ribu.
“Lumayan juga menggendong dua bayi, pundak gak tahan lama,” katanya. Apalagi harus jalan kaki, tapi mau apalagi,” katanya.
Uang Rp30 cukuplah sekadar memberi kebutuhan anak. Tiap hari beli susu SGM kecil, Rp15 ribu, pempers biasa isi 6 pc Rp10 ribu, dan susu bayi.
Memang selain ASI (air susu ibu), si kembari juga sudah diberi susu, bahkan sudah dikasih bubur bayi. “Kalau ASI saja tidak cukup. Laki kan congok kali,” kata ibu muda yang mengontrak rumah Rp60 ribu per bulan.
Ika mengatakan dia punya seorang saudara kandung di Medan, tetapi dia sekarang mengurus mamaknya yang yang sudah tua. “Sesekali dikirim, tapi kasihan juga, dia juga enggaklah punya juga. Dia sudah ngurus mamak,”
Sabtu (4-3-2023), sekitar pukul 09.45, saya dan istri memintanya pulang dan istirahat setelah memberi bekal seadanya. Apalagi, kata Ika, luka bekas operasi sesar saat melahirkan masih diperban.
Isak tangis Ika tak terbendung ketika saya menyebut nama saat dia hendak simpan nomor handphone saya di nokianya. “Suami saya kurus, jangkung,” kata sembari menyeka air mata.
Derita Ika, derita kita juga. Siapa tahu ada di antara kita menaruh iba. Ingin berbagi rezeki, dengan senang hati kami menghubungkannnya. Anda bisa hubungi saya di nomor: 0813-7929-7444 (*)
Akhiruddin Matondang