PERSOALAN tambang emas ilegal seakan tak pernah habis dari Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumut. Sedikit reda dari suatu tempat, pindah ketempat lain. Seolah begitulah seterusnya, bak cerita bersambung.
Entah sudah berapa pelaku tambang emas ilegal ditahan polisi. Ada yang diproses secara hukum, bahkan sampai pelaku mendekam dalam jeruji besi. Namun tidak sedikit yang diselesaikan secara “adat” oleh pihak-pihak tertentu. Maaf, ini sudah rahasia umum.
Jika melihat kenyataan selama ini kegiatan tambang emas ilegal sebenarnya tidak bisa disebut usaha menjanjikan dengan berbagai alasan. Ini antara lain disebabkan regulasi yang tak kunjung jelas. Nyawa terancam, dan lingkungan rusak.
Ada–memang–yang menjadi melimpah harta gegara tambang ilegal ini. Ada yang sekadar bisa menyambung hidup, sekadar dapur ngebul, di tengah sulitnya mencari lapangan kerja di Madina.
Tetapi jangan keliru, banyak di antara mereka para pelaku tambang hidupnya “berantakan” karena antara harapan dan kenyataan tak sejalan. Dari sisi keselamatan, penambang harus siap bertaruh dengan nyawa saat menggerus perut bumi.
Bagi pemodal atau cukong kecil-kecilan, banyak di antara mereka bangkrut. Maksud hati ingin meraup emas, justru yang diraih petaka. Tak sedikit menyebabkan keharmonisan rumah tangga berantakan akibat keuangan rumah tangga menjadi morat-marit.
Jangan tanya pula jumlah yang tewas akibat aktivitas pertambangan emas ilegal di Madina, pasti tidak ada data. Ada di antara korban terkubur hidup-hidup oleh timbunan tanah di lokasi tambang.
Tidak tahu juga jumlah orang meninggal, lalu dimakamkan diam-diam para sesama pekerja tambang emas agar informasi kematian itu tidak tercium masyarakat dan aparat penegak hukum.
Sebab jika tercium, tak menutup kemungkinan menjadi sorotan pemerintah maupun elemen masyarakat. Konsekuensinya, bisa kawasan pertambangan tersebut ditutup.
Cerita tambang emas dari Hutabargot dan pantai barat dalam sebulan terakhir sedikit redup. Kini, perburuhan logam mulia di tanah Bumi Gordang Sembilan sepertinya menuju Mandailing Julu, tepatnya di Desa Muara Siambak, Kecamatan Kotanopan, Madina. Lokasinya bernama, Bukit Sibaluang.
Sepekan terakhir di sana terendus riak-riak kecil. Sudah tercium benih-benih potensi konflik sosial. Berembus “aroma” tidak kondusif. Jika pihak-pihak terkait tidak menangani kondisi ini secara serius, hampir dipastikan bakal timbul persoalan.
Saling curiga. Saling klaim, dan merasa lebih berhak mangalubang di titik-titik tertentu di Bukit Sibaluang adalah bagian dari pemicu terjadinya riak-riak tersebut.
Sudah bisa diduga, hal itu terjadi lantaran bukit yang membentang dari timur ke barat diyakini menyimpan biji emas menjanjikan. Bahkan, kadarnya sampai di atas 90 prosen.
Tulisan ini tidak bermaksud menghalangi para penambang—siapa pun mereka– mengais rezeki di Bukit Sibaluang. Tetapi hanya sebagai warming bagi semua pihak, bahwa kondisi di sana saat ini sangatlah tidak nyaman.
Sebagai gambaran saja, ketika media ini melakukan liputan di lokasi, yaitu Bukit Sibaluang, sangat kental adanya intimidasi dari sejumlah lelaki berbadan tegap.
Tidak jelas siapa mereka, tetapi hal seperti ini sangatlah tidak lazim terjadi di desa mana pun di Madina, termasuk di kawasan lokasi tambang emas ilegal Hutabargot maupun pantai barat.
Gerak-gerik jurnalis diawasi, bahkan mengambil gambar saja di sekitar lobang dilarang. Bahkan ketika si wartawan sedang memotret, tiba-tiba si penjaga lokasi lobang galian Bukit Sibaluang memberikan telpon genggamnya kepada wartawan itu. Ia menyebut, seseorang– entah dimana posisinya berada– hendak bicara dengan si wartawan.
