HARAP-harap cemas. Itulah perasaan sebagian besar para Bacaleg (bakal calon legislatif) di negeri ini menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sistem yang bakal diterapkan pada Pemilu 2024, yakni: proporsional tertutup atau terbuka. Bahkan, sebagian besar Bacaleg dari partai politik (parpol) pendukung sistem tertutup pun, ikut was-was.
Kalaupun ada Bacaleg yang berharap Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup, hampir dipastikan hanya mereka yang saat ini berada di daftar nomor urut Bacaleg paling atas, nomor satu atau dua.
Terlepas betul atau tidak informasi yang didapat mantan wakil Menteri Hukum dan HAM RI Prof. Denny Indrayana terkait bocoran rencana putusan yang bakal dibacakan MK terkait sengketa sistem Pemilu 2024—proporsional tertutup atau terbuka, paling tidak membuka mata masyakarat Indonesia bahwa ada keinginan parpol tertentu supaya pemilu tahun depan menggunakan sistem proporsional tertutup
Kita tidak ingin demokrasi di Indonesia mundur atau kembali seperti sistem pemilu pada masa orde baru (Orba) bak disuarakan delapan pimpinan fraksi di DPR RI minus PDIP, beberapa hari lalu. Karena itu, jika betul MK bakal memutuskan sistem pemilu 2024 menggunakan proporsional tertutup, bukan saja sebagian besar Bacaleg kecewa, tapi secara ekonomi pesta demokrasi lima tahunan ini bakal terasa hambar. Dunia usaha bidang percetakan alat sosialisasi dan kampanye dipastikan sepi order.
Dalam lingkup Mandailing Natal (Madina), Sumut setidaknya dari segi bisnis merugikan dunia percetakan di daerah ini. Misalnya, tadinya pengusaha bakal menambah mesin dan tenaga kerja pasca Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Bacaleg menjadi Caleg (calon legislatif), namun dengan sistem proporsional tertutup rencana tersebut pasti urung dijalankan mengingat secara hitung-hitungan ekonomi tak lagi menjanjikan.
Bagi generasi yang merasakan pesta demokrasi pada masa Orba mungkin masih ingat bagaimana parpol hanya sosialisasi dan kampanye menggunakan gambar lambang parpol saja, yang saat itu hanya ada Golkar, PPP dan PDI.
Pintu rumah penduduk di tempel gambar logo partai pada malam hari. Hal serupa tampak di pinggir-pinggir jalan dan pusat keramaian. Tidak ada gambar Caleg, bahkan gambar ketua partai pun dianggap tidak penting. Masyarakat pemilik hak suara hanya diminta mencoblos di TPS (tempat pemungutan suara) gambar salah satu dari tiga partai tersebut.
Itu lantaran penentuan perolehan kursi partai’ditentukan jumlah suara yang didapat partai ditambah suara masing-masing Caleg. Misalnya Golkar mendapat tiga kursi di suatu daerah tertentu, maka penentuan siapa di antara Caleg yang duduk bukan berdasarkan siapa peraih suara terbanyak seperti sistem proporsional terbuka yang dilakukan di Indonesia sejak era reformasi, melainkan Caleg yang duduk di dewan, baik tingkat satu, dua dan pusat ditentukan parpol sesuai nomor urut Caleg, yakni nomor satu, dua, tiga dan seterusnya.
Jika suatu parpol meraih satu kursi, maka yang ditetapkan sebagai Caleg terpilih adalah nomor urut satu. Penentuan nomor urut 1, 2, dan 3 inilah yang diduga sangat kental, like or dislike.
Dilansir dari laman Indonesia Corruption Watch (ICW), ada beberapa hal yang menjadi kelemahan sistem pemilu proporsional tertutup, antara lain: menjauhkan partisipasi masyarakat dalam memilih calon wakil rakyat di lembaga legislatif; meningkatkan peluang tren politik uang karena kandidat terpilih bergantung pada nomor urut yang ditentukan oleh parpol; membuka ruang nepotisme di internal partai lantaran kesempatan calon yang mempunyai relasi dan struktural tinggi untuk menang sangatlah besar.
Selanjutnya: berpotensi menghilangkan tanggung jawab dan hubungan anggota legislatif kepada rakyat; dan berpeluang menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan partai politik.
