
PANYABUNGAN, BERITAHUta.com—Tindakan kesewenang-wenangan yang diduga dilakukan kepala BKPSDM dan kepala Dinas Pendidikan Mandailing Natal (Madina), Sumut dalam memberikan nilai SKTT makin menguatkan dugaan mereka punya kepentingan meluluskan atau tidak meluluskan peserta seleksi penerimaan PPPK di lingkungan pemkab setempat.
Karena itu jika ingin persoalan ini terang benderang dan tak menjadi catatan buruk terhadap kinerja bupati Madina, tidak ada pilihan lain kecuali meminta pertanggung jawaban kedua pejabat tersebut secara hukum.
“Menurut saya bupati tidak bisa tinggal diam, seolah tak ada masalah. Padahal mata semua orang sedang tertuju terhadap daerah ini. Apa kita tidak malu,” kata Irwan Daulay, pemerhati pendidikan Sumut, kepada Beritahuta.com pada, Selasa (26/12/2023) malam.
Dia menyebutkan demi keadilan hendaknya tidak ada upaya siapapun melindungi pihak-pihak yang melakukan tindakan kesewenang-wenangan yang diduga dilakukan Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Madina Abdul Hamid serta Kepala Dinas Pendidikan Madina Dollar Hafriyanto.
Sebab itu, Irwan Daulay yang juga mantan dosen Unimed, berpendapat ada lima cara menyelesaikan masalah rekruitmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) di Madina.
Pertama, bupati atau walikota yang daerahnya mengalami kasus serupa dengan Madina melayangkan surat kepada Kementerianpan RB atau Mendikbudristek supaya hasil ujian SKTT (Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan) dibatalkan. Karena jenis ujian ini opsional dan boleh tidak diselenggarakan.
Kedua, penilaian sebagai dasar kelulusan cukup menggunakan hasil ujian CAT yang dilaksanakan BKN (Badan Kepegawaian Negara). Selain tidak menyalahi Permendikbudristek, juga sangat logis. Sebab semua peserta seleksi masuk PPPK sudah tahu kemampuan masing-masing secara obyektif dan transparan. Sebagai perbandingan, coba lihat proses seleksi di Dinas Kesehatan dan formasi teknis terasa adem ayem karena tidak ada SKTT, murni hasil CAT.
“Kisruh itu bermula karena pejabat di dua satuan kerja (satker) itu seolah bertindak semaunya,” kata Irwan Daulay yang juga seorang pengembang.
Pertanyaannya, kata dia, bagaimana mungkin kedua pejabat dapat obyektif menilai 10 kompetensi profesi guru tanpa melibatkan kepala sekolah atau pejabat penilai yang selama ini lebih mengenal guru. Sungguh tidak fair jika mereka beralasan sudah melakukan penilaian sesuai deskripsi yang tersedia di laman penilaian yang diberikan oleh kementerian secara online.
Padahal tujuan SKTT digelar agar guru-guru berprestasi dapat menambah poin penilaian dari kinerja profesi mereka selama ini. Ini malah buntung dan diduga SKTT dijadikan celah mendongkrak nilai guru-guru yang ‘disukai dan mengkanvaskan guru-guru yang ‘tidak diharapkan.
Selanjutnya ketiga, bupati/walikota meminta Mendikbudristek menurunkan Irjen (Inspektorat Jenderal) di lembaga ini melakukan investigasi mengenai tata cara penilaian SKTT yang dilakukan BKPSDM dan Dinas Pendidikan, apakah sudah benar-benar dilaksanakan sesuai maksud diadakan ujian tersebut yaitu menambah nilai bagi guru-guru sebagaimana 10 kompetensi profesi yang dijadikan standar penilaian.
Jika bupati atau walikota benar-benar serius mengatasi kekisruhan ini semestinya solusi ini perlu dilaksanakan segera.
Keempat, para peserta yang merasa dirugikan juga bisa melayangkan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk mendapatkan keadilan.
Terakhir atau kelima: para peserta yang merasa dirugikan dapat melaporkan tindakan ketidak adilan yang mereka rasakan ke bagian pidana umum (pidum) Polda dan pidana khusus (pidsus) KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di Jakarta.
“Ini menurut saya sebagai solusi agar polemik ini tuntas, tidak saling tuding atau saling fitnah. Proses secara hukum, itu lebih baik,” kata mantan staf khusus bupati Madina.
Seperti diberitakan media ini, hasil penilain SKTT yang dilakukan Abdul Hamid dan Dollar Hafriyanto terhadap peserta tes masuk PPPK diduga bermuatan kepentingan. Pasalnya mereka dipastikan tidak paham perilaku para guru.
“Bagaimana mereka memberikan nilai SKTT. Lucu kan. Kepala sekolah yang lebih paham perilaku seorang guru,” kata Rizal Efendi Lubis kepada Beritahuta.com, Minggu (24/12/2023) malam.
Sebab itu, ia menyebutkan penilaian yang dilakukan kedua pejabat tidaklah mencerminkan keadilan, apalagi ada peserta seleksi yang baru tiga sampai enam bulan menjadi tenaga honorer, tetapi dinyatakan lulus PPPK. (*)
Editor: Akhir Matondang