BERBAGI
TUNTUT HENGKANG--Sejumlah elemen masyarakat baru-baru ini melakukan demonstrasi di kawasan PT SMGP menuntut perusahaan ini hengkang dari Madina karena berbagai alasan, (foto: ilustrasi istimewa)

Oleh: AKHIRUDDIN MATONDANG

HARI ini sudah 56 hari pasca kejadian tragedi PT SMGP. Jika persitiwa sebesar kasus di Sibanggor Julu saja polisi lambat menanganinya, bagaimana dengan kasus-kasus lain.

Apalagi yang diharapkan dalam penegakan supremasi hukum di daerah ini. Masyarakat harus bersuara, jika tidak upaya penegakan hukum bisa menjadi “ladang” bagi pihak-pihak tertentu untuk mengeruk keuntungan pribadi atau kelompok.

Lihatlah begitu gamang polisi menangani kasus kematian lima warga Desa Sibanggor, Kecamatan Puncak Sorik Marapi (PSM), Madina yang terjadi  pada, Senin (25/1-2021). Lima nyawa melayang, bukanlah jumlah sedikit. Ini nyawa manusia, bukan binatang. Apalagi masih 50-an masyarakat lainnya harus dirawat di rumah sakit akibat terpapar gas beracun.

Kenapa saya katakan gamang. Sebab hingga saat ini tidak jelas sampai dimana proses pananganan kasus tersebut. Apakah tahap penyelidikan atau penyidikan. Atau jangan-jangan, sekali lagi: jangan-jangan,  polisi sudah keluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP-3).

Pada saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPRD Sumut, Rabu lalu (9/3-2021), Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sumut AKBP Patar Silalahi  mengatakan saat ini kasus di PT SMGP (Sorik Marapi Geothermal Power) masih tahap penyelidikan. Polda masih menunggu hasil koordinasi kepala Subdir Tipiter (Tindakan Pidana Tertentu) dengan bagian inspektorat  Kementerian ESDM (Energi Sumber Daya Mineral) di Jakarta.

Jika hasil koordinasi dengan Kementerian ESDM didapat, baru polisi mengkaji apakah proses penyelidikan dilanjutkan ke penyidikan.

Sementara itu, pada bulan lalu, tepatnya, Rabu (10/2021),  Kepala Bidang Humas Polda Sumut Kombes Hadi Wahyudi menyebutkan penanganan kasus gas beracun di PT SMGP sudah ditingkatkan ke tahap penyidikan.

Bahkan, ia menuturkan penyelidikan sudah dilakukan dan kemudian dilakukan gelar perkara. Berdasarkan hasil gelar perkara itu proses hukum tragedi PT SMGP dinaikkan ke tahap penyidikan.

Dari dua keterangan yang berbeda itu, tanpa sadar Polda Sumut sedang mempertontonkan lelucon penegakan hukum di daerah ini. Sudah lambat menentukan tersangka pada kasus  yang sudah menasional ini, keterangan yang disampaikan pun tidak jelas mana yang betul.

Masyarakat melihat secara nyata polisi seolah “sungkan” menghadapi korporasi yang bergerak pada bidang panas bumi ini. Logika awam saya mengatakan, kalau mau penegakan hukum tanpa pandang bulu, apa sulitnya mencari tersangka.

Bukankah tinggal dicari penyebab kenapa sampai jatuh korban akibat terpapar gas beracun H2S (Hidrogen Sulfida). Siapa yang memerintahkan. Fahrizal Efendi Nasution, anggota DPRD Sumut, menyebutkan sumur gas dibuka atas perintah atasan. Penjelasan hukum pidana sangat tegas, siapa memerintah dia bertanggung jawab.

Sama seperti dokter dan perawat. Perawat tidak bisa diminta pertanggung jawaban secara hukum jika pasien yang ditangani meninggal dunia, tetapi beban tanggung jawab ada pada sang dokter.

