PENEGAKAN hukum di Mandailing Natal (Madina), Sumut di era Kapolres AKBP H.M. Reza Chairul banyak tak jelas. Ada kesan, waktu kapolres habis tersita dalam rangka pencitraan dan mengikuti acara seremonial di pemkab setempat.
Dimana ada acara bupati atau wakil bupati, hampir dipastikan kapolres hadir di tempat itu. Berbeda dengan unsur Muspida (musyawarah pimpinan daerah) lainnya, yakni: kajari, dandim, ketua PN (Pengadilan Negeri) dan ketua PA (Pengadilan Agama). Mereka biasanya ikut acara serimonial pemkab hanya pada kegiatan-kegiatan tertentu.
Jika Polres Madina punya program ‘Curhat Jumat’, maka kali ini saya juga ingin menyampaikan curahan hati atau unek-unek. Tidaklah perlu anggota polres datang ke lopo-lopo, masjid, atau tempat lain menemui saya, cukup saya sampaikan melalui tulisan di media ini.
Pak kapolres, banyak suara-suara di tengah masyarakat menyebutkan seolah kapolres lupa terhadap tugas dan tanggung jawab dalam penegakan hukum di Madina. Alhasil penyelesaian berbagai kasus terkesan lambat. Aksi main hakim dipicu masalah narkoba di Pidoli Lombang, Panyabungan, Madina menjadi contoh warga mulai krisis kepercayaan terhadap penegakan hukum di daerah ini.
Lihatlah laporan penganiayaan terhadap dua bersaudara, adik dan abang: Sahrul Efendi (24) dan Muhammad Ikbal (28). Meskipun sudah dua bulan, sampai pekan ini, pelaku masih berkeliaran. Bebas berlalu-lalang kemana dia mau, kemana dia suka, seolah tak berdosa telah menyebabkan anak orang nyaris tewas.
Ini berbeda dengan kasus dugaan penyiraman air keras yang terjadi di Kecamatan Bukit Malintang, Madina. Hanya berselang beberapa hari, pelaku berhasil ditangkap. Kapolres terlihat sangat serius menangani perkara ini lantaran viral di media sosial, bahkan ia sempat menjenguk korban di rumah sakit.
Apakah syarat suatu kasus cepat ditangani Polres Madina harus terlebih dulu viral. Ini perlu dipertanyakan, sebab peristiwa pengeroyokan yang diduga dilakukan warga Dusun Lubuk Sibegu, Kelurahan Dalan Lidang, Kecamatan Panyabungan, Madina terhadap Sahrul dan Ikbal, bisa jadi lebih serius jika dibanding kasus pertikaian suami istri di Bukit Malintang tersebut, tapi kenapa sampai saat ini tak jelas penanganannya.
Apakah kapolres memang betul menganggap kasus ini sepele. Pertanyaan ini perlu disampaikan sebab berselang beberapa saat setelah kejadian, kapolres sendiri yang meminta kepada kepala Polsek Panyabungan supaya kejadian ini tidak perlu dibuatkan laporan polisi (LP).
Kepada Beritahuta kapolres menyebutkan kejadian pengeroyokan terhadap Sahrul dan Ikbal tidak perlu ada LP, cukup diselesaikan secara damai alias kekeluargaan. Alasan kapolres, kejadian tersebut hanya Tipiring (tindak pidana ringan).
Kapolres menyebutkan kalau LP sudah dibuat, Polda Sumut bakal tahu kondisi keamanan dan ketertiban (Kamtibmas) di Madina tidak kondusif karena LP tersebut sistem online. Untunglah, saat permintan itu disampaikan kapolres melalui kapolsek Panyabungan, LP atas nama korban Sahrul sudah terlanjur di-enter oleh polisi yang menerima laporan sehingga tidak bisa di-cansel lagi.
Karena sudah ada perintah kapolres tidak perlu dibuat LP, maka LP pengeroyokan terhadap Ikbal yang dilakukan puluhan orang, urung dilakukan pada malam kejadian, Selasa (28-3-2023).
Setelah foto-foto luka dialami Ikbal dikirim kepada kapolres melalui WhatsApp sehari setelah kejadian, barulah dia mempersilakan pihak korban membuatkan LP di Mapolres Madina. Petugas penerima pengaduan masyarakat (Dumas) di polres pun akhirnya mau menerima laporan keluarga Ikbal.
Dalam hal ini ada dua kemungkinan. Apakah kapolsek Panyabungan takut dianggap ia lalai menjaga kamtibmas di wilayah tugasnya, atau justru kapolres sengaja ingin menutup-nutupi setiap aksi kriminal serta gangguan keamanan di Madina.
Jika hal itu betul, bisa jadi kapolres tidak ingin mendapat penilaian negatif dari pejabat Polda Sumut dan Mabes Polri. Ini tentu ada kaitan dengan kariernya di kepolisian.
Padahal tidaklah betul kasus pengeroyokan dialami Ikbal hanya Tipiring. Jika saja Sahrul dan beberapa kawannya tidak cepat tiba di TKP, Dusun Lubuk Sibegu, entah bagaimana nasib Ikbal yang kala itu sudah bersimbah darah tersungkur di siring. Di sisi lain, kasus ini berpotensi menyulut pertikaian antar kampung.
Ikbal dipukul puluhan orang secara membabi-buta pakai tangan, kaki, batu dan kayu. Itulah sebabnya dia sempat menjalani operasi di RSUD Panyabungan akibat luka dialami cukup serius, terutama pada bagian kepala dan muka.
Melalui tulisan bersambung “Curhat Jumat” ini, diharapkan kapolres perlu tahu secara detail kejadian sesungguhnya. Termasuk bagaimana asal-muasal aksi pengeroyokan dilakukan sejumlah warga terhadap Sahrul dan Ikbal agar tidak menganggap masalah ini sepele. Tidak menganggap Tipiring. Kejadian ini dipicu peristiwa pada tahun 2016 lalu, dan putusan pengadilan sudah dilalui oleh Sahrul.
Dengan curahan hati ini diharapkan kapolres dapat menentukan kebijakan menyikapi LP yang sudah dibuat pihak korban. Tujuannya tak lain, dalam rangka penegakan hukum. Indonesia negara hukum, jika memang seseorang melakukan kesalahan, harus mendapat hukuman. Jangan karena alasan tertentu, lantas suatu kasus yang sudah dibuatkan LP, malah di-petieskan.
Jika kapolres tutup mata terhadap kasus ini, sama saja sedang memelihara aksi hukum rimba di Madina, seperti peristiwa Pidoli Lombang…(Bersambung)
Akhiruddin Matondang