PAK kapolres, fokus penyelesaian setiap LP (laporan polisi) dan penanganan persoalan kamtibmas di tengah masyarakat jauh lebih penting daripada waktu tersita menghadiri acara serimonial di pemkab. Bukankah undangan acara serimonial pemkab, bisa diwakilkan kepada pejabat lain di Polres Madina, misalnya: wakapolres, kabag ops, atau kasat binmas.
Kapolres lupa, terlalu sering hadir dalam acara pemkab yang sebenarnya tidak begitu urgen dihadiri seorang pejabat tinggi kepolisian di tingkat kabupaten menjadi tanda tanya bagi masyarakat. Ada apa, jangan-jangan ada udang dibalik batu.
Selain itu, kapolres sepertinya lebih fokus membangun citra, yang sebenarnya belum tentu dipandang positif masyarakat dari pada menyesaikan setiap LP dan penanganan berbagai penyakit masyarakat, seperti masalah narkoba, judi, penerapan undang-undang lalu lintas, serta lainnya.
Lihatlah bagaimana geliat tuntutan elemen masyarakat mengenai pemberantasan narkoba di Madina. Tentu saja ini bagian dari krisis kepercayaan terhadap aparat penegak hukum (APH).
Kasus amuk massa di Pidoli Lombang menjadi pemicu bangkitnya perlawanan masyarakat terhadap peredaran narkoba di daerah ini. Mestinya, kapolres malu sampai-sampai masyarakat turun tangan menyikapi persoalan narkoba ini. Ini suatu tamparan keras bagi APH, terutama pihak kepolisian
Dikeroyok di depan rumah
Lambannya penanganan kasus pengeroyokan terhadap Sahrul dan Ikbal ada benang merah dengan padatnya jadwal kapolres mengikuti rangkaian serimonial di pemkab. Bisa saja ia lupa atau sengaja dilupakan. Sebab jika ada kegiatan pemkab, paling cepat dua jam waktu kapolres tersita di luar kantor.
Melalui curahan hati ini, semoga kapolres lebih fokus pada penanganan tugasnya sebagai kepala Polres Madina. Jangan lagi ada kalimat seperti diucapkan beberapa anggota satreskrim, mereka belum bergerak memeriksa para tersangka pengeroyok Sahrul dan Ikbal karena belum ada perintah dari sang kapolres.
Bagaimana mau ada perintah, setiap malam bisa jadi dibenaknya hanya ada pikiran: besok ada enggak undangan pemkab. Sudahlah pak kapolres, fokus saja pada tugas pokok yaitu: memimpin, membina, mengawasi, dan mengendalikan satuan organisasi di lingkungan polres dan unsur pelaksana kewilayahan dalam jajarannya; dan memberikan saran pertimbangan kepada kapolda yang terkait dengan pelaksanaan tugasnya.
Dengan kata lain, polres bertugas menyelenggarakan tugas pokok Polri dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dan melaksanakan tugas-tugas Polri lainnya dalam daerah hukum Polres, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hmmm, dari rangkaian kata demi kata sehingga membentu suatu kalimat itu, tak ada sedikit pun tersirat maupun tersurat bahwa seorang kapolres harus menghadiri setiap undangan kegiatan serimonial pemkab.
Oleh sebab itu, jika memang kapolres serius melakukan penegakan hukum di Madina, informasi di bawah ini bisa menjadi referensi terkait asal mula aksi main hakim yang dilakukan warga Lubuk Sibegu terhadap Sahrul dan Ikbal. Ini penting, supaya kapolres bisa menilai tingkat kerawanan kamtibmas jika kasus ini dibiarkan tanpa penegakan hukum.
Pada April 2016, sekitar pukul 17.30, Sahrul sedang di rumahnya, Dusun Aek Galoga, Desa Pidoli Lombang, Panyabungan. Petang menjelang magrib itu, tiba-tiba ia dikagetkan teriakan lima lelaki di halaman rumah. Para remaja itu mengendarai tiga sepeda motor.
Sembari mengeber-ngeber suara sepeda motor kelima orang tersebut teriak-teriak di depan warung milik kedua orangtua Sahrul meminta pelajar yang saat itu duduk di kelas dua SMK Mitra Mandiri keluar dari rumah.
“Kami mau nyari Arul,” ujar salah seorang di antara mereka.
Sahrul pun keluar rumah. Dia melihat ada lima lelaki sebayanya berdiri di dekat tiga unit sepeda motor. Dua orang di antaranya masih duduk di jok kendaraan roda dua tersebut.