Semestinya polisi tidak begitu sulit menetapkan tersangka dari PT SMGP terkait kasus gas beracun. Kalaupun ada perdamaian, biarlah hakim menilai apakah dapat meringankan hukuman atau tidak. Itu sah-sah saja dalam proses hukum di Indonesia.

Hari ini, Minggu (21/3-2021), sudah 56 hari pasca kejadian tragedi di PT SMGP. Masyarakat masih terus menunggu sikap polisi. Dugaan-dugaan miring memang sudah terlanjur menyebar dari mulut ke mulut disebabkan polisi belum mambu menjadikan hukum sebagai panglima dalam dua kali  PT SMGP diterpa kasus.

Setidaknya contoh paling nyata adalah ketika dua santri warga Desa Sibanggor Jae, PSM, Madina tewas di kolam milik PT SMGP. Sampai saat ini tidak jelas proses hukumnya, hilang bak ditelan bumi. Tidak jelas juntrungnya.

Dalam kaitan meninggalnya lima warga Sibanggor pun polisi diduga hendak “bermain-main” dengan cara menawarkan perdamaian terhadap para keluarga korban meninggal serta para korban yang sempat dirawat di rumah sakit akibat keracunan. “Dana damai” dijadikan senjata menaklukkan amarah masyarakat.

Dalam tulisan-tulisan sebelumnya sudah dibahas begitu terang-benderang pernyataan bupati Madina dan pihak PT SMGP bahwa dengan perdamaian tersebut diharapkan semua pihak memahami peristiwa yang terjadi merupakan musibah.

Ini dagelan. Inilah Madina, yang seolah hukum bisa dipermainkan dengan “kerja sama” semua lini. Tampaknya polisi hendak menjadikan kasus PT SMGP sama seperti biasa dilakukan pada kasus kecelakaan lalu lintas.

Jika ada kecelakaan lalu lintas dan kebetulan ada korban meninggal atau luka-luka, sebagian besar proses hukumnya tidak sampai di pengadilan jika pihak yang “salah” berdamai dengan korban. Tentu saja jika sudah terpenuhi syarat dan ketentuan.

Jika tanpa syarat dan ketentuan, tidak mungkin mau polisi mengeluarkan SP-3 atau mempetieskan suatu kasus. Maaf, ini sudah rahasia umum.

Berbagai elemen masyarakat sudah mendesak polisi menetapkan tersangka dalam kasus gas beracun di PT SMGP. Apakah polisi tutup telinga atas suara-suara itu, atau melakukan langkah cepat.

Jika polisi hendak menetapkan tersangka, siapa yang mau ditersangkakan. Siapa yang dikorbankan. Hati kecil saya mengatakan bakal ada upaya-upaya yang dilakukan perusahaan agar para petinggi, penentu kebijakan di PT SMGP selamat dari kasus ini.

Secara berguyon seorang kawan dalam obrolan di grup WhatsApp mengatakan apakah polisi bakal menjadikan H2S “tumbal” atau satpam yang dijadikan tersangka.

Bahkan, ada yang menyebutkan apakah juru masak di sana bakal menjadi tersangka. Bisa jadi petugas yang menangani Wellpad SM-T tidak konsentrasi akibat ia terlambat makan gegara juru masak terlambat menyajikan makan siang.

Obrolan di WhatsApp itu mengilustrasikan begitu dilema polisi dalam menetapkan tersangka dari petinggi PT SMGP. Jika  bukan karena dilema, atau bargaining  tertentu, tak mungkin selambat ini progres penanganannya.

Semestinya dengan waktu hampir dua bulan, BAP (berita acara pemeriksaan) dari polisi sudah pantas diterima kejaksaan, atau bahkan sudah disidangkan di pengadilan. Nyatanya, masyarakat sendiri tidak tahu pasti apakah saat ini masih tahap penyelidikan atau penyidikan.

