MUTASI pejabat eselon dua dan tiga yang dilakukan Pemkab Mandailing Natal (Madina), Sumut pada, Rabu (19/10-2022), semestinya menjadi momentum penataan birokrasi di daerah ini.
Suatu awal terwujudnya meritokrasi, seperti dijanjikan H.M. Jafar Sukhairi Nasution dan Atika Azmi Utammi (SUKA) saat penyampaikan visi misi yang diadakan KPU Madina pada Pilkada 2019 lalu.
Namun harapan itu tampaknya baru sebatas impian. Baru sekadar pemanis kata-kata. Berkaca dari beberapa kali mutasi, termasuk melihat personil kabinet yang baru dilantik, rasanya masih pesimis mereka mampu membawa perubahan secara siginifikan terhadap kinerja bidang pemerintahan dan pembangunan di daerah ini.
Hal itu antara lain karena pejabat yang dilantik tersebut diduga bukan hasil pertimbangan Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan). Jangan-jangan mereka tidak pernah rapat untuk menganalisa pengangakatan dan pemberhentikan ASN pada jabatan tertentu.
Ini diperburuk sebagian di antara mereka yang dilantik “harus” merangkap sebagai pelaksana tugas (Plt) di OPD (Organisasi Perangkat Daerah) lain. Memang, tak ada larangan bagi seseorang untuk mendapat tugas tambahan sebagai Plt, tetapi harus melihat berbagai faktor, antara lain kepatutan dan efektivitas.
Meriktokrasi. Itu baru sebatas di bibir dan masih menjadi “PR” bagi SUKA. Dari tiga atau empat kali kali mutasi di era kepemimpinan mereka, belum terlihat jelas dasar penilaian pengangkatan seseorang untuk dapat memimpin suatu OPD.
Secara umum meritokrasi artinya suatu sistem yang menekankan kepada kemampuan seseorang menduduki posisi atau jabatan tertentu. Tanpa memandang latar belakang etnik, koneksi, status sosial dan lainnya. Murni berdasarkan kompetensi.
Mutasi Rabu lalu memunculkan berbagai pertanyaan. Herman Gafar, ditarik dari jabatan Asisten II (Perekonomian dan Pembangunan). Dengan demikian, ia kembali pada jabatan lama (definitf): kepala Bagian Administrasi Pembangunan Setdakab.
Anehnya, lepas dari Asisten II, ia lantas mendapat tugas tambahan sebagai Plt kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker). Tentu saja ini menimbulkan paraduga bermacam-macam, bahkan ada yang menyebutkan suatu bentuk KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Terlepas dari dugaan itu, tanpa bermaksud meragukan kemampuan SDM (sumber daya manusia) Herman Gafar, sulit baginya mampu kerja maksimal menangani persoalan ketenakerjaan di daerah ini yang kian kompleks di tengah angka pengangguran makin menjulang.
Secara administrasi, juga banyak pihak mempertanyakan karena ada dugaan Herman Gafar tidak lulus saat ikut Diklatpim III. Ketika ia ditetapkan sebagai Plt Asisten II, sebenarnya banyak pihak memperbincangkan masalah ini, namun mereka memaklumi.
Saat itu dianggap darurat setelah jabatan Asisten II ditinggal dr. Ismail Lubis yang pindah ke Pemprovsu. Bupati pun diyakini masih sedang membidik figur-figur yang pantas duduk di kabinetnya agar pencapaian visi dan misi berjalan sesuai harapan.
Oke, kita anggap penunjukkan Herman Gafar sebagai kepala Bagian Adminstrasi Pembangun tidak menyalahi aturan, tapi pengangkatannya sebagai Plt kepala Disnaker serasa kurang pas.
Seperti disebutkan, bukan soal kemampuannya, namun efektivitas kerja dan kepatutan. Secara norma dan etika birokrasi pun tidak etis, sebab dia menjabat dua OPD.
Kalau Herman Gafar pejabat defintif di Disnaker, baik sebagai kepala dinas, sekretaris, kepala bidang atau lainnya, lalu dia Plt kepala Bagian Administrasi Pembangunan Setdakab, ini masih logis. Menjabat di dua OPD yang berbeda tempat, pasti kerja tidak efektif. Apalagi pangkatnya baru III-D.
Kasus rangkap jabatan lintas OPD seperti dialami Herman Gafar juga ada di beberapa OPD lain di Madina, seperti BKD (Badan Kepegawaian Daerah). Lagi-lagi bukan soal ketidakmampuan, juga bukan urusan person to person, tapi terkait efektivitas serta norma birokrasi. Apalagi masih banyak ASN berkompeten yang menganggur, hanya karena bukan bagian dari “kelompok” lalu tidak menjadi pilihan kepala daerah.
Sekretaris BKD Yas Adu Zakirin, juga merangkap sebagai Plt kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD). Lalu, Kepala Bidang Mutasi BKD Abdul Hamid, yang merangkap sebagai Plt kepala BKD.
Ini sangat amburadul. Selain soal efektivitas kerja, etika birokrasi juga dikesampingkan. Tidak elok, bahkan terkesan acak-acakan. Harusnya ditata agar jabatan seseorang lebih bermawah.
Jika memang tidak ada lagi aparatur yang dianggap mampu, kenapa Yas Adu Zakirin tidak dimutasi sebagai sekretaris BPKAD, sehingga ia merangkap Plt di instansi serupa.
Demikian juga Hamid. Ia dimutasi sebagai sekretaris BKD, merangkap Plt kepala BKD. Jadi mereka menduduki jabatan definitif dan Plt dalam satu OPD.
Penempatan Dollar Hafrianto, sebagai Penjabat (Pj) sekretaris Dinas Pendidikan dan merangkap Plt kepala Dinas Pendidikan sudah pas. Meskipun dari segi pangkat masih kurang karena baru III-D, namun dalam waktu dekat ia mungkin sudah IV-A.
Setelah itu, ia ikut lelang pejabat eselon dua yang menurut rencana diadakan pada Nopember 2022 ini setelah lelang jabatan sekretaris daerah kabupaten (Sekdakab).
Demikian juga Martua. Ia definitif sebagai sekretaris Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Koperasi dan UKM), sekarang merangkap Plt kepala Dinas Komunikasi dan Informasi (Kominfo).
Lalu, dr. Mhd. Faisal Situmorang, yang baru dilantik sebagai Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, merangkap Plt kepala Dinas Kesehatan.
Terkait Hamid, jika dia diproyeksikan menjabat kepala BKD definitif, memang bisa dipaksakan. Tetapi jenjang kariernya masih tergolong seumur jagung.
Trade record-nya belum banyak, baru sebagai kepala seksi dan menjabat kepala bidang– eselon III-A—beberapa bulan. Ia ikut pada pelantikan gelombang pertama di pemerintahan era SUKA.
Padahal BKD merupakan garda terdepan dalam penegakan penataan kepegawaian. Mampu melakukan penataan, sehingga kata “meritokrasi” tidak sekadar penghias lisan. (BERSAMBUNG)
Akhiruddin Matondang (Pemimpin Redaksi/Penanggungjawab Beritahuta)