AKSI penutupan jalinsum (jalan lintas Sumatera) oleh sekelompok warga Desa Hutapuli, Kecamatan Siabu, Sumut hanya satu letupan kecil dari kekecewaan masyarakat atas pengelolaan dana desa (selanjutnya disebut: DD).
Saya yakin semua desa ribut soal DD. Bagaimana tidak? Coba kita banyangkan, ada kepala desa tidak punya pekerjaan tetap, tapi bisa beli rumah dan mobil. Makin menimbulkan curiga sebab disimpan di desa lain. Mereka bisa mengkuliahkan anak, hidup bergaya dengan motor baru, dan lain sebagainya. Tentu saja masyarakat bisa berhitung.

Belum lagi soal dugan mark-up. Bayangkan, biaya rabat beton per meter bisa mencapai Rp1,5 juta. Padahal biaya jalan hotmix saja hanya Rp1 juta per meter. Jalan onderlaag hanya Rp500 ribu per meter. Mereka kira semua penduduk sama dungunya.
Mengenai hal itu, kepala desa selalu beralasan disebabkan satuan harga kecamatan. Saya jadi curiga, jangan-jangan memang pendamping kecamatan ikut bermain dalam melegalkan mark-up tersebut.
Rasa curiga saya makin menguat ketika pendamping kecamatan begitu semangat membela kasus-kasus DD yang mencederai rasa keadilan sosial masyarakat. Tentu “dibalut” dengan narasi-narasi, misalnya, menyebutkan sesuai ketentuan hukum, juknis, satuan harga kabupaten, dan seterusnya.
Masyarakat tidak peduli satuan-satuan itu. Yang mereka lihat sederhana: berapa kubik pasir digunakan, berapa zak semen dipakai dalam satu meter, dan berapa upah. Mereka hitung.
Masyarakat, biar pun sekolah tidak tinggi amat, mereka terampil menghitung angka-angka begituan. Karena mereka juga pernah berurusan dengan bangunan.
Soal BLT misalnya. Rakyat bisa melihat siapa yang betul-betul miskin karena setiap hari mereka ada di tengah masyarakat. Apa susahnya pemerintah desa mengundang semua masyarakat dalam penetapan penerima. Diurut berdasarkan orang paling sampai seterusnya.
Biarkan masyarakat menentukan siapa saja yang dapat berdasarkan kuota. Masa ada warga miskin BLT tidak dapat hanya karena ia tidak punya KTP. Bagaimana ia mau punya KTP dan KK (kartu keluarga) kalau ongkos mengurus itu ia tidak punya.
Belum lagi membayangkan berhadapan dengan PNS berseragam yang arogan, dengan ketentuan kelengkapan adiminstrasi yang harus ia penuhi, dan lain sebagainya. Apa salahnya diurus oleh kepala desa jika itu memang menjadi prasyarat.
Lagi pula, hukum tata negara saya kira tidak sekaku itu. Masa hanya karena tak punya KK dan KTP lalu dianggap bukan penduduk kampung sendiri. Padahal ketika mereka hajatan kepala desa juga hadir. Giliran bagi bantuan dianggap tidak penduduk desa. Tega kan?
Itu diperburuk lagi dengan sikap kepala desa yang tidak transparan terhadap penggunaan anggaran, mengabaikan substansi musyawarah desa, muncul program-program yang di luar keputusan musyawarah desa, tidak pernah melaporkan penggunaan DD di akhir tahun anggaran, pagi pergi pulang tengah malam, dan arogan menerima kritikan, merasa kebal hukum.
Ketika semua tempat mengadu mentok, akhirnya yang muncul parlemen jalanan. Selama kepolisian dan kejaksaan tidak respek atas keadaan ini, akan lebih buruk lagi distorsi sosial yang akan terjadi.
Pada akhirnya, itu menjadi bom waktu. Setidaknya membuat kepercayaan terhadap pemerintah makin jeblok. Bayangkan, apa jadinya ketika rakyat tidak percaya lagi kepada pemerintah. Anda bisa lihat, pakai masker saja orang tak mau, karena mereka tidak percaya kepada pemerintah. Masa harus ada yang mati atau bakar-bakaran, baru negara hadir!
Penulis: Askolani (budayawan tinggal di Mandailing Natal, Sumut)