Di tengah kegalauan masyarakat menunggu tersangka kasus PT SMGP, banyak menduga-duga, apakah kasus pelecehan dan penghinaan Pesantren Musthafawiyah Purba Baru yang gencar dilakukan pemilik akun facebook Rizky Hardiansyah bagian dari pengalihan isu yang dilakoni pihak-pihak tertentu.

Demikian juga peristiwa terbakarnya asrama santri milik pesantren  beralamat di Desa Purba Baru,  Kecamatan Lembah Sorik Marapi (LSM), Madina.

Dugaan tersebut bukan tanpa alasan. Sebab, meskipun berbagai pihak sudah minta polisi menangkap dan memproses secara hukum  pemilik akun Rizky Hardiansyah, toh sampai hari ini mereka belum mampu.

Padahal gubenur Sumut, wakil gubernur Sumut, dan berbagai elemen masyarakat sudah tegas-tegas meminta polisi menangkap sang pemilik akun. Para alumni Musthafawiyah juga sudah melapor ke Polda Sumut.

Pimpinan Musthafawiyah bersama guru-guru pesantren itu pun sudah mendatangi Polres Madina dan bertemu kapolres meminta polisi lebih serius menangani kasus berbau SARA itu, tapi ternyata sampai sekarang polisi belum berhasil mengungkapnya.

Anehnya, kepala Polres Madina malah meminta bantuan masyarakat mengungkap dan menangkap pemilik akun Rizky Hardiansyah. Karena ini menyangkut kejahatan cyber, tentu permohonan kapolres saya anggap lucu. Pokoknya, lucu …

Ada dua alasan utama permintaan kapolres saya anggap lelucon. Pertama, alat penanganan kasus cyber adalah miliki kepolisian. Kedua, kasus ini sangat sensitif sehingga tak menutup kemungkinan jika bertemu sang pemilik akun bisa menimbulkan amarah masyarakat.

Pertanyaannya, adakah keterkaitan kasus PT SMGP dengan pelecehan dan penghinaan Musthafawiyah Purba Baru. Bahasa lugasnya, apakah ulah Rizky Hardiansyah sebagai upaya pengalihan isu kasus PT SMGP.

Saya tidak tahu pasti. Yang jelas, ada sebagian masyarakat berpikiran ke arah sana, tentu mereka punya argumentasi masing-masing.

Jika kita urut logika waktu antara kejadian di PT SMGP dengan munculnya akun Rizky Hardiansyah memang seolah seirama. Media Beritahuta.com, kali pertama memberitakan soal postingan pelecehan dan penghinaan Musthafawiyah tersebut pada Minggu (7/2-2021).

Menurut seorang kawan, postingan Rizky Hardiansyah sebenarnya sudah ada beberapa hari sebelum pemberitaan di Beritahuta.com, bahkan mereka menyebut foto profil pemilik akun itu mereka kenal, yaitu orang Pidoli, Kecamatan Panyabungan, Madina.

Si kawan mengaku sudah menemui orang Pidoli tersebut, namun ia mengelak sebagai pemilik akun Rizky Hardiansyah. Bahkan ia menyebutkan tidak paham android, apalagi sampai mengedit foto.

Lalu, kejadian gas beracun di PT SMGP terjadi pada, Senin (25/1-2021).

Apakah iring-iringan waktu kedua kejadian ini kebetulan saja, atau ada skenario.  Kalau saya ditanya, jawabnya, biar waktu yang menjawab….

Yang jelas penanganan kedua kasus itu belum ada kejelasan…Itu saja. (HABIS)

Penulis: Pemimpin Umum dan Penanggug jawab Beritahuta.com

 

BERBAGI

1 KOMENTAR

  1. Krennnn bahasa yang lugas dan tegas.
    Peran bupatinya harus nyata. Jangan digiring ke perdamaian.
    Buat status quo sebelum ada putusan pengadilan masyarakat menutup operasinal pt. Tersebut

Tinggalkan Balasan ke Indra sakti Nasution Batal balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here