BERITAHUta.com—Banyak anak berhenti sekolah meskipun orangtuanya tergolong mampu, adik-adik Ummi Roiyah (18), sampai sekarang masih bertahan melanjutkan pendidikan di tengah ketidakpastian keuangan keluarga.
“Saya tidak tahu sampai kapan mereka bisa bertahan melanjutkan sekolah. Semoga kami diberi kemudahan,” kata Ummi ketika disinggung soal sekolah adik-adiknya.
Ketika ditemui di rumahnya, Desa Hutarimbaru, Kecamatan Panyabungan Timur, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumut, Rabu sore (12/9-2018), Ummi berharap adik-adiknya tetap bisa sekolah meskipun untuk makan saja terkadang tidak pasti.
“Dua bulan ini terbantu dengan peninggalan ibu, dan hasil sawah waktu ayah belum ditahan. Sekarang sawah dan kebun sudah tidak digarap, dan entah sudah siapa punya,” sebut Ummi.
Ummi lulus dari SMA Gunung Baringin, Kecamatan Panyabungan Timur, Madina tahun 2018 ini—sebelumnya pernah sekolah di SMA Negeri 1 Panyabungan.
Begitu tamat SMA, ia sempat kerja sebagai penjaga toko di Pasar Baru, Panyabungan. Karena harus mengurus adik-adiknya setelah ditinggal kedua orangtua, akhirnya diputuskan berhenti agar lebih fokus mengurus adik-adiknya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Ummi terpaksa “berjibaku” mengurus 11 adiknya setelah sang ibu, Sangkot Lubis (37) meninggal dunia seminggu setelah melahirkan bayi kembar. Sementara, ayahnya: Ali Mandan Dalimunte (40), masuk penjara sekitar empat bulan lalu karena tersangkut kasus narkoba.
Dari perkawinan Ali Mandan dan Sangkot mereka dikarunia 14 anak, satu di antaranya sudah meninggal. Sedangkan 13 lainnya adalah Amansyah (19), Ummi Roiyah (18), Sofwatul Mardiyah (kelas dua SMK Negeri 2 Panyabungan), Marwah (kelas dua SMP Negeri Gunung Baringin), Al Farizi (kelas satu SMP Negeri Gunung Baringin).
Lalu, Musyadi (kelas lima SD Negeri Hitarimbaru), Habibullah (kelas empat SD Negeri Hutarimbaru), Wahyu (kelas dua SD Negeri Hutarimbaru), Halif (Tk), Sadli (3 tahun), Ramlan (1,5 tahun), dan si kembar: Rahmat Yusuf serta Maulana Yusuf (2 bulan).
Amansyah lulus dari SMA Negeri Tanobato, Panyabungan Selatan, Madina tahun 2017. Sesekali ia ikut kuli kerja bangunan di desa itu agar bisa membantu keperluan adik-adiknya. “Kalau pas lagi ada kerja bangun beton rabat, ikut kerja dengan orang,” ujar Ummi.
Rumah keluarga Ali Mandan berada di ujung Desa Hutarimbaru. Desa ini berjarak sekitar 3 km dari jalan provinsi Desa Gunung Baringin.
Jika dilihat lokasi sekolah adik-adik Ummi, jelas tiap hari mereka butuh biaya transportasi dan uang jajan. Pertama, Sofwatul Mardiah, ia tercatat sebagai pelajar kelas dua SMK Negeri 2 Panyabungan.
Untuk sampai ke sekolah yang berlokasi di Kelurahan Panyabungan 3, Panyabungan, itu Sofwatul harus berangkat sekitar pukul 5.30, dan biasanya baru tiba kembali di rumah sore, pukul 16.00-an. Bahkan bisa lebih lama jika pas sulit dapat angkot.
Jarak rumah ke sekolah sekitar 8 km dengan kondisi jalan rusak dan berkelok. Untuk ongkos angkot, setidaknya Sofwatul harus punya 10 ribu, ditambah jajan atau makan siang di sekolah.
Kedua, Marwah dan Al Farizi sekolah di SMP Negeri Gunung Baringin, berjarak sekitar 3,5 km dari rumah. Kedua pelajar ini berangkat dan pulang sekolah pakai sepeda motor yang dulu biasa dipakai Ali Mandan ke kebun. Jadi keduanya hanya butuh beli bensin dan jajan.
Ketiga, Musyadi, Habibullah dan Wahyu sekolah. Mereka sekolah di Desa Hutarimbaru. Kalau pas uang sedang ada, mereka diberi uang jajan. “Kalau uangnya lagi kosong, mau kasih apa,” ujar Ummi.
Keempat, Halif. Ia baru sekolah di tingkat Tk (taman kanak-kanak). “Kami bersyukur saudara dari ayah dan ibu mau berbagai dengan kami sesuai batas kemampuan mereka,” sebut Ummi.
Ketika disinggung mengenai bantuan desa untuk keluarga ini pasca meninggalnya Sangkot, Ummi menyebutkan belum pernah. “Kami bersyukur adik-adik jarang sakit, jadi tidak terlalu sulit mengurusnya,” kata Ummi.
Warga Hutarimbaru yang sempat ditemui beritahuta.com mengaku sangat prihatin melihat kondisi keluarga Ali Mandan. Namun mereka juga tidak bisa berbuat banyak di saat kondisi harga karet yang sangat murah, hanya 7000/kg. Naik sedikit dibanding pekan lalu. “Kami juga kasihan melihat anak-anak itu, tapi mau bilang apa. Sekarang lagi zaman sulit,” kata Rohaya, warga desa setempat.
Almarhumah Sangkot berasal dari Desa Parmompang, Panyabungan Timur, Madina. Sementara Ali Mandan berasal Tanotiris, Siabu, Madina. Pasangan ini sudah tinggal di Hutarimbaru sejak mereka menikah.
Sekarang Ali Mandan mendekam di lembaga pemasyarakatan (LP) Padang Bolak, Padang Lawas Utara, Sumut. Informasinya, pengadilan memvonis 10 tahun penjara.
Sangkot meninggal seminggu setelah melahirkan anak kembar di RSUD Panyabungan. Proses persalinan bayi kembari ini dilakukan melalui operasi caesar (seksio cesarea) dan kedua operasi mengangkat rahim (histerektomi).
Ketika disinggung siapa yang memberi si kembar nama, “Saya yang memberi nama,” kata Ummi.
Sebelum Sangkot meninggal, almarhumah berpesan agar Ummi memberikan nama terhadap kedua anak itu.Maka, jadilah: Rahmat Maulana dan Yusuf Maulana. (tim-01)