BERBAGI

“PERTAMA ke Panyabungan, saya benar-benar prihatin. Semua tampaknya rumit dan memerlukan pembenahan. Saya memandangi lampu-lampu jalan yang buram, jalan sempit berdesakan dan tanpa trotoar, pasar yang tampak kumuh, tingkat kemiskinan yang tinggi, sarana belajar yang memprihatinkan, orang-orang yang tampak tak berpengharapan—yang notabene saudara saya juga.

Keliling ke mana-mana. Keluar masuk desa. Saya melihat harapan, saya melihat kekayaan alam, kekayaan budaya, kecemerlangan sejarah. Hutan yang hijau yang mestinya terpelihara, dan laut yang luas yang mestinya terkembangkan.”

(Sumber: Buku Biografi Amru Daulay, 2010)

Apa yang ditulis dalam biografi itu merupakan keadaan 24 tahun lalu. Setidaknya di masa awal berdirinya Kabupaten Mandailing Natal, lepas dari kabupaten induknya, Tapanuli Selatan. Beberapa pihak menyambut gembira pemekaran itu. Mereka terutama:

Para politisi yang tentu melihat peluang baru yang lebih besar untuk menjadi calon anggota legislatif. Dalam kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) yang sangat luas ketika itu, plus tokoh-tokoh yang lebih kuat memegang simpul-simpul poilitik, amat sulit untuk menjadi anggota legislatif baru. Konon lagi untuk menjadi ketua partai. Sekarang, dengan menjadi daerah otonom baru, ada penambahan wilayah baru, dan tentu jabatan-jabatan politis baru.

 

Anggota DPRD baru untuk kabupaten baru itu tiba-tiba seperti mendapat durian runtuh: Suara terbanyak kedua yang tidak lolos menjadi anggota legislatif pada Pemilu 1997 untuk Tapsel, tiba-tiba diangkat menjadi anggota DPRD Mandailing Natal (Madina) periode Maret 1999 sampai Pemilu, 7 Juni 1999.

Selain itu, dengan merebaknya partai-partai baru pasca Amandemen UUD 1945, tiba-tiba banyak orang memperoleh peluang menjadi ketua dan pengurus partai. Apalagi semangat reformasi ketika itu, partai boleh berdiri hingga ke tingkat desa, hal yang pada masa Orde Baru tidak boleh. Banyak orang terdidik yang tiba-tiba menjadi politisi. Bahkan di kampung-kampung. Kantor partai mendadak ada di setiap kampung. Juga bendera partai. Benar sekali dugaan orang ketika itu, otonomi daerah pada akhirnya hanya menciptakan raja-raja kecil. Kelak, hipotesa itu memang terbukti.

Para pejabat pemerintah. Mereka yang dulu sulit sekali untuk menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan, tiba-tiba melihat peluang baru di kabupaten baru berdiri itu. Meskipun pagu APBD Madina tahun 1999 hanya Rp100 juta, tapi orang melihat peluang untuk menjadi pejabat eselon II, III, dan IV. Bahkan beberapa staf juga mulai memelihara harapan baru, bahwa di kabupaten baru ini peluang mereka menjadi pejabat pemerintah semakin besar. Karena itu benar asumsi orang masa itu bahwa pemekaran selalu identik dengan kursi kekuasaan.

3. Para aktivis sosial, LSM, pemuda, dan mahasiswa. Para mahasiswa asal Madina mungkin melihat peluang baru bahwa ini momen untuk membangun daerah sendiri, mencoba teori-teori kampus tentang pembangunan otonomi daerah. Ilmu tentang itu memang merebak pasca Reformasi.

4.Para aktivis lain lagi, ini momen untuk menggarap ladang baru, sumber pendapatan baru dari bermain isu sosial. Selain menguji ilmu agitasi massa, dan tentu peluang baru untuk panen. Para pemuda terpelajar yang tidak punya pekerjaan, melihat ladang baru untuk berorganisasi di daerah, bermain-main dengan isu, dan seterusnya. Sebagian bisa jadi bersikap positif bahwa kabupaten baru itu akan menumbuhkan investasi baru, perusahaan baru, dan tentu terbukanya sektor tenaga kerja baru. Zaman itu adalah masa ketika banyak perusahaan gulung tikar karena krisis moneter, dan PHK di mana-mana. Karena itu, sulit sekali memperoleh pekerjaan baru.

5. Kontraktor. Sudah tentu bergembira. Bakal ada lahan baru untuk tender dan bla-bla. Kabupaten baru tentu identik dengan pembangunan. Pembangunan identik dengan proyek. Proyek identik dengan pundi-pundi. Pembangunan tidak hanya menjadi ladang bagi pengusaha, juga ladang bagi aktifis, bagi pemuda yang gagal dapat pekerjaan yang layak; juga bagi tukang foto, bahan berita bagi jurnalis, dan seterusnya. Ini Indonesia, Bung! Semakin runyam, semakin banyak yang dapat panen.