Lalu, dari kejauaan si pembicara menyampaikan kepada si wartawan supaya tidak mengambil gambar lokasi tambang tersebut. Ia juga mengintimadasi, dan meminta wartawan meninggalkan lokasi.
Ketika wartawan hendak meninggalkan Bukit Sibaluang, ada seorang lelaki berkaos putih mengikuti dari belakang. Ini mungkin sekadar memastikan jurnalis sudah meninggalkan kawasan bukit.
Lelaki itu pun memotret beberapa kali wajah pengendara sepeda motor yang membawa wartawan ke lokasi. Kejadian itu terjadi di lokasi parkir kendaraan, pas di ujung jalan rabat beton.
Dari arah berlawanan, ada dua lalaki berbadan tegap menanyakan maksud kedatangan wartawan ke lokasi. Pertanyaan itu pun dijawab sang pekerja pers seadanya sembari berjalan menuju perkampungan.
Potensi konflik paling nyata adalah ketika ada pihak-pihak tertentu menghalangi warga setempat melakukan penambangan. Konon ada pemodal turut menjalankan usaha di sana.
Masyarakat menduga sang pemodal mendapat beking dari kesatuan tertentu. Sekadar gambaran lobang pemodal dijamah dari selatan menuju utara. Sedangkan lobang masyarakat, dari utara arah selatan.
“Tensi” meninggi disebabkan diduga lantaran lobang menyerupai terowongan milik pemodal dan lobang milik warga sudah “berpapasan” di perut bumi. Ini menyebabkan, salah satu pihak merasa keberatan.
Tak bisa dibayangkan apa jadinya kalau lobang mirip terowongan tempat mengambil material berupa pasir, kerikil, batu dan sejenisnya saling “bertabrakan” atau bertemu dari arah selatan dan dan utara.
Jika di antara pihak saling memahami mereka sedang mengais rezeki atau mengadu keberuntungan, tentu tidak ada persoalan. Ini tidak, “perang” dingin sudah meletup-letup lantaran dalam diri mereka sudah berkecamuk keserakahan, sebab ada ambisi menjadi miliader dari Bukit Sibaluang.
Kondisi di Bukit Sibaluang dan Muara Siambak terasa makin tak nyaman lagi lantaran ada dugaan pihak-pihak tertentu melakukan intimidasi.
Warga yang tak mau disebut namanya menceritakan belum lama ini ada pihak-pihak tertentu menjemut seorang warga di rumahnya pada dini hari terkat aktivitas tambang. Mengerikan, seorang warga Kotanopan menyebutkan, “Saat ini disanasudah seperti zaman pemberontakan PKI,” katanya.
Sebenarnya warga hanya ingin mengais rezeki dari aktivitas tambang emas ini agar bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga di saat harga karet tak kunjung membaik.
Bahkan belakangan, bukan hanya soal harga karet tak bersahabat, mangguris saja pun sudah tak bisa karena musim hujan. Ketika dapur harus berasap, saat anak-anak perlu biaya sekolah, dan kebutuhan sehari-hari tidak bisa ditawar-tawar, tidak menutup kemungkinan rasa takut warga disingkirkan.
Bisa jadi mereka tak peduli lagi siapa yang menghalangi. Ini seolah menjadi bom waktu ketika aparat terkait dan pihak pemkab setempat tidak cepat bertindak.
Kita tidak ingin ada konflik, juga tak ingin ada korban. Berhentilah melakukan intimadasi, siapa pun anda. Jika konflik sudah terpatik, “api” sudah korban, bisa semua menjadi kehilangan rezeki. Potensi konflik itu bukan pepesan kosong, apalagi lokasi Bukit Sibaluang dengan permikiman penduduk tak begitu jauh.
Jika ini terjadi, semua merugi. Karena itu, perlu regulasi yang mengatur pertambangan rakyat supaya suasana di sana kondusif tetap terjaga.
Jangan sampai konflik terjadi, lalu lokasi pertambangan Bukit Sibaluang ditutup. Jika ini terjadi, baru semua sadar sesungguhnya rezeki yang dalam pekan-pekan terakhir mereka raih sangatlah berarti. Tamak dan serakah ternyata tiada guna.
Penulis: Akhiruddin Matondang (Wartawan Utama dan Pemimpin Redaksi Beritahuta)