BERITAHUta.com—Akademisi Universitas Sumatera Utara (USU) Medan Dr. Zulkifli B. Lubis memaklumi adanya protes generasi Mandailing tentang pernyataan Presiden Joko Widodo mengenai “Batak Mandailing. Sebab, orang mandailinglah yang berhak menentukan identitasnya.
Hal itu dikatakan dosen Antropologi USU tersebut menanggapi protes yang dilakukan sejumlah warga Mandailiing di sekitar Istana Presiden dan kawasan Monumen Nasional (Manas), Jakarta, pada Selasa (19/3).
Ia berharap semua pihak menghargai adanya perbedaan identitas etnik, termasuk Mandailing bukan batak. “Jadi sangat wajar kalau ada penolakan. Wajar ada protes,” kata Zulkifli B. Nasution kepada Beritahuta.com, Rabu sore (20/3).
Menurutnya, semua pihak mestinya menghargai, menghormati dan mengakui perbedaan identitas etnik, termasuk ketika orang Mandailing menyebut dirinya Mandailing, bukan Batak Mandailing.
“Penghargaan, penghormatan dan pengakuan itu sejalan dengan esensi pengakuan kemajemukan sebagaimana terkandung dalam ungkapan Bhinneka Tunggal Ika,” katanya.
Pelabelan ini, kata dia, sepatutnya tidak perlu muncul lagi karena sudah pernah diselesaikan. Bahkan secara hukum tidak perlu diperdebatkan lagi. Sebab pada masa kolonial (tahun 1920-an), ketika terjadi pertikaian Mandailing versus Batak di Medan sudah ditegaskan Mandailing adalah Mandailing.
“Arus utama penjelasan akademik, khususnya dari perspektif antropologi tentang identitas suatu suku bangsa atau etnik adalah didasarkan kepada emic view, yaitu bagaimana suku bangsa atau kelompok etnik itu mendefinisikan dirinya, bukan definisi yang disematkan orang lain,” jelas Zulkifli B. Nasution.
Dalam konteks Mandailing, lanjutnya, maka orang Mandailing sendirilah yang lebih tepat dan absah menentukan identitas etniknya. Karena itu, sangat bisa dimaklumi mengapa muncul penolakan dari generasi muda Mandailing khususnya terhadap sebutan Batak Mandailing yang digunakan oleh pihak lain.
Dengan adanya penolakan penyebutan Batak Mandailing, menjadi bukti bahwa bagi generasi muda Mandailing persoalan identitas sangat sensitif. “Artinya bagi yang paham sejarah, hal ini bukanlah masalah sepele,” katanya.
Seperti diberitakan, sejumlah pemuda Mandailing menyampaikan protes atas pernyataan Presiden Joko Widodo karena dalam akun resmi facebook– nya ia menyebutkan “Batak Mandailing”.
Sejumlah warga Mandailing yang ada di Jakarta melakukan aksi pemasangan spanduk panjang bertuliskan, “Tuan Presiden, Mandailing Bukan Batak” di sekitar Istana Presiden dan lapangan monas.
“Kami ingin menegaskan kepada dunia berdasarkan sejarah Mandailing adalah suku yang mandiri dan tidak ada sangkut-pautnya dengan batak. Kami protes keras pernyataan presiden melalui halaman facebook-nya. Tidak pernah ada istilah “Batak Mandailing”, yang benar adalah Mandailing, tanpa embel-embel suku apa pun,” ujar Khoirur Rijal Nasution, koordinator aksi.
Alumni Universitas Bung Karno Jakarta ini meminta presiden hati-hati dalam pengelolaan akun resmi pemerintah. Apalagi menyangkut keberadaan suku-suku yang ada di Sumut dengan label batak.
Ungkapan protes tersebut berawal dari pernyataan Jokowi melalaui akun resmi facebook-nya diposting pada Minggu (17/3-2019), pukul 09.17, saat ia melakukan kunjungan kerja di beberapa tempat di Sumut.
Berikut postingan Jokowi melalui fb tersebut, “Saya dan ibu negara menghadiri pagelaran budaya lintas etnis Provinsi Sumatera Utara di Stadion Teladan, Kota Medan, Sabtu kemarin. Kami mengenakan pakaian adat Melayu.
Sumatera Utara ini miniaturnya Indonesia. Di dalamnya ada berbagai suku, dari Batak Karo, Batak Mandailing, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Toba, Melayu, Nias, hingga etnis India dan Tionghoa. Agamanya pun berbeda-beda: Islam, Katolik, Hindu,Budha, dan Konghucu.
Meski begitu majemuk, dalam sejarahnya tak ada perpecahan mau pun pertikaian di Sumatra karena perbedaan itu,
Horas, majuah-juah. Juah-juah. Ya ahowu.”
Selain redaksional di atas, Jokowi juga menyertakan sebuah foto sedang di atas panggung mengenakan pakaian adat melayu sembari menyalami sejumlah massa. (*)
Peliput: tim
Editor: Akhir Matondang