Para PNS yang rata-rata pegawai kecil dan guru, sebagian besar tidak peduli dengan kabupaten baru itu. Tentu karena sebagian besar sudah terbiasa berurusan dengan Tapsel. Mereka sudah kenal orang-orang yang menduduki jabatan tertentu. Berurusan ke Ibu Kota Tapanuli Selatan, Padang Sidimpuan, juga bisa sambil jalan-jalan. Birokrasinya juga mudah. Pejabatnya low-profil. Baik, senang melayani, solutif, bisa menjadi teman yang baik untuk berbagai masalah kedinasan. Beda jauhlah pokoknya dengan birokrat sekarang, berbanding terbalik. Kabupaten baru tidak akan membawa manfaat. Bahkan menjadi keruwetan baru untuk sistem administrasi.  Banyak PNS yang mengeluh betapa rumitnya berurusan dengan birokrasi pemerintahan baru itu. Lebih-lebih sekarang.

Rakyat? Cerita tentang kabupaten baru disambut dingin di kedai kopi. Kecuali saat ada politisi, ada pemuda yang suka retorika, dan semacamnya. Di zaman demam reformasi itu, lumayan banyak yang tiba-tiba menjadi melek politik. Itu karena televisi 24 jam menyiarkan topik deordebaruisme, anti sentralisme, anti kemapanan, sekaligus penyanjung otonomi daerah.

Mereka tentu getol dengan topik kabupaten baru. Apalagi masa itu Amin Rais, tokoh reformasi, juga getol menggelontorkan ide negara bagian. Beberapa membayangkan bahwa kita akan punya polisi sendiri, memilih hakim sendiri, mengembalikan militer ke barak, dan lain-lain. Mungkin bayangan orang waktu itu, kita akan hidup layaknya orang-orang di negara bagian Chicago, Kansas, dan lain-lain di Amerika.

Selebihnya dingin. Rakyat tak peduli. Terutama para petani, buruh, tukang, dan kelompok pinggiran lainnya. Mereka merasa hopless kalau cerita soal pemerintahan. Mau kabupaten baru, mau tidak: apa ada hubungannya dengan hidupku! Begitu pikiran mereka.

Orang hanya melihat bahwa otonomi daerah yang membuat kawasan Madina lepas dari induknya hanya soal semangat reformasi saja, demam bersama waktu itu. Semua dianggap tidak layak, karena itu harus diubah, harus direformasi. Sesuatu yang baru dianggap sebagai keniscayaan, bagian dari perlawanan terhadap rezim Orde Baru—an sich—ada Golkar di dalamnya.

Pendeknya, kalau soal budaya yang menjadi dasar, orang Mandailing tidak merasa sebagai etnik yang berbeda dengan Angkola. Justru sekarang ada perasaan berbeda seperti itu. Kalau soal wilayah, orang Mandailing tidak merasa ada di wilayah yang aneh, sehingga perlu menjadi kabupaten baru. Kecuali mungkin, Pantai Barat, yang untuk urusan ke Padangsidimpuan tentu lebih dekat ke Panyabungan. Itu juga relatif bagi orang tertentu.

Dari segi pembangunan kawasan? Apa rupanya yang berbeda sekarang yang di zaman dulu tidak ada? SD ada di setiap kampung, itu berkah program “Wajib Belajar” dari Orde Baru tahun 1973. SMP juga banyak. SMA juga terjangkau. Apalagi sekolah swasta juga tumbuh.  Sekolah tumbuh pesat. Guru baru didrop besar-besaran melalui berbagai program pendidikan guru kilat.

Jalan? Dari dulu juga ada. Bahkan jalan sepanjang Mandailing ke Padangsidimpuan mulus karena dibangun “Korea”. Saking mulus jalan Panyabungan – Sidimpuan tahun 1980-an, kata orang, kalau kita bawa air dalam gelas pun tidak akan tumpah. Malah jeleknya setelah yang membangun orang kampung sendiri, ya kan? Itu cerita di kedai kopi selama puluhan tahun.

Penyuluh pertanian dan lain-lain, juga ada sejak sebelum otonomi. Malah di televisi ada acara bernuansa tani: “Dari Desa ke Desa”, “Kelompencapir”, dan lain-lain. Ada program P2WKSS yang mendorong peran berbagai pihak untuk memajukan desa. Sekarang yang tidak ada, ya kan?

Tontonan? Bioskop ada. Parabola ada. Sekarang, mana bioskop, ya kan? Koran masuk desa ada sejak masa sebelum reformasi. Karena “Koran Masuk Desa” memang program Orde Baru. Tiap minggu ada koran “Mimbar Umum” di kedai kopi dan kantor kepala desa. Orang-orang senang membacanya. Bahkan pemerintah membuat televisi di tengah-tengah desa, untuk ditonton keluarga yang tidak punya televisi.

Puskesmas? Rumah Sakit? Ada. Penyakit juga tidak banyak. Pelayanannya baik, bahkan bisa diundang ke rumah. Mereka juga tumbuh dari program kilat waktu itu, dan efektif. Bidan Desa juga ada di kampung-kampung.

Bantuan benih, ternak, dan semacamnya juga ada sebelum otonomi. Penyuluh pertanian ada untuk setiap desa. Mereka benar-benar bergaul dengan masyarakat. Bukan cuma datang kalau ada perlu tanda tangan saja. (Bersambung)

Penulis: Budayawan Mandailing dan Dewan Redaksi Koran Beritahuta

BERBAGI