Hampir dipastikan para Caleg nomor urut tiga sampai terakhir enggan berjuang mendapatkan suara sebanyak mungkin. Soalnya meskipun perolehan suara mereka tinggi, tidak ada jaminan bakal duduk. Itulah sebabnya para Bacaleg ramai-ramai ingin mendapat nomor urut “jadi”. Perebutan inilah yang dimanfaatkan parpol melalui kesepakatan politis atau bargaining.
Jika betul-betul MK memutuskan pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup, siap-siaplah kita bakal menyaksikan banyak Caleg “tidur”. Tidak melakukan aktivitas sosialisasi dan kampanye lagi disebabkan merasa pesimis dia bakal duduk karena nomor urut Caleg-nya bukan posisi “jadi”.
Dengan kondisi seperti itu hampir dipastikan geliat bisnis alat peraga kampanye lesu. Di Madina saat ini ada empat percetakan digital printing–Terminal Print, Almira Print, Central Grafika Print dan Mandailing Digital Print—yang menyediakan jasa percetakan banner atau baliho.
Sebagian di antara mereka juga menerima order percetakan kebutuhan sosialisasi dan kampanye lainnya, seperti: spanduk, kartu nama, pamplet, brosur, gantungan kunci, stiker dan lainnya.
Dengan sistem pemilu proporsional tertutup bukan hanya tatanan demokrasi kita mundur kebelakang, tapi juga dapat merusak perekonomian masyarakat karena para pelaku bisnis percetakan pasti mengurangi tenaga kerjanya mengingat volume pekerjaan tidak membutuhkan banyak tenaga kerja. Kalaupun ada peluang bisnis, itu pun hanya dari parpol untuk mencetak gambar logo partai.
Berkaca pada masa Orba, alat kampanye seperti itu biasanya dipasok dari pusat. Tidak menutup kemungkinan juga, hanya Caleg nomor urut “jadi” yang mau berjuang mendapatkan suara masyarakat dengan mencetak alat sosialisasi dan kampanye.
Beda dengan sistem proporsional terbuka, semua Caleg dipastikan berusaha mendapat suara sebanyak-banyak sesuai kemampuan masing-masing karena sama-sama punya peluang. Bahkan Caleg nomor paling akhir bisa lebih serius mencari suara disebabkan sosialisasi diyakini mudah: Pilih caleg nomor paling akhir dari Partai Anu. Pastinya, pemilu terasa semarak, layaknya suatu pesta.
Jumlah Caleg DPRD Madina sekitar 600-an orang. Kalau saja, rata-rata setiap Caleg mengeluarkan biaya percetakan alat sosialisasi dan kampanye Rp25 juta, maka hilanglah sekitar Rp15 miliar–dikuragi modal–dana yang semestinya didapat pelaku usaha ini.
Jumlah itu belum termasuk belanja kebutuhan pendukung lain, seperti bambu, kayu, paku, tali, alat trasportasi dan lainnya termasuk jasa pemasangan baliho atau banner tersebut terhadap masyarakat.
Belanja pemasangan iklan di media—cetak, online dan penyiaran—pun dipastikan berkurang. Tidak semua Caleg mau mengampanyekan dirinya melalui media massa karena merasa kecil peluangnya sebagai Caleg terpilih.
Itulah sekadar gambaran sisi lain dari sistem pemilu proporsional tertutup. Jika betul-betul partai pendukung ini masih ngotot menerapkannya melalui “kuasa” MK, bukan hanya berpotensi menimbulkan gejolak di tengah masyarakat karena tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan, tapi juga bisa membuat lesu dunia usaha percetakan dan periklanan.
Saatnya masyarakat cerdas, siapa yang mau “membunuh” rezeki masyarakat. Siapa yang mau ngerem bagi-bagi rezeki terkait alat sosialisasi dan kampanye ini, jawabnya, tentu partai pendukung sistem proporsional tertutup.
Suramnya bisnis alat sosialisasi dan kampanye jika pemilu nanti menggunakan proporsional tertutup tentu bukan hanya dirasakan dunia usaha di Madina, tapi hal serupa terjadi di seantero negeri ini.***
Akhiruddin Matondang