Salah seorang di antaranya teriak, “Ayo kesana,” sembari menunjuk arah yang dia maksud.
“Disini ajalah,” jawab Sahrul.
Tak lama kemudian kelima remaja secara bersamaan mengeroyok Sahrul. Terjadi perkelahian lima lawan satu. Meskipun sendiri dan tidak pakai alat sama sekali, dia tidak ciut. Baku hantam pun terjadi beberapa menit.
Ketika kelima lelaki masih mengeroyok Sahrul, tiba-tiba datang seorang pelajar SMK Negeri 1 Panyabungan yang ngekos tak jauh dari rumah Sahrul. Ia turut membantu Sahrul. Terjadilah perkelahian lima lawan dua orang.
Mendengar ribut-ribut, warga yang sedang di masjid dekat rumah Sahrul hendak salat magrib berjamaah berhamburan keluar, termasuk kedua orangtuanya: Sairin dan Nurmadingin.
Melihat warga berdatangan, kelima remaja pergi meninggalkan halaman rumah orangtua Sahrul mengendarai kembali tiga sepeda motor milik mereka.
Sekitar setengah jam setelah kejadian, lima remaja bersama sejumlah warga kampung Lubuk Sibegu datang lagi menemui orang tua Sahrul hendak meminta uang “tutup malu” sebesar Rp2 juta.
Pada saat itu, mereka sama sekali tidak menyebutkan ada korban yang luka akibat perkelahian itu. Hanya meminta uang “tutup malu” kepada orangtua Sahrul.
Tentu saja permintaan itu tidak dipenuhi. “Anak saya yang dikeroyok, kok kami yang memberi uang tutup malu,” kata Nurmadingin kala itu.
Bahkan, seorang polisi yang kebetulan tinggal di sekitar lokasi kejadian, minta supaya keluarga Sahrul tidak memenuhi permintaan uang “tutup malu” tersebut.
“Lanjut saja proses hukum,” kata sang polisi.
Tak lama kemudian, tiba-tiba salah seorang dari lima remaja yang ikut mengeroyok Sahrul, sebut saja namanya X, menyebutkan kepalanya sakit. “Ya udah, kita bawa ke rumah sakit. Kita periksakan,” kata Nurmadingin.
Lalu, X dibawa ke rumah sakit. Nurmadingin juga ikut mengantar si anak baru gede (ABG) itu ke RSUD Panyabungan.
Tak lama setelah tiba di rumah sakit, X pingsan. Entah ada luka dalam atau penyakit dialami, tidak jelas. Namun, petugas medis RSUD Panyabungan memutuskan si X harus dibawa ke Padang atau Bukit Tinggi (Sumbar) untuk penanganan medis lebih lanjut.
Belum tiba di Bukit Tinggi, ada informasi X meninggal. Pendek cerita, sampai dilakukan penguburan tidak ada visum et repertum, apalagi autopsi terkait penyebab korban meninggal.
Sebelum X dibawa ke Bukit Tinggi, atau sekitar pukul 21.00, Sahrul bersama temannya yang pelajar SMK Negeri 1 Panyabungan langsung diamankan polisi. Keduanya dibawa ke Mapolres Madina.
Tak sampai sebulan, persidangan sudah dilakukan. Uniknya, proses persidangan di PN Madina hanya dilakukan dua kali, langsung vonis. Ini bisa jadi persidangan tercepat di kabupaten ini. “Kami tak tahu apa-apa, pasrah saja karena memang tidak paham hukum. Ada memang pengacara mendampingi kedua terdakwa disiapkan pemerintah, tapi tampaknya tidak banyak yang dia lakukan dalam melakukan pembelaaan,” kata Sairin.
PN Madina menghukum Sahrul tiga tahun penjara karena dianggap belum dewasa—saat itu umurnya 16 tahun. Sedangkan kawannya divonis lima tahun.
Tiga bulan Sahrul mendekam di LP Panyabungan, lalu ia dibawa ke LP Tanjung Gusta, Medan sampai masa hukuman habis. Inilah bagian dari pemicu mereka, para dalang pengeroyok, masih menyimpan dendam terhadap Sahrul.
Janganlah kapolres biarkan hukum rimba terjadi di daerah ini. Bukankah Sahrul—jika menurut jaksa dan hakim dia bersalah—sudah menjalani hukuman. Pernahkah kapolres membayangkan aksi pengeroyokan ini bakal berlanjut lagi, entah dari pihak siapa yang memulai.
Jika itu terjadi, sampai kapan hukum rimba ini bakal berakhir… ** (Bersambung)
Akhiruddin